Memainkan rabab, cukup sulit. Jarang yang bisa memainkannya. Jarang pula yang mau mempelajarinya. Meski sering dialunkan dalam pesta-pesta kecil di perkampungan Kampar Kiri Hulu, pemain rabab tetap terancam tanpa penerus.
(RIAUPOS.CO) — PANUK (45) terus memainkan senar rabab miliknya. Suara khas muncul dari petikannya. Keras dan nyaring. Sangat khas. Khas menunjukkan kalau itu suara rabab. Sementara Khalid, tak henti mendendangkan syair. Alunan rabab, semakin berirama oleh tabuhan kompang. Semakin kencang ditabuh, semakin keras suara Khalid. Timpal menimpal, isi mengisi. Syair dinyanyikan, terus hingga ke pagi dalam sebuah pesta. Rabab menjadi musik tradisi yang masih asyik dinikmati.
Tak seperti yang lainnya, Panuk adalah satu-satunya pemain rabab di sepanjang aliran Sungai Subayang, Kamparkiri. Mungkin juga satu-satunya di Kabupaten Kampar. Ia tinggal di Desa Pangkalan Serai, desa paling ujung Riau, yang juga berbatas dengan Sumbar selain Desa Pangkalan Kapas dan Pangkalan Indarung (Inhu) tentunya.
Rabab yang dimainkan Panuk memang rabab Minangkabau. Lagu yang dilantunkan juga berbahasa Minang. Wajar, karena dulunya kawasan Sungai Subayang merupakan kawasan Sumbar yang saat ini menjadi daerah perbatasan antara Riau dan Sumbar yang hanya dibatasi Bukit Barisan antara sebelah kiri dan kanan.
Meski belum terlalu tua, tapi tidak ada yang lain selain Panuk yang pandai memainkan rabab di desa itu. Begitu juga dengan pelantun syair. Khalid sudah berusia lanjut. Tapi suaranya masih merdu. Tidak ada selain Khalid yang mau bersyair atau berlagu dengan iringan rabab. Sebenarnya bukan tidak ada, tapi tidak ada yang mau belajar. Begitu kata Panuk.
Sebagai alat musik tradisional, rabab masih sangat lekat di hati masyarakat. Apalagi ditambah lagu yang diiringinya. Ditambah isi-isi lagu yang kadang sangat lucu dan menghibur. Kadang juga berisi petuah dan nasehat. Tapi lebih banyak hiburan. Tak heran jika rabab sering dimainkan hingga pagi saat ada helat atau pesat perkawinan atau sunatan di Desa Pangkalan Serai itu.
Rabab adalah alat musik tradisional Minangkabau yang mirip dengan biola. Dikatakan mirip karena dari segi bentuk memang hampir sama dan cara memainkannya pun sama yaitu dengan digesek. Rabab selain menjadi alat musik juga menjadi kesenian tersendiri. Kesenian rabab biasanya berbentuk cerita atau dendang dengan diiringi alat musik rabab tadi. Dua aliran rabab yang cukup terkenal adalah Rabab Pasisia dan Rabab Pariaman.
Rabab merupakan salah saru alat musik yang terbilang tua. Paling tidak, rabab sudah dikenal sejak abad 9 Masehi. Rabab berasal dari kata rebab, rebap, rabab, rebeb, rababah, atau al-rababa yakni bahasa serapan dari Bahasa Arab, yang berarti (busur) atau(gondewa). Rebab sendiri datang ke Indonesia melalui jalur-jalur perdagangan Islam yang lebih banyak dari Afrika Utara, Timur Tengah, bagian dari Eropa, dan Timur Jauh (Asia Timur dan Tenggara).
Rabab juga sangat terkenal di daerah lain di Indonesia, salah satunya Jawa Barat yang disebut dengan rebab, yakni sebuah alat musik yang memiliki dua atau tiga utas senar yang terbuat dari logam. Untuk rebabnya sendiri bahan yang biasa digunakan adalah tembaga. Untuk memainkan alat musik ini dengan cara digesek, bisa dibayangkan cara memainkan alat musik ini halnya memainkan alat musik biola. Sama dengan rabab milik Panuk dan pemain di Sumbar lainnya.
Rebab memiliki bunyi yang khas. Dengan bunyi lirih rebab dijadikan salah satu instrumen pembuka dalam pertunjukkan kesenian wayang (di Jawa). Selain itu, dengan cakupan wilayah nadanya yang luas dan bisa masuk ke dalam laras apapun. Rebab dijadikan sebagai penentu arah tembang dan juga menuntun alat musik lainnya beralih dari suasana yang satu ke yang lain. Tidak heran kalau ada yang menyebutkan bahwa rebab merupakan pemimpin tembang. Sungguh betapa pentinggnya rebab dalam sebuah tembang. Bagaimana tidak, rebab bagaikan sopir dalam kendaraan motor dan mobil, bagaikan masinis dalam kereta api, dan bagaikan pilot dalam pesawat terbang.
Sulit Mencari Penerus
Meskipun rabab memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sebuah tembang, namun tidak banyak orang yang tertarik dan biasa memainkannya apalagi di kalangan kaum muda. Untuk itu sudah saatnya rebab memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah lagug dan dalam perkembangan musik tradisional di Indonesia.
Tak hanya di Jawa, di tempat Panuk juga sama. Panuk mengaku sangat sulit mencari generasi penerus pemain rabab. Tidak ada yang mau belajar. Katanya sulit, susah, rumit dan macam-macam. Begitu juga dengan pelantun syair atau lagi. Khalid sudah melagu sejak puluhan tahun. Lagu yang dibawakan juga itu-itu saja: nada yang sama meski kadang isinya beda. Nyanyian yang dilantunkan dengan bahasa Minang itu memang menjadi ciri khas Pangkalan Serai, bahkan Kamparkiri.
Sebetulnya sudah ada yang berniat belajar baik memainkan rabab ataupun melantunkan lagu. Tapi sekadar belajar. Sekali dua kali, lalu berhenti dan tak mau lagi. ‘’Mungkin rebab ini dinilai kuno. Apalagi kalau melihat bentuk alat musiknya, buruk,’’ kata Panuk.
Memang entah usia berapa tahun rebab Panuk itu, yang jelas puluhan. Sejak kecil ia sudah mempelajari dari keluarganya. Sering memainkan, lalu menjadi lihai dan pandai, lalu menjadi hobi dan seni yang diminati. ‘’Kalau ada yang mau belajar, saya siap mengajarkan. Tapi tak ada yang mau. Sekarang anak-anak muda musiknya modern, tap seperti rabab yang dianggap jadul,’’ kata Panuk lagi.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar