Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mencekam Lagi

Sejatinya, kita masih dalam keadaan murung dan mencekam bila merujuk pada jangkitan dan persebaran mata rantai yang terkena dan terdampak pandemik Covid-19. Namun, karena pandemi ini telah berlangsung lebih dari 6 bulan, seakan-akan keadaan sudah “normal”.

Kalau dilihat angka suspek dalam laporan setiap hari oleh pemerintah, angka jangkitan dan suspek itu berkisah 1000 lebih. Sehingga, saat ini jumlahnya sudah menembuh hampir 118 ribu. Ini sebuah angka yang amat mengkhawatirkan kita. Dan bukan persoalan angka itu, tetapi di balik angka itu adalah peristiwa hidup dan kemanusiaan. Mereka yang sembuh, masih tetap membawa serangkaian trauma, sekaligus dampak lingkungan sosial, termasuk kekhawatiran anggota keluarganya tertular atau tidak. Di lingkungan kerja pun demikian.

Laporan ekonomi oleh BPS baru ini, juga memperlihatkan kontraksi -5, yang amat mengharukan. Semoga aja negeri ini tidak mengalami resesi dan dampak ekonomi yang lebih dalam. Luar biasa cobaan dan beban pemerintah kali ini. Kita harus mahfum, keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang dikehendaki terjadi. Akan tetapi dia terjadi dan terjun bak petir di siang tegak, tanpa ada pendahuluan yang membuat kita pasang ancang kuda-kuda. Atau malah kita terlambat mengancang-ancang, sehingga serbuan wabah ini menterbu tanpa ada kesiapan apa pun dari kita. Semuanya telah berlalu. Tak bisa diratapi lagi. Saat ini kita harus bertindak keras dan tegas bagi diri sendiri, juga bagi teman sejawat, anggota keluarga untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan penjangkitan atau penularan yang lebih masif dan bergelombang.

Pemerintah di tingkat daerah, harus massif dan konsisten menjalankan segala penegakan yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Tidak cukup himbauan, namun harus dirancang strategi dan peta jalan yang lebih jelas, lugas dan mengampu segala kepentingan masyarakat miskin yang rentan akan dampak pandemi ini. Tak bisa mendorong rakyat untuk patuh pada protokol kesehatan, sementara beberapa ruas dari segmen pemerintah sibuk dengan euforia berkerumun dengan alasan pelaksanaan gotong-royong masal, meresmikan gerakan komunitas yang cenderung mengundang orang untuk berkumpul pada satu titik, seperti peristiwa “bakar jagung” dengan alasan untuk ketahanan kampung. Semua bentuk pengumpulan manusia dalam jumlah kerumuman apapun alasannya harus dihindari oleh pemerintah sendiri.

Baca Juga:  Diserempet, Kakek di Rohil Tewas Terlindas Truk Tangki

Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh kisah euforia yang berakhir pilu; pasca pelantikan Gubernur Kepri di Istana oleh Presiden, lalu disambut gembira secara gegap gempita dalam serangkaian acara baik makan malam dengan tokoh Kepri di Jakarta, lalu disambung lagi dengan acara penyambutan di Bandara Tanjungpinang, dilanjut lagi acara tepuk tepung tawar oleh Lembaga Adat Melayu Kepri, pada senja masih berlangsung pengumpulan kerumunan ke Masjid Sultan Riau di pulau Penyengat Inderasakti. Dilanjut lagi pada malam hari dengan sejumlah acara kerumunan demi kerumunan yang mendorong setiap orang untuk berinteraksi secara fisik secara longgar dan dalam suasana serba normal. Terkadang euforia yang tak terkendali, membawa petaka bagi masyarakat yang memang sudah jengah dengan keadaan yang berlangsung demikian lama dan tiada ujung; sebagaimana masa jenuh pandemi ini.

Angka-angka kematian yang bermunculan pada setiap laporan, bukan persoalan angkat yang kecil nominalnya atau angka yang besar. Manusia bukanlah peristiwa yang dirangka dalam peristiwa nominal, ordinal atau pun interval apalagi ratio. Angka kematian, angka jangkitan yang melekat kepada manusia, ini bukan angka statistik mati. Akan tetapi menggambarkan kenyataan yang berlapis-lapis dan berlipat-lipat; ada makna pemerintah yang lalai, ada makna kejemuan masyarakat, ada makna pemutusan hubungan kerja, ada angka kemiskinan kian menajam, ada makna pembangkangan sosial, ada makna perlawanan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak menyukai pemerintah, lalu ada makna cuek dan abai dari masyarakat karena dorongan keperluan dasar untuk kehidupan keluarga, ada makna kejenuhan yang telah mencapai titik kulminatif sehingga orang perlu ruang untuk relaksasi dan pesiar-pesiar dalam jarak pendek.

Baca Juga:  PPKM Darurat, Menko Airlangga: Prokes Ketat Diiringi Penegakan Hukum

Semua makna itu berkumpul menjadi satu dalam bentuk letupan dan gelombang mata rantai persebaran Covid-19 yang tak terkendali setelah era PSPB yang dilaksanakan pada awal-awal kebijakan yang memberi dampak positif bagi masyarakat. Pada saat ini, PSPB itu seakan kehilangan “nyawa” untuk dikembalikan lagi. Masyarakat amat letih dengan kenyataan serba tarik ulur. Lalu, di susul dengan “New Normal” yang dalam istilahnya banyak mengalami perubahan dan penyesuaian sehingga menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru” atau apalah namanya. Keadaan ini bukan tanpa alasan dilaksanakan, karena angka-angka jangkitan dan penularan kian menurun pada beberapa wilayah di Indonesia. Dengan begitu, kita harus siap berdampingan hidup dengan Covid-19 sehingga daya imunitas tubuh dibenturkan, kuat atau lemah. Sementara sampai saat ini vaksin untuk menyembuhkan belum ditemukan dan belum diproduksi (kalau pun telah ditemukan). “Herd immunity” menjadi sebuah pertimbangan kala itu. Sebuah cara yang membuka ruang orang untuk bekerja secara normal meskipun tetap harus memperhatikan secara ketat protokol kesehatan, menjauhi kerumuman, dan mengutamakan transaksi ekonomi demi menjaga kestabilan kinerja ekonomi masyarakat.

Dalam suasana apapun, kehidupan harus tetap berjalan dengan sejumlah kebiasaan manusia yang tak bisa dihentikan; pernikahan, kelahiran anak, kematian dan serangkaian mata rantai daur kehidupan yang dimajeliskan oleh orang-orang ramai. Semua itu berlangsung secara alami. Namun, kadar interaksi dan kerumunan manusia berlangsung dalam jumlah yang terbatas. Begitu pula, transportasi yang mengantar barang dan produksi antar kota dan kampung ke kota harus berjalan secara normal demi menghidupkan ekonomi dan menyelamatkan kehidupan manusia; peristiwa makan, minum, menjaga kesehatan dan jaringan pendidikan yang dilaksanakan secara serba online. Kecerdasan alternatif dan kecerdasana alienatif harus direngkuh oleh manusia-manusia abad ini untuk survival, ya untuk bertahan hidup, sekaligus mengumumkan kepada dunia, bahwa kita; manusia adalah makhluk yang unggul dalam semua keadaan. Walau semencekam apa pun keadaan itu…

 

Sejatinya, kita masih dalam keadaan murung dan mencekam bila merujuk pada jangkitan dan persebaran mata rantai yang terkena dan terdampak pandemik Covid-19. Namun, karena pandemi ini telah berlangsung lebih dari 6 bulan, seakan-akan keadaan sudah “normal”.

Kalau dilihat angka suspek dalam laporan setiap hari oleh pemerintah, angka jangkitan dan suspek itu berkisah 1000 lebih. Sehingga, saat ini jumlahnya sudah menembuh hampir 118 ribu. Ini sebuah angka yang amat mengkhawatirkan kita. Dan bukan persoalan angka itu, tetapi di balik angka itu adalah peristiwa hidup dan kemanusiaan. Mereka yang sembuh, masih tetap membawa serangkaian trauma, sekaligus dampak lingkungan sosial, termasuk kekhawatiran anggota keluarganya tertular atau tidak. Di lingkungan kerja pun demikian.

- Advertisement -

Laporan ekonomi oleh BPS baru ini, juga memperlihatkan kontraksi -5, yang amat mengharukan. Semoga aja negeri ini tidak mengalami resesi dan dampak ekonomi yang lebih dalam. Luar biasa cobaan dan beban pemerintah kali ini. Kita harus mahfum, keadaan seperti ini bukanlah sesuatu yang dikehendaki terjadi. Akan tetapi dia terjadi dan terjun bak petir di siang tegak, tanpa ada pendahuluan yang membuat kita pasang ancang kuda-kuda. Atau malah kita terlambat mengancang-ancang, sehingga serbuan wabah ini menterbu tanpa ada kesiapan apa pun dari kita. Semuanya telah berlalu. Tak bisa diratapi lagi. Saat ini kita harus bertindak keras dan tegas bagi diri sendiri, juga bagi teman sejawat, anggota keluarga untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan penjangkitan atau penularan yang lebih masif dan bergelombang.

Pemerintah di tingkat daerah, harus massif dan konsisten menjalankan segala penegakan yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Tidak cukup himbauan, namun harus dirancang strategi dan peta jalan yang lebih jelas, lugas dan mengampu segala kepentingan masyarakat miskin yang rentan akan dampak pandemi ini. Tak bisa mendorong rakyat untuk patuh pada protokol kesehatan, sementara beberapa ruas dari segmen pemerintah sibuk dengan euforia berkerumun dengan alasan pelaksanaan gotong-royong masal, meresmikan gerakan komunitas yang cenderung mengundang orang untuk berkumpul pada satu titik, seperti peristiwa “bakar jagung” dengan alasan untuk ketahanan kampung. Semua bentuk pengumpulan manusia dalam jumlah kerumuman apapun alasannya harus dihindari oleh pemerintah sendiri.

- Advertisement -
Baca Juga:  Geser Cutra Andika, M Maliki Tertinggi

Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh kisah euforia yang berakhir pilu; pasca pelantikan Gubernur Kepri di Istana oleh Presiden, lalu disambut gembira secara gegap gempita dalam serangkaian acara baik makan malam dengan tokoh Kepri di Jakarta, lalu disambung lagi dengan acara penyambutan di Bandara Tanjungpinang, dilanjut lagi acara tepuk tepung tawar oleh Lembaga Adat Melayu Kepri, pada senja masih berlangsung pengumpulan kerumunan ke Masjid Sultan Riau di pulau Penyengat Inderasakti. Dilanjut lagi pada malam hari dengan sejumlah acara kerumunan demi kerumunan yang mendorong setiap orang untuk berinteraksi secara fisik secara longgar dan dalam suasana serba normal. Terkadang euforia yang tak terkendali, membawa petaka bagi masyarakat yang memang sudah jengah dengan keadaan yang berlangsung demikian lama dan tiada ujung; sebagaimana masa jenuh pandemi ini.

Angka-angka kematian yang bermunculan pada setiap laporan, bukan persoalan angkat yang kecil nominalnya atau angka yang besar. Manusia bukanlah peristiwa yang dirangka dalam peristiwa nominal, ordinal atau pun interval apalagi ratio. Angka kematian, angka jangkitan yang melekat kepada manusia, ini bukan angka statistik mati. Akan tetapi menggambarkan kenyataan yang berlapis-lapis dan berlipat-lipat; ada makna pemerintah yang lalai, ada makna kejemuan masyarakat, ada makna pemutusan hubungan kerja, ada angka kemiskinan kian menajam, ada makna pembangkangan sosial, ada makna perlawanan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak menyukai pemerintah, lalu ada makna cuek dan abai dari masyarakat karena dorongan keperluan dasar untuk kehidupan keluarga, ada makna kejenuhan yang telah mencapai titik kulminatif sehingga orang perlu ruang untuk relaksasi dan pesiar-pesiar dalam jarak pendek.

Baca Juga:  Revisi UU ITE untuk Merawat Demokrasi

Semua makna itu berkumpul menjadi satu dalam bentuk letupan dan gelombang mata rantai persebaran Covid-19 yang tak terkendali setelah era PSPB yang dilaksanakan pada awal-awal kebijakan yang memberi dampak positif bagi masyarakat. Pada saat ini, PSPB itu seakan kehilangan “nyawa” untuk dikembalikan lagi. Masyarakat amat letih dengan kenyataan serba tarik ulur. Lalu, di susul dengan “New Normal” yang dalam istilahnya banyak mengalami perubahan dan penyesuaian sehingga menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru” atau apalah namanya. Keadaan ini bukan tanpa alasan dilaksanakan, karena angka-angka jangkitan dan penularan kian menurun pada beberapa wilayah di Indonesia. Dengan begitu, kita harus siap berdampingan hidup dengan Covid-19 sehingga daya imunitas tubuh dibenturkan, kuat atau lemah. Sementara sampai saat ini vaksin untuk menyembuhkan belum ditemukan dan belum diproduksi (kalau pun telah ditemukan). “Herd immunity” menjadi sebuah pertimbangan kala itu. Sebuah cara yang membuka ruang orang untuk bekerja secara normal meskipun tetap harus memperhatikan secara ketat protokol kesehatan, menjauhi kerumuman, dan mengutamakan transaksi ekonomi demi menjaga kestabilan kinerja ekonomi masyarakat.

Dalam suasana apapun, kehidupan harus tetap berjalan dengan sejumlah kebiasaan manusia yang tak bisa dihentikan; pernikahan, kelahiran anak, kematian dan serangkaian mata rantai daur kehidupan yang dimajeliskan oleh orang-orang ramai. Semua itu berlangsung secara alami. Namun, kadar interaksi dan kerumunan manusia berlangsung dalam jumlah yang terbatas. Begitu pula, transportasi yang mengantar barang dan produksi antar kota dan kampung ke kota harus berjalan secara normal demi menghidupkan ekonomi dan menyelamatkan kehidupan manusia; peristiwa makan, minum, menjaga kesehatan dan jaringan pendidikan yang dilaksanakan secara serba online. Kecerdasan alternatif dan kecerdasana alienatif harus direngkuh oleh manusia-manusia abad ini untuk survival, ya untuk bertahan hidup, sekaligus mengumumkan kepada dunia, bahwa kita; manusia adalah makhluk yang unggul dalam semua keadaan. Walau semencekam apa pun keadaan itu…

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari