JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) angkat bicara mengenai ribuan vaksin yang terpaksa dibuang karena tidak bisa digunakan. Salah satunya, yang terjadi di Aceh Tenggara. Di mana, dari 62 ribu dosis telah diterima sebanyak 49 ribu sudah disuntikkan, 1.812 tidak terpakai, dan 103 rusak.
Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menolak bila vaksin-vaksin ini disebut tak terpakai. Menurutnya, ini adalah wastage rate. Dia menjelaskan, dalam pengelolaan vaksin ada beberapa kondisi yang perlu dipahami. Pertama, ada kemungkinan vaksin rusak dalam proses distribusi ke kabupaten/kota ke puskesmas/faskes. Kemudian, adanya dosis sisa yang tidak bisa dipakai karena batas maksimal vaksin yang telah dibuka hanya 6 jam. Sementara, di lapangan, ada sasaran vaksinasi yang sudah terdaftar tapi tidak datang seluruhnya.
"Sementara 1 vial itu untuk diberikan kepada 10 orang. Sehingga ini yang menjadikan vaksin tersebut tidak bisa digunakan. Angka ini kita sebut wastage rate," jelasnya.
Diperkirakan, watage rage ini bakal mencapai 5-10 persen. Dalam kasus Kabupaten Aceh Tenggara ini, wastage rate masih di bawahnya, yakni sekitar 3,8 persen. "Jadi kejadian ini masih dalam batas wajar pengelolaan logistik vaksinasi dan pelaksanaan vaksinasi," katanya.
Diakuinya, pada daerah rural yang jarak antara puskesmas dengan tempat tinggal penduduk cukup jauh masih jadi tantangan tersendiri dalam upaya percepatan vaksinasi. Termasuk, masyarakat yang masih enggan divaksin karena masalah kepercayaan. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar).
Sebagai informasi, Sumbar termasuk salah satu provinsi dengan capaian vaksinasi terendah di Indonesia. Merujuk data vaksin.kemkes.go.id per 8 September 2021, Sumbar masuk dalam kategori lima terbawah. Untuk dosis pertama meliputi NTB 18,95 peresn, Papua 18,89persen, Maluku Utara 18,05 persen, Sumbar 17,9 persen, dan Lampung 14,54 persen. Sementara dosis kedua, Maluku 10,72 persen, Sumbar 9,93 persen, NTB 9,84 persen, Maluku Utara 9,37 persen, dan Lampung 8,44 persen.
Pada daerah-daerah yang menolak vaksinasi, Nadia mengatakan, edukasi dan sosialisasi akan tetap jadi scenario utama dalam mendorong percepatan vaksinasi di sana. Sambil, tetap focus pada daerah yangg menyumbang kasus terbanyak atau laju penularannya tinggi.
Kemudian, untuk stok vaksin yang masih banyak atau menumpuk di daerah-daerah tersebut, diharapkan pemerintah provinsi bisa segera merelokasi ke kabupaten/kota lain. Terutama, yang penyuntikan per harinya tinggi.
"Sementara dari Kemenkes, kita tidak akan mendistribusi vaksin tambahan dulu sampai stok kurang dari 14 hari," tegasnya.
Menurut Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, pemerintah perlu merubah strategi komunikasi untuk membujuk lebih banyak orang untuk mau di vaksin. Menurut Suko, Keengganan warga yang tidak mau divaksin karena tidak cukup memperoleh informasi memadai.
"Jika mau berhasil, maka pesan utamanya harus bisa memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat," jelasnya.
Bagaimanapun, lanjut Suko proses vaksinasi akan tetap menimbulkan pro dan kontra. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melaikan di negara-negara lain di dunia.
Strategi komunikasi yang dipakai mestinya berbasis kultural lokal. Konten sosialisasi disampaikan dengan layanan komunikasi yang interaktif tanpa pendekatan yang koersif atau memaksa.
"Di awal pendekatannya sudah salah dengan koersif yang ditunjukkan melalui denda. Sementara konten informasi vaksin belum sepenuhnya memancap baik di benak warga. Itu yang membuat warga agak enggan," katanya
Muncul Klaster Satuan Pendidikan
Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas baru berjalan sekitar sebulan. Namun, sejumlah daerah sudah melaporkan terjadinya klaster di satuan pendidikan. Hal ini terungkap dari laporan mingguan WHO yang diterbitkan pertengahan minggu lalu. Disebutkan, ada beberapa klaster Covid-19 yang dilaporkan di awal September. SMA 1 Padangpanjang, Sumatera Barat misalnya. Sebanyak 54 siswa dikabarkan positif Covid-19 saat menjalani PTM terbatas. Kemudian, klaster Institut Shanti Bhuana di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Per 12 September, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat melaporkan 139 mahasiswa positif Covid-19 dari hasil tes PCR.
Menanggapi atas hal ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti mengatakan, pelaksanaan PTM terbatas tetap dilanjutkan meski terjadi kasus. Menurutnya, jika muncul kasus Covid-19 di sekolah tak lantas menutup seluruh sekolah di Indonesia yang telah melaksanakan PTM terbatas ini.
"Kalau ada kejadian satu bukan berarti satu Indonesia ditutup," ujarnya.
Ia menegaskan, bahwa pemerintah daerah sudah memiliki prosedur dalam menangani kasus Covid-19 di daerahnya, termasuk di sekolah. Dia mencontohkan, DKI Jakarta. Begitu ditemukan kasus Covid-19 maka sekolah akan langsung ditutup untuk melakukan tracing hingga treatment pasien.
"Pemda sudah ada arahan di SKB empat Menteri," ungkapnya.