JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Turunnya tanah hingga 1 meter per 10 tahun, menjadi ancaman nyata bagi warga DKI Jakarta. Dalam jangka panjang bisa memicu terjadinya bencana alam. Karena ketinggian tanah akan terus merendah dibanding permukaan air laut.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini mengatakan, wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat menjadi yang terparah dalam hal penurunan permukaan tanah. Di wilayah tersebut, penyedotan air tanah dalam terbilang yang terbesar dari wilayah lainnya.
"Iya kawasan Utara dan Pusat, karena banyak gedung-gedung yang ambil air tanahnya sampe 100an meter,” kata Juaini saat dihubungi JawaPos.com, Jumat (18/10).
Untuk menanggulangi kondisi ini, Pemprov DKI melakukan pengetatan izin pengambilan air tanah. Serta bagi yang telah mengantongi izin juga dibatasi dalam pengambilan airnya. Dengan begitu, debit air yang disedot bisa terkontrol.
"Kita stop pengambilan air tanah secara besar-besaran dengan mengetatkan izinnya, dan dibatasi," tegas Juaini.
Pemprov DKI juga berupaya membuat sumur-sumur resapan di berbagai tempat yang dinilai penurunan tanahnya cukup parah, serta membuat penampungan air di taman-taman atau median jalan.
Sebelumnya, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan, berdasarkan hasil pengukurannya, penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 12 sentimeter per tahun. Paling tinggi terjadi di daerah Ancol, Jakarta Utara.
Pengambilan air tanah secara berlebihan menyumbang 30 persen penurunan muka tanah (land subsidence) di Jakarta. Disusul kompakasi tanah (alamiah), pembebanan akibat pembangunan dan geotektonik.
"Satu tahun 10 sentimeter, 10 tahun 1 meter. 40 tahun maka lima meter. Maka itu harus segera ditangani. Penggunaan air tanah harus diperhitungkan dampaknya kepada lingkungan, masyarakat," ungkap Menteri ESDM Ignasius Jonan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, kemarin.
Jawapos.com
Editor : Rinaldi