JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perseteruan antara Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti dengan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memasuki babak baru. Itu seiring status hukum Haris-Fatia sebagai tersangka di Polda Metro Jaya. Dua aktivis hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu rencananya kembali dimintai keterangannya, Senin (21/3) besok.
Penetapan tersangka itu merujuk surat pemberitahuan penetapan tersangka yang dikirim penyidik Polda Metro Jaya pada Jumat (18/3) malam. Surat tertanggal 17 Maret tersebut bernomor B/4135/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus dan B/4136/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus.
Penetapan tersangka itu merupakan buntut video di kanal YouTube Haris Azhar berjudul ’’Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada’’ yang tayang Agustus lalu. Dalam video itu, Haris-Fatia membahas tentang hasil kajian koalisi masyarakat sipil tentang relasi ekonomi dan penempatan pasukan di Intan Jaya.
Haris menganggap proses hukum yang berujung pada penetapan tersangka itu merupakan suatu kehormatan yang diberikan negara kepada pengungkap fakta. Fakta yang dimaksud terkait konflik kepentingan sejumlah pejabat publik yang ’’berbisnis’’ di Papua, khususnya di Intan Jaya. ”Fisik saya bisa dipenjara, tapi kebenaran yang kami bicarakan itu tidak bisa dipenjara,” ujarnya, Sabtu (19/3).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menambahkan, sejak awal pihaknya sudah menilai pemidanaan terhadap Haris-Fatia sangat dipaksakan. Mengingat, ada beberapa kejanggalan dalam perkara itu. Di antaranya, penerapan pasal dalam penyidikan yang tidak memenuhi unsur pidana.
Penanganan perkara itu juga melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. ”Kasus ini tidak layak untuk dilanjutkan,” kata Arif.
Menurut dia, apa yang dilakukan Haris-Fatia bukan kepentingan pribadi. Melainkan kepentingan publik. Dalam hal ini memublikasikan hasil kajian organisasi masyarakat sipil terkait konflik di Intan Jaya. ”Partisipasi masyarakat jelas diatur dalam undang-undang. Seharusnya riset dibalas riset, bukan pemidanaan,” terangnya.
Sementara itu, penetapan tersangka terhadap Haris-Fatia dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kalangan aktivis antikorupsi dan prodemokrasi. Pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan, apa yang dilakukan keduanya hal yang biasa. Bagian dari sikap kritis kedua aktivis yang substansinya juga merepresentasikan suara civil society yang gerah dengan conflict of interests dalam kebijakan publik. ’’Korporasi-korporasi besar yang mendapatkan keistimewaan dari negara sering kali karena ada nama-nama besar di belakangnya,’’ ujarnya.
Semestinya, lanjut Umam, Luhut atau pihak yang merasa tersinggung analisis keduanya tidak perlu melakukan langkah hukum. Cukup dengan memberikan klarifikasi atau pembuktian terbalik jika merasa analisis tersebut keliru. Menurut dia, polda seharusnya juga mengikuti kebijakan Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo melalui konsep restorative justice system.(tyo/far/c17/fal/jpg)