Belakangan ini negara-negara di Asia bergolak. Aksi turun ke jalan terjadi di banyak negara. Mereka menuntut pemerintah untuk tidak bertindak seenaknya.
(RIAUPOS.CO) – MONUMEN Demokrasi di Thailand berselimut kain merah pekan lalu. Para aktivis menyebut warna merah itu representasi darah para pejuang demokrasi di Negeri Gajah Putih. Massa berang dan kembali turun ke jalan setelah empat aktivis ditangkap dan dijerat dengan pelanggaran undang-undang lese majeste.
UU karet itu bisa menangkap siapa saja yang dituding menghina keluarga kerajaan. Mereka yang ditahan adalah Parit Chiwarak, Arnon Nampa, Somyos Prueksakasemsuk, dan Patiwat Saraiyaem. Dakwaan mereka terkait aksi di Thammasat University, Bangkok, 19 September tahun lalu.
Rabu (17/2) pengadilan menolak membebaskan mereka dengan jaminan. Massa yang berang berjanji akan turun ke jalan dengan kekuatan lebih besar lagi. Aksi massa menuntut penghapusan UU lese majeste itu sempat memanas tahun lalu. Massa juga menginginkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur dari jabatannya.
Tetapi, pandemi Covid-19 membuat aksi kembali sepi. Namun, perjuangan menuntut demokrasi di negeri tetangga, Myanmar, membuat semangat para demonstran kembali berkobar. Terlebih dengan adanya penangkapan tadi.
Penduduk Thailand dan Myanmar saling menginspirasi. Mereka sama-sama menggunakan salam tiga jari alias three finger salute dalam hampir setiap aksi. Itu adalah simbol perlawanan yang diadopsi dari film The Hunger Games.
Bukan hanya penduduknya yang saling menguatkan. Pemerintah Thailand dan Myanmar juga sepertinya bersekutu. Prayuth mengungkapkan bahwa dirinya menerima surat dari junta militer Myanmar. Isinya, meminta bantuan untuk mendukung demokrasi di negara tersebut.
Entah apa maksud isi surat tersebut. Sebab, Prayuth maupun militer Myanmar malah menghancurkan demokrasi di negaranya masing-masing. Mereka mencuri kekuasaan warga sipil, mengabaikan hasil pemilihan umum (pemilu).
Prayuth dulu berkuasa karena kudeta. Dia menggulingkan PM Yingluck Shinawatra. Dia juga tetap berkuasa pada 2019 dengan cara licik. Sebab, konstitusi diubah sedemikian rupa agar partai yang didukung militer tetap berkuasa.
Setali tiga uang, junta militer di Myanmar melakukan hal serupa. Mereka mengudeta Pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi karena tidak terima kalah pemilu. ’’Thailand mendukung proses demokrasi. Sisanya terserah padanya (junta militer Myanmar, red) untuk melanjutkannya,’’ ujar Prayuth seperti dikutip Bangkok Post.(das)
Laporan JPG, Bangkok