JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Sementara itu, belasan negara telah resmi tercatat masuk jurang resesi. Tak tanggung-tanggung, negara-negara besar satu per satu berguguran tergelincir dan resmi resesi.
Total, ada 14 negara yang sudah tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi minus selama dua kuartal berturut-turut. Wilayahnya pun tak hanya di benua biru, namun juga merambah di ASEAN.
Beberapa di antara belasan negara itu yakni AS, Prancis, Italia, Spanyol, Inggris, Polandia, Jerman, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Singapura, Filipina, serta yang paling baru adalah Thailand dan Jepang. Selain 14 negara itu, ada 13 negara lain yang mengekor di belakangnya dan diramal akan menyusul masuk jurang yang sama.
Menanggapi kondisi itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memandang, RI memang masih dihantui bayang-bayang resesi. Terlebih, pascamenerima kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi RI kuartal II 2020 mencapai -5,32 persen.
"Tekanan resesi masih makin ada, jadi peluang tahun ini tumbuh negatif cukup besar," ujarnya pada virtual conference di Jakarta, Rabu (19/8).
Febrio berharap agar seluruh pihak tidak hanya fokus membicarakan kemungkinan RI resesi atau tidak. Namun, lebih kepada penanganan dan antisipasi apa saja yang harus dilakukan agar dampak ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 tidak semakin luas.
Sebab, lanjut dia, sebelum ada pandemi, Indonesia selama bertahun-tahun selalu berhasil tumbuh di kisaran 5 persen. Selain itu, angka kemiskinan dan pengangguran pun terbilang turun. Namun, pandemi yang terjadi dalam hitungan bulan seolah membuyarkan kerja keras pemulihan ekonomi yang telah dilakukan bertahun-tahun lamanya. "Tahun ini tiba kita mengarah ke 0 persen dan bisa di bawah 0 persen. Ini berarti orang miskin dan pengangguran baru harus kita tekan. Kalau bicara angka (pertumbuhan) saja ini akan menghilangkan cerita besar dari kontraksi ekonomi," tutur Febrio.
Menghadapi kondisi itu, pemerintah lebih fokus untuk mengutamakan kebijakan-kebijakan yang diarahkan pada masyarakat yang paling rentan ekonominya. Febrio menyebut, pemerintah pun memberikan bantalan dan beberapa bantuan sosial yang menjadi fokus pemerintah. "Dengan ini kita harap kita tumbuh tidak negatif terlalu dalam dan yang paling utama memberikan bantalan kepada masyarakat rentan," imbuhnya.
Dia melanjutkan, pemerintah juga terus mempercepat serapan belanja anggaran mau pun program perlindungan sosial yang kini belum optimal. Langkah tersebut diambil karena percepatan belanja pemerintah bisa menggantikan peran konsumsi rumah tangga dan investasi yang terkontraksi sangat dalam pada kuartal II-2020. "Semua K/L (kementerian/lembaga) harus kerja keras, spending ini harus diarahkan ke multiplier yang besar sehingga mendukung pelemahan ekonomi yang tidak terlalu dalam," katanya.
Anggaran stimulus yang sebelumnya belum optimal juga dapat dimanfaatkan untuk menyasar program perlindungan sosial yang baru seperti bantuan gaji Rp600.000 untuk pekerja bergaji di bawah Rp5 juta per bulan hingga bantuan produktif lainnya.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan hal senada. Josua memandang, secara umum, pemerintah telah agresif melakukan berbagai kebijakan agar menahan laju ekonomi tidak tergelincir lebih dalam.
"Pemerintah sudah menyiapkan langkah jangka pendek penanganan Covid-19 dan menatap jangka panjangnya juga. Jangan sampai reformasi struktural terhenti karena Covid-19. Kebijakan yang mengarah ke fundamental ekonomi, bonus demografi, dan investasi ke depannya khususnya untuk ICT juga perlu difokuskan oleh pemerintah," tutur Josua.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebut bahwa pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2020 akan ada di kisaran -1,1 persen sampai 0,2 persen. Proyeksi itu didasarkan pada aktivitas konsumsi rumah tangga yang tertekan dan diproyeksi tumbuh -1,3 hingga 0 persen. Sementara, untuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan investasi juga masih tertekan pada -4,2 hingga -2,6 persen.(wan/jpg/dee/das)