JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pakar Hukum Agraria dari Universitas Pandjajaran, Bandung, Prof Ida Nurlinda menyatakan Presiden Joko Widodo berwenang untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan yang kini sedang menjadi polemik dan mendapat kritik dari sejumlah kalangan.
“RUU Pertanahan apabila disahkan menjadi Undang-Undang berpotensi menimbulkan konflik,†ujar Prof Ida Nurlinda kepada wartawan, Selasa (20/8) menanggapi maraknya permintaan agar RUU ini tidak disahkan pada periode DPR saat ini yang akan berakhir pada 30 September 2019 mendatang.
Mengenai potensi konflik yang bakal muncul, Prof Ida menjelaskan konflik sangat berpotensi timbul, baik konflik antarkementerian yakni KKP, Kehutanan, Pertanian, ESDM, Kemendagri, Kemendesa dan sebagainya.
“Konflik di masyarakat juga sangat mungkin terjadi mengingat pengaturan hak-hak atas tanah normanya berkonflik. Padahal amanat dari Tap MPR IX tahun 2001, arah kebijakan Pembaruan Agraria salah satunya adalah penyelesaian konflik,†papar Ida Nurlinda.
Prof Ida menjelaskan soal tanah jelas diamanatkan kepada negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Hal ini jelas tercantum dalam konstitusi (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), sehingga pemerintah perlu berhati-hati dalam menerjemahkannya ke dalam RUU Pertanahan.
Menurutnya, solusi terbaik melihat posisi RUU Pertanahan ini adalah mengkaji kembali isu-isu permasalahan dengan melibatkan seluruh kementerian yang kewenangannya terkait substansi RUU tersebut.
Selain itu, melibatkan stakeholders lainnya karena masalah pertanahan bukan hanya masalah untuk pembangunan saja, tetapi menyangkut hajat hidup orang banyak terutama orang kecil. “Hal ini harus menjadi perhatian baik DPR maupun pemerintah,†kata Prof Ida.
Tunda Pengesahan
Ida Nurlinda kembali menegaskan sikapnya bahwa tidak setuju terhadap pengesahan RUU Pertanahan dalam periode DPR saat ini mengingat bahaya yang akan muncul.
Menurutnya, semua hal yang menjadi poin krusial dari RUU Pertanahan pada hakikatnya bersumber dari dasar filosofis RUU Pertanahan ini yang berbeda dengan UU Pokok Agraria (UUPA).
RUU Pertanahan jika dicermati secara keseluruhan tidak berpihak pada rakyat. Lebih berpihak pada penguasaha dengan dalih kepentingan umum. Misalnya dalam pengaturan bank tanah.
Hal ini jelas bertentangan dengan filosofi UU PA yang sangat populis, sangat berpihak pada rakyat. Ketidaksinkronan inilah menjadi titik yang paling krusial dari RUU Pertanahan.
“Padahal, bagi rakyat Indonesia tanah merupakan sumber kehidupannya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya,†ujar Prof Ida.
Sebelumnya, kalangan DPR seperti anggota Panja RUU Pertanahan dari Fraksi Golkar Firman Subagyo dan juga anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Gerindra, Darori Wonodiro yang membidangi antara lain masalah Pertanian dan Kehutanan, juga menyatakan menolak RUU Pertanahan untuk disahkan.
Mereka menilai RUU Pertanahan berpotensi menimbulkan konflik dan kerugian negara yang besar. Selain itu, RUU tersebut juga mempengaruhi investasi yang sesungguhnya ingin dipacu Presiden Jokowi.(fri)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Deslina