JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan memasukkan nama mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono dalam daftar pencarian orang (DPO). Keputusan itu dinilai menunjukkan bahwa KPK kurang tegas dalam menangani perkara suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar di lingkungan MA tersebut.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar sudah jauh-jauh hari meminta KPK agar menjemput paksa para tersangka dalam kasus tersebut. Pasalnya, para tersangka, termasuk Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto, tidak kooperatif memenuhi panggilan KPK sampai saat ini. ”Seharusnya pemanggilan paksa,” ujarnya, kemarin (15/2).
Nurhadi dkk ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Desember tahun lalu. Penetapan tersangka itu merupakan hasil pengembangan penanganan perkara yang bergulir sejak 2016. Yakni terkait perkara suap panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution. Kasus itu sempat menjadi perhatian publik lantaran berkaitan dengan praktik mafia peradilan.
Terkait dugaan praktik mafia peradilan itu, KPK menengarai Nurhadi dan menantunya menerima suap dan gratifikasi total Rp 46 miliar terkait pengurusan perkara di MA sejak 2011 hingga 2016. Namun, upaya membongkar dugaan praktik mafia peradilan itu saat ini terkendala seiring tidak kooperatifnya Nurhadi dkk terhadap proses hukum yang bergulir KPK.
Haris menduga lemahnya kepemimpinan KPK yang baru menjadi faktor kurang tegasnya penanganan perkara tersebut. Ketidaktegasan itu juga, kata dia, disebabkan sistem pengambilan keputusan yang rumit akibat berlakunya UU KPK baru. ”Kondisi itu menjadi celah yang digunakan tersangka untuk kabur dari jerat hukum,” paparnya.
Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan pihaknya belum mengetahui dimana keberadaan Nurhadi dkk. Pihaknya terus mencari Nurhadi dengan meminta bantuan Polri. ”Kami meminta kepada Polri untuk menangkap para tersangka,” tuturnya.(tyo/jpg)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos
JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan memasukkan nama mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono dalam daftar pencarian orang (DPO). Keputusan itu dinilai menunjukkan bahwa KPK kurang tegas dalam menangani perkara suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar di lingkungan MA tersebut.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar sudah jauh-jauh hari meminta KPK agar menjemput paksa para tersangka dalam kasus tersebut. Pasalnya, para tersangka, termasuk Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto, tidak kooperatif memenuhi panggilan KPK sampai saat ini. ”Seharusnya pemanggilan paksa,” ujarnya, kemarin (15/2).
- Advertisement -
Nurhadi dkk ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Desember tahun lalu. Penetapan tersangka itu merupakan hasil pengembangan penanganan perkara yang bergulir sejak 2016. Yakni terkait perkara suap panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution. Kasus itu sempat menjadi perhatian publik lantaran berkaitan dengan praktik mafia peradilan.
Terkait dugaan praktik mafia peradilan itu, KPK menengarai Nurhadi dan menantunya menerima suap dan gratifikasi total Rp 46 miliar terkait pengurusan perkara di MA sejak 2011 hingga 2016. Namun, upaya membongkar dugaan praktik mafia peradilan itu saat ini terkendala seiring tidak kooperatifnya Nurhadi dkk terhadap proses hukum yang bergulir KPK.
- Advertisement -
Haris menduga lemahnya kepemimpinan KPK yang baru menjadi faktor kurang tegasnya penanganan perkara tersebut. Ketidaktegasan itu juga, kata dia, disebabkan sistem pengambilan keputusan yang rumit akibat berlakunya UU KPK baru. ”Kondisi itu menjadi celah yang digunakan tersangka untuk kabur dari jerat hukum,” paparnya.
Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan pihaknya belum mengetahui dimana keberadaan Nurhadi dkk. Pihaknya terus mencari Nurhadi dengan meminta bantuan Polri. ”Kami meminta kepada Polri untuk menangkap para tersangka,” tuturnya.(tyo/jpg)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos