JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tekanan pekerjaan dan beban hidup masyarakat perkotaan membuat siapa saja rentan mengalami stres. Jika tak bisa ditangani, hal itu bisa berujung pada tahap depresi. Belum lagi era media sosial, menuntut seseorang harus tampil sempurna. Ternyata, salah satu untuk meredam rasa frustasi tersebut adalah dengan menulis.
Salah satu contohnya, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) angka kematian di Korea termasuk tinggi di dunia. Tercatat rasio bunuh diri per 100.000 penduduk di Korea Selatan sebesar 26,9 persen Rasio bunuh diri tertinggi terjadi pada laki-laki sebesar 38,4 persen, sedangkan rasio bunuh diri pada perempuan sebesar 15,4 persen.
Di tahun 2019 ini, beberapa artis dari negeri gingseng meninggal karena bunuh diri. Sebut saja, Jeon Mi Seon. Begitu juga dengan Choi Jin Ri atau biasa kita kenal Sulli. Depresi sebetulnya dapat teratasi dengan menulis naratif yang menjadi disertasi Doktor Setiawati Intan Savitri.
“Menulis naratif seperti menulis diary hanya saja ditambahkan dengan teknik tertentu,” katanya kepada wartawan di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok baru-baru ini.
Tekniknya adalah menjaraki diri. Teknik menjaraki diri maksudnya berjarak secara mental dari peristiwa negatif yang diingat kembali.
Intan menjelaskan bahwa jika dalam menulis fiksi, seorang pengarang biasanya menuliskan nama tokoh, maka nama tersebut dimaksudkan sebagai orang lain (bukan si pengarang).
Berbeda dengan teknik yang dilakukan Intan dalam Disertasinya yang berjudul ‘Pengaruh Jarak Psikologis dalam Menulis Naratif terhadap Refleksi Diri Adaptif’. Dengan teknik ini, mereka yang mengalami depresi menulis peristiwa negatif yang pernah terjadi.
“Nah, kali ini tokohnya diri sendiri. Jadi teknik menulisnya, saya melihat diri saya sedang bersedih. Teknik akan mendorong seseorang bisa melihat dirinya sendiri dan jadi objektif,” katanya.
Menurutnya, dengan cara seperti ini, mereka yang depresi akan mengami penurunan emosi yang signifikan. “Dia tidak akan terlarut dengan perasaannya karena dia akan berjarak dengan dirinya sendiri. Jadi dia akan memikirkan kemungkinan-kemungkinan baru di masa depan ketika dia melihat dirinya sendiri,” jelasnya.
Jangan Curhat di Medsos
Hanya saja, kata Intan, menulis naratif seperti ini tidak dianjurkan jika ditulis di sosial media. Maka tak dianjurkan curhat di media sosial.
“Karena di sosial media, semua orang akan membaca dan berkomentar terkait apa yang kita alami. Bila tidak kuat, akan menambah depresi,” kata perempuan yang merupakan salah satu tokoh sastra di Indonesia ini.
Ini seperti yang terjadi pada artis Korea Choi Jin Ri atau biasa kita kenal Sulli. Bahwa Sulli ternyata sudah lama mengalami depresi berat akibat komentar jahat dari warganet yang sering ia terima.
Intan menganjurkan untuk menulis naratif di buku diary, catatan harian. “Karena itu personal dan tidak dibaca untuk umum,” katanya.
Ketika kita sedang mengalami problematik yang kita bikin kita sedih sebaiknya dicurahkan lewat tulisan. Itu bisa meredakan emosi dan menurunkan kesedihannya.
“Sebetulnya tiga hari berturut-turut itu minimal, yang dicari itu adalah berjarak dirinya sendiri. Ketika kita menulis itu kan ada jarak dirinya sendirinya,” ungkapnya.
Memang secara teori ketika pertama menulis, kata Intan, kita tidak ada jarak karena mencurahkan perasaan. “Tapi dengan terus menerus menulis itu dia akan berpikir sendiri, kenapa saya harus bersedih. Oh oke, saya bersedih dan rasanya seperti ini, terus kira-kira kenapa saya harus sedih terus. Nah itu akan terpikirkan ketika dia menulis dan akan ada perubahan kognitif. Orang kan tidak akan menceritakan yang sama terus menerus,” katanya.
Karena itu ia menganjurkan bagi yang belum terbiasa menulis seperti ini untuk membangun kebiasaan terlebih dahulu. Dalam menulis naratif ini, seseorang harus sedang fit dan tidak boleh terlalu capek.
“Karena menulis itu kan berpikir juga. Ketika kita lagi capek banget, bukannya tersalurkan malah bertambah stresnya,” katanya.
Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com