JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi III DPR meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bertindak tegas terhadap jajarannya di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi. Sebab instansi tersebut dinilai ikut andil memuluskan gerak Djoko Tjandra selama berada di Indonesia. Paspor atas nama Joko Soegiarto Tjandra yang dikeluarkan pada 23 Juni 2020 juga dikeluarkan kantor Imigrasi Jakarta Utara.
"Dirjen Imigrasi (Jhoni Ginting, red) ini tentunya bertanggung jawab dong," kata Anggota Komisi III Benny K Harman kepada JPG, kemarin.
Benny menduga pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara pasti atas sepengetahuan Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting. Sehingga Menkumham Yasonna harus memberi tindakan tegas dengan mencopot Jhoni Ginting dari jabatannya. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban yang bersangkutan atas kesalahan instansi yang dipimpinnya. "Institusinya kan terlibat. Jadi pimpinannya harus tanggung jawab," imbuh politikus Demokrat itu.
Anggota Komisi III Wihadi Wiyanto meminta Menkumham Yasonna H Laoly tidak diam saja. Jika bukan dirjen, minimal kepala Kantor Imigrasi Jakarta Utara yang disanksi. Menkumham, ujarnya, tidak boleh acuh begitu saja seakan-akan imigrasi tidak bersalah. Sikap diam atas kesalahan imigrasi itu justru dinilai bentuk ketidakseriusan Kemenkumham dalam memperbaiki kesalahan. "Menkumham tidak serius karena tidak satu pun petugas imigrasi yang dikenai sanksi," tegasnya.
Dia juga mencurigai Sekretaris Jenderal Kemenkumham Bambang Rantam Sariwanto yang diduga melindungi para personelnya agar tidak diberikan sanksi. Wihadi bilang, Menkumham Yasonna harus tegas seperti Kapolri Jenderal Idham Azis yang mencopot tiga perwira tinggi sekaligus yang terlibat dalam kasus itu.
Yaitu Brigjen Pol Prasetijo Utomo sebagai Kepala Biro (Karo) Korwas PPNS Bareskrim Polri, Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Pol Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Pol Nugroho Slamet Wibowo. Karena itu, Wihadi Wiyanto meminta Menkumham Yasonna H Laoly dapat mengambil sikap agar semua pihak yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra diberi sanksi yang setimpal. Agar menjadi efek jera bagi pejabat lainnya.
"Saya kira ini harus ada tindakan ke semua pihak yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra ini," imbuh politikus Gerindra itu.
Presiden Perlu Lobi Malaysia
Para pelindung buronan Djoko Tjandra satu per satu terungkap. Namun, masalah utama kaburnya Djoko Tjandra jangan dilupakan. Upaya menangkap Djoko Tjandra harus diperkuat, bahkan perlu Presiden Jokowi dinilai perlu turun tangan.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan bahwa Djoko Tjandra saat ini diyakini berada di Kualalumpur, Malaysia. Pasalnya, rekan kuasa hukumnya pernah bertemu dengan Tjoko Tjandra saat menemani klien menawarkan apartemen ke Djoko Tjandra di Gedung Signature 106 Komplek Tun Razak Exchange Malaysia.
"Pertemuan itu Oktober 2019," paparnya.
Yang lebih menguatkan, pernyataan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking bahwa kliennya tersebut berada di Malaysia. Bahkan, tinggal dan menetap di negeri jiran tersebut. "Berdasarkan itu, maka diperlukan peran Presiden Jokowi untuk melakukan lobi tingkat tinggi dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyidin Yasin, agar bisa memulangkan Djoko Tjandra," terangnya kepada JPG, kemarin.
Ada sejumlah alasan mengapa Presiden Jokowi perlu turun tangan. Pertama, saat masih menjabat Jaksa Agung M Prasetyo telah berupaya memulangkan lewat jalur ekstradisi, namun masih gagal. "Sekelas Jaksa Agung saja tak bisa," paparnya.
Lalu, selama ini hubungan Indonesia dengan Malaysia juga terbilang mesra. Indonesia membantu dengan menangkap dan mengembalikan Kapal Equanimity. Lalu, Siti Aisyah yang dituduh meracuni Kim Jong Nam juga dikembalikan ke Indonesia. "Ini sebagai timbal balik dari bantuan Polri untuk menangkap kapal senilai 250 juta dolar AS," urainya.
Apalagi, Jokowi memiliki hubungan baik dengan Perdana Menteri Malaysia. Hal itu terlibat saat Jokowi memberikan ucapan selamat kala Muhyidin Yasin dilantik menjadi perdana penteri. "Tentunya hubungan baik ini perlu dimanfaatkan," paparnya.
Apalagi, diduga Djoko Tjandra ini memiliki hubungan dekat dengan mantan Perdana Menteri Abdul Razak. Bahkan, mendapat perlakuan istimewa. Sehingga, pemulangannya akan sulit bila tidak melibatkan lobi tingkat tinggi. "Perlu diingat keluar masuknya Djoko Tjandra ini mencoreng sistem penegakan hukum Indonesia. Mencoreng wajah pemerintah," tegasnya.
Kejadian ini juga menyakiti rakyat Indonesia. Untuk itu satu-satunya cara dengan menangkap Djoko Tjandra dan menjebloskannya ke penjara selama dua tahun sesuai putusan PK Mahkamah Agung. "Segala upaya aparat telah gagal, maka presiden harus bertindak," jelasnya.
Sementara hingga saat ini belum jelas, bagaimana status red notice dari Djoko Tjandra. Terutama pascadiketahui bahwa red notice-nya telah terhapus dari sistem. Polri masih melakukan penyelidikan terkait red notice yang terhapus sistem itu.
Sementara Kejaksaan Agung masih berupaya agar red notice itu kembali diaktifkan. Dengan begitu upaya pencarian Djoko Tjandra bisa dilakukan seluruh anggota interpol. Sehingga, meningkatkan potensi tertangkapnya Djoko Tjandra.(mia/idr/jpg)