Aksi Kongkrit Pengendalian Perubahan Iklim

JAKARTA (RIAUPOS.CO) —  jauh dari Ibukota Jakarta tepatnya di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, terdapat sebuah inisiatif sukarela masyarakat untuk membangun hutan, merehabilitasi ekosistem yang dilakukan di atas lahan yang kritis. Inisiatif ini dinilai berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim, sehingga masuk dalam kategori aksi pengendalian perubahan iklim dengan "Model Rehabilitasi Ekosistem dan Lahan Kritis".

Lokasi pembangunan hutan ini diberi nama “Hutan Organik” (nama sampai dengan tahun 2011 adalah Kelompok Tani Megamendung). Areal Hutan Organik ini meliputi areal seluas 27 Ha yang terbagi menjadi dua lokasi masing-masing 12 ha dan 15 ha. Areal ini pada awal dibangun menjadi hutan tahun 2001 oleh Bambang Istiawan adalah lahan kritis dengan morfologi kelerengan yang cenderung tinggi dan sedikitnya jumlah vegetasi pohon kayu, yang potensial memicu erosi, longsor dan banjir di wilayah sekitar.

- Advertisement -

Pengalaman praktek cerdas dalam keberhasilan merehabilitasi hutan dan ekosistem ini dibagikan KLHK melalui forum Pojok Iklim dengan menyelenggarakan workshop satu hari yang mengundang sebanyak 26 mahasiswa yang antara lain berasal dari: UI, IPB, ITB, ITS, UIN, UNDIP, Untirta, Universitas Trilogi, Universitas Pertamina, dan lembaga/komunitas lainnya ke lokasi Hutan Organik agar kepedulian generasi muda dan para pihak terhadap rehabilitasi hutan semakin tinggi.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) serta pemrakarsa workshop ini memuji kegigihan seorang Bambang Instiawan dalam merehabilitasi hutan di tanah miliknya.

- Advertisement -

"Kami pertama mendengar hutan ini dari ibu Egi lalu kirim utusan ke sini. Kami temukan bahwa di sini terjadi hal-hal luar biasa di mana sejak 2001 dilakukan rehabilitasi tanah kritis. Tentunya tidak bisa dibayangkan seberapa besar perubahan yang terjadi disini. Ini tidak lepas dari komitmen Pak Bambang, Istri dan keluarga selama bertahun tahun," ujar Sarwono dalam sambutannya membuka workshop.

Sarwono menambahkan jika contoh model pembangunan hutan seperti ini dalam istilahnya disebut pekerjaan rintisan, namun demikian pekerjaan-pekerjaan seperti ini makin dibutuhkan lebih banyak lagi dalam perjalanan waktu kedepan karena krisis iklim ini makin dirasakan efeknya di seluruh dunia.

Sarwono juga menekankan bahwa hubungan manusia dengan alam harus dikembalikan lagi seperti dulu. Dunia ini alami krisis karena kita menganut logika yang keliru. Dan kekeliruan itu harus kita luruskan tidak hanya dengan teori tapi praktek di lapangan.

"Jasa-jasa para perintis seperti Pak Bambang dan istri itulah yang akan mengubah dunia di masa depan," imbuh Sarwono.(ADV)

 

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) —  jauh dari Ibukota Jakarta tepatnya di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, terdapat sebuah inisiatif sukarela masyarakat untuk membangun hutan, merehabilitasi ekosistem yang dilakukan di atas lahan yang kritis. Inisiatif ini dinilai berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim, sehingga masuk dalam kategori aksi pengendalian perubahan iklim dengan "Model Rehabilitasi Ekosistem dan Lahan Kritis".

Lokasi pembangunan hutan ini diberi nama “Hutan Organik” (nama sampai dengan tahun 2011 adalah Kelompok Tani Megamendung). Areal Hutan Organik ini meliputi areal seluas 27 Ha yang terbagi menjadi dua lokasi masing-masing 12 ha dan 15 ha. Areal ini pada awal dibangun menjadi hutan tahun 2001 oleh Bambang Istiawan adalah lahan kritis dengan morfologi kelerengan yang cenderung tinggi dan sedikitnya jumlah vegetasi pohon kayu, yang potensial memicu erosi, longsor dan banjir di wilayah sekitar.

Pengalaman praktek cerdas dalam keberhasilan merehabilitasi hutan dan ekosistem ini dibagikan KLHK melalui forum Pojok Iklim dengan menyelenggarakan workshop satu hari yang mengundang sebanyak 26 mahasiswa yang antara lain berasal dari: UI, IPB, ITB, ITS, UIN, UNDIP, Untirta, Universitas Trilogi, Universitas Pertamina, dan lembaga/komunitas lainnya ke lokasi Hutan Organik agar kepedulian generasi muda dan para pihak terhadap rehabilitasi hutan semakin tinggi.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) serta pemrakarsa workshop ini memuji kegigihan seorang Bambang Instiawan dalam merehabilitasi hutan di tanah miliknya.

"Kami pertama mendengar hutan ini dari ibu Egi lalu kirim utusan ke sini. Kami temukan bahwa di sini terjadi hal-hal luar biasa di mana sejak 2001 dilakukan rehabilitasi tanah kritis. Tentunya tidak bisa dibayangkan seberapa besar perubahan yang terjadi disini. Ini tidak lepas dari komitmen Pak Bambang, Istri dan keluarga selama bertahun tahun," ujar Sarwono dalam sambutannya membuka workshop.

Sarwono menambahkan jika contoh model pembangunan hutan seperti ini dalam istilahnya disebut pekerjaan rintisan, namun demikian pekerjaan-pekerjaan seperti ini makin dibutuhkan lebih banyak lagi dalam perjalanan waktu kedepan karena krisis iklim ini makin dirasakan efeknya di seluruh dunia.

Sarwono juga menekankan bahwa hubungan manusia dengan alam harus dikembalikan lagi seperti dulu. Dunia ini alami krisis karena kita menganut logika yang keliru. Dan kekeliruan itu harus kita luruskan tidak hanya dengan teori tapi praktek di lapangan.

"Jasa-jasa para perintis seperti Pak Bambang dan istri itulah yang akan mengubah dunia di masa depan," imbuh Sarwono.(ADV)

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya