JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan belum berjalan optimal. Malah, Ombudsman Republik Indonesia (RI) masih menerima keluhan dan pertanyaan soal nominal iuran tersebut. Ombudsman RI pun menegaskan, jika tidak segera ada kepastian aturan terkait iuran, akan terjadi maladministrasi.
Berdasar pengamatan Ombudsman, iuran April ini masih menggunakan besaran iuran baru sesuai Perpres 75/2019. Padahal, berdasar Putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020 yang dibacakan 27 Februari lalu itu, iuran tersebut dinyatakan batal dan tidak berlaku. MA menimbang bahwa keberatan yang disampaikan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) memenuhi syarat dan penerapan iuran baru pun dinilai melanggar aturan lain yang sudah ada.
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih menegaskan, jika tidak segera ada perubahan, penarikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan setelah Februari 2020 bisa dianggap sebagai maladministrasi.
"Kami berpendapat bahwa penerapan penarikan iuran dengan tetap menerapkan angka yang mengacu ketentuan yang telah dibatalkan berpotensi maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum atau pungutan ilegal," tegasnya kemarin (17/4).
Menurut Ombudsman, hal itu seharusnya diselesaikan dengan menerbitkan aturan baru atau merevisi aturan yang sudah ada dengan mengembalikan nominal iuran ke angka semula. Perubahan tersebut bisa berupa peraturan presiden (perpres) pengganti Perpres 75/2019. Perpres dibutuhkan sebagai penegas untuk mencegah terjadinya kekacauan sistem JKN itu sendiri.
Meskipun belum ada perpres, Alamsyah menuturkan bahwa sebenarnya BPJS Kesehatan sudah bisa menerapkan perubahan nominal seperti sediakala tanpa harus menunggu peraturan pengganti. Sebab, sudah ada putusan MA yang menjadi landasan hukum.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi
JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan belum berjalan optimal. Malah, Ombudsman Republik Indonesia (RI) masih menerima keluhan dan pertanyaan soal nominal iuran tersebut. Ombudsman RI pun menegaskan, jika tidak segera ada kepastian aturan terkait iuran, akan terjadi maladministrasi.
Berdasar pengamatan Ombudsman, iuran April ini masih menggunakan besaran iuran baru sesuai Perpres 75/2019. Padahal, berdasar Putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020 yang dibacakan 27 Februari lalu itu, iuran tersebut dinyatakan batal dan tidak berlaku. MA menimbang bahwa keberatan yang disampaikan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) memenuhi syarat dan penerapan iuran baru pun dinilai melanggar aturan lain yang sudah ada.
- Advertisement -
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih menegaskan, jika tidak segera ada perubahan, penarikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan setelah Februari 2020 bisa dianggap sebagai maladministrasi.
"Kami berpendapat bahwa penerapan penarikan iuran dengan tetap menerapkan angka yang mengacu ketentuan yang telah dibatalkan berpotensi maladministrasi berupa perbuatan melawan hukum atau pungutan ilegal," tegasnya kemarin (17/4).
- Advertisement -
Menurut Ombudsman, hal itu seharusnya diselesaikan dengan menerbitkan aturan baru atau merevisi aturan yang sudah ada dengan mengembalikan nominal iuran ke angka semula. Perubahan tersebut bisa berupa peraturan presiden (perpres) pengganti Perpres 75/2019. Perpres dibutuhkan sebagai penegas untuk mencegah terjadinya kekacauan sistem JKN itu sendiri.
Meskipun belum ada perpres, Alamsyah menuturkan bahwa sebenarnya BPJS Kesehatan sudah bisa menerapkan perubahan nominal seperti sediakala tanpa harus menunggu peraturan pengganti. Sebab, sudah ada putusan MA yang menjadi landasan hukum.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi