Dua bulan sudah kegiatan persekolahan tatap muka terhenti di negeri ini, utamanya di Pekanbaru. Efektif jam belajar di rumah tidak akan sama kualitas pengajaran yang berlangsung di dalam ruang kelas. Namun, ini bukan sebuah keputusan konyol. Di tengah pandemi Covid-19 ini, kita tak mau menanggung resiko yang lebih dahsyat lagi. Sekolah-sekolah dengan sadar harus ditutup demi ketenangan proses belajar-mengajar itu sendiri. Para guru dan petugas administrasi sekolah harus berhadapan dengan ribuan jumlah murid atau siswa, berinteraksi. Dan posisi tenaga pengajar yang sebagian besar berada pada usia rentan jangkitan penyakit menular termasuk virus corona ini, juga menjadi pertimbangan strategis atas sumberdaya manusia.
Jika kita lalai merespon ini, maka kita akan kehilangan sumberadaya manusia dalam jumlah besar, terutama akan menjadi penanda yang amat menakutkan, kehilangan mata rantai sumberdaya manusia, untuk menggembleng generasi muda, tunas bangsa dalam mengisi kemerdekaan ini. Mungkin terlalu filmis argumentasi ini, namun yang jelas, bencana wabah virus ini menyebar begitu cepat dan masif kitaran jangkitannya. Dia telah mewabah hampir 1/3 permukaan bumi dan menyibukkan negara-negara besar dan lemah untuk menjinakkannya, apatah lagi melawan dan membasminya. Tiada jalan efektif dalam mode perlawanan itu, demi memutus mata rantai kitaran jangkitannya; menjaga jarak secara fisik bagi seluruh umat manusia, menjaga model interaksi yang tak lagi tatap muka, namun mengharuskan kita untuk berinteraksi lewat dunia maya (online). Di samping dengan keras harus ditegaskan bahwa berkumpul dalam jumlah orang banyak terlebih lagi model kerumunan, hendaklah dihindari.
Studi mengenai Covid-19 ini telah dilakukan oleh beragam bidang ilmu dan mengisi jurnal-jurnal ilmiah internasional. Beragam pendekatan dan sisi pandang yang digunakan, termasuk sosial dan budaya. Rata-rata kajian yang terbit di sejumlah jurnal itu langsung dinaikkan, langsung terbit, karena belum ada pakar khusus mengenai Covid-19 ini yang dianggap kredibel untuk memberi tinjauan dan evaluasi ke atas tulisan-tulisan itu. Termasuk kajian mengenai dampak sekolah di rumah yang saat ini tengah dijalani oleh para siswa bersama guru-gurunya. Sekolah, murid, guru dan para pelaksana administrasi sekolah adalah komunitas temporer yang saling berinteraksi. Ketika saling interaksi itulah yang membuat peristiwa sekolah layak dilekatkan sebagai fenomena sosial. Ketika pelaksanaan belajar dari rumah dilakukan, maka anak-anak kita seakan terlempar dari ruang sosial, yang dibingkai lewat sistem edukasi. Keterlemparan itu membuat anak-anak merasa kehilangan ruang, dan berkerumun dengan waktu yang pasif.
Selama ini mereka datang ke sekolah bukan datang selaku manusia belajar semata, akan tetapi mereka datang selaku makhluk sosial, makhluk yang berbagi cerita, bertukar pengalaman, bertanding fisik dan sejumlah kemajuan yang tak terduga. Alias, dalam sebuah ruang sosial, terjadi persaingan atau kompetisi yang dirindukan atau diperlukan oleh manusia untuk sebuah aktualisasi diri. Sejalan dengan perkembangan psikologsi masa remaja, anak-anak kita mengalami interupsi waktu yang begitu panjang dan melelahkan dalam peningkatan peradaban. Dan, sebagai catatan, peradaban manusia mengalami pembelokan hampir 90 derajat setelah diserang wabah corona ini. Fungsi sekolah tatap muka, mungkin perlu ditinjau ulang atau bahkan akan terjadi revolusi sekolah formal yang tidak lagi terikat oleh ruang bernama kelas (class room) sebagai sistem klasikal pendidikan itu berlangsung.
Pada tingkat pendidikan tinggi, terjadi pula sebuah tinjauan tentang keberadaan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa yang dianggap perlu ditinjau ulang; apakah layak dipertahankan atau lebih bagus dibebankan kepada mahasiswa membuat tugas-tugas yang mengarah pada skill atau kemampuan membuat sebuah keputusan dalam masa-masa kritis, misalnya. Ketika peradaban melakukan pembelokan, maka akan diikuti pula dengan sejarah manusia, akan menukil citra-citra serba baru dan serba tak terduga. Sejarah sekolah lewat sistem klasikal (ruang kelas), juga sistem asrama (boarding) mungkin di masa depan tidak dianggap efektif lagi. Termasuk peninjauan ulang tentang materi pelajaran atau silabus yang tak perlu dibebankan kepada siswa dalam jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak. Mungkin ke depan, lebih diutamakan 4 (empat) mata pelajaran utama dan kunci, selebihnya adalah pelajaran yang mengarah pada kemampuan adaptasi dan kejujuran plus etika lingkungan.
Bencana hari ini, mau tak mau masih berkait erat dengan etika lingkungan dan etika kemakhlukan. Bahwa yang menyelenggarakan kehidupan di muka bumi ini, bukan manusia semata. Tetapi kita memiliki konco yang mesti ada dalam sebuah sistem ko-habitasi (sistem hidup bersama) yang tak didominasi oleh satu pihak semata, akan tetapi adalah kemampuan dalam kisah berbagi dominasi di antara makhluk hidup yang lain, yang saling melengkapi dan tak memusnahkan sumberdaya. Ketika bencana ini tengah berlangsung dan kita memutuskan diri untuk menyelenggarakan pembelajaran dari rumah, pada saat bersamaan, hendaknya para pemikir pendidikan dan tokoh pendidikan merenung ulang model-model pendidikan yang lebih “adjustable” untuk menjawab masa depan dengan segala pernak-pernik fenomena alam dan kebencanaan. Hasil pemikiran ini, paling tidak menjadi sisi “mitigasi” sistem pendidikan yang dirancang untuk meneruskan jalannya peradaban manusia dan sejarah manusia yang rentan dibelokkan oleh sebuah bencana wabah makhluk yang amat “subtil” sebagaimana virus corona akhir-akhir ini.
Kita yang lemah dan dhaif ketika berhadapan dengan wabah virus seperti ini, tidak boleh lemah pada sisi pemikiran untuk menyelamatkan mata-rantai generasi unggul sebagai penerus atau pelapis yang menjadi penyelenggara utama peradaban manusia di muka bumi. Jika ihwal ini tak difikirkan dari sekarang, maka kita akan mengulangi kedunguan demi kedunguan yang sama ketika berdepan dengan sejenis wabah, yang cepat atau lambat pasti datang menghampiri bahkan menghempas eksistensi manusia kelak. Tindakan alternatif dan progresif untuk menyudahi kehilangan “ruang sosial” bagi anak-anak kita, harus dilakukan, untuk menyudahi “hari-hari terpanjang (the longest days) yang kita sendiri belum bisa meramalnya, di mana ujungnya itu…***