BEIJING (RIAUPOS.CO) – Laporan ekonomi Cina kuartal II 2019 kembali memberikan kabar buruk. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Negeri Panda itu hanya mencapai 6,2 persen. Semakin mendekati batas bawah dalam prediksi pemerintahan Xi Jinping.
National Bureau of Statistics (NBS) Cina merilis bahwa perolehan PDB nasional pada kuartal II mencapai 23.750 miliar yuan (Rp48.084 triliun). Jika diakumulasikan, angka PDB hingga medio 2019 ini sudah mencapai 45.093 miliar yuan (Rp91.286 triliun). Catatan pertengahan tahun itu naik 6,4 persen jika dibandingkan dengan semester pertama 2018.
’’Kondisi ekonomi, di dalam atau luar negeri, masih buruk. Ekonomi melambat, ketidakpastian meningkat,†ujar Jubir NBS Mao Shengyong menurut South China Morning Post.
Angka tersebut menandakan bahwa ruang bernapas Cina sudah tak banyak. Awal tahun ini, rezim Xi Jinping memperkirakan pertumbuhan PDB 2019 berada di kisaran 6,0-6,5 persen. Mereka serius tak ingin membiarkan rapor ekonomi merah pada peringatan ke-70 berdirinya Partai Komunis.
’’Pemerintah tak akan pernah mengizinkan pertumbuhan (PDB, red) kuartal di bawah 6 persen,’’ kata Raymond Yeung, ekonom dari bank ANZ, kepada Agence France-Presse.
Untung, capaian pada Juni cukup baik. Produksi industri pada Juni naik 6,3 persen. Jauh lebih baik daripada pertumbuhan produksi industri Mei yang 5 persen, terburuk sejak 2002. Yang paling membantu adalah konsumsi pasar nasional yang tumbuh 9,8 persen. Tampaknya, 1,3 miliar penduduk Tiongkok sedang gandrung berbelanja.
’’Kuartal ini memang diakhiri dengan rekor yang baik. Tapi, hal itu belum cukup untuk menutupi ekonomi yang melambat,’’ ujar pakar Capital Economics Julian Evans-Pritchard.
Tak bisa dimungkiri, pertumbuhan trimester kedua tahun ini merupakan catatan terburuk Cina. Tiga dekade terakhir, ekonomi Cina mengalami bulan madu. Beberapa kali pertumbuhan mereka mencapai dua digit. Pada 2007, pertumbuhan PDB Tiongkok sempat mencapai 15 persen. Sementara itu, titik terendah mereka adalah 6,4 persen. Rekor buruk itu pernah tercatat pada kuartal pertama 2009 dan kuartal pertama tahun ini.