(RIAUPOS.CO) — Saya harus menulis ini. Biar pun tidak akan ada yang membaca. Saya tahu, topik ini kalah menarik. Harusnya saya menulis yang lagi panas di dalam negeri: anda lebih tahu topik apa itu. Tapi saya harus tahu diri.
Saya pun harus tetap menulis untuk DI’s Way. Pun ini hanya tentang Li Ka-Shing, orang terkaya di Asia itu. Konglomerat terbesar dari Hongkong itu. Yang umurnya sudah 91 tahun itu. Ia lagi tersengat. Ia lagi jadi topik di Hongkong pekan ini. Di balik demo terpanjang dalam sejarah itu.
Sengatan itu datang sejak Li Ka-Shing memasang iklan. Satu halaman penuh. Di beberapa koran di Hongkong. Ups. Itu iklan kedua. Yang pertama, dua minggu sebelumnya. Juga satu halaman. Tapi hitam putih. Isinya sebenarnya terlihat netral: Hongkong perlu diselamatkan. Hongkong perlu suasana damai.
Salah satu iklan itu mengutip pepatah kuno: “Melon Huangtai yang sudah kena pukul tidak bisa dipetik lagi”. Tolong koreksi tafsir saya nanti. Saya berterima kasih kalau ada yang membetulkan kata-kata itu. Aslinya itu dalam bahasa Kanton. Saya sama sekali tidak paham bahasa daerah di Selatan Tiongkok itu.
Saya pun mengontak teman akrab di Hongkong. Untuk tahu di balik filosofi kalimat itu. Kok sampai bikin heboh. Aslinya kalimat itu berupa puisi. Menjadi terkenal ketika diucapkan seorang menjelang ajalnya. Ia seorang putra mahkota. Di zaman dinasti Tang. Yang lahir hampir bersamaan eranya dengan Nabi Muhammad. Tahun 600-an.
Sang Putra Mahkota dipaksa bunuh diri. Yang memaksa ibunya sendiri.Dalam bahasa Mandarin bunyinya begini Huang gua zhi tai he kan zai zhai. Sang ibu waswas sang Putra Mahkota menggulingkannya. Lalu menjadi raja. Menggantikan sang ratu.”Melon Huangtai yang sudah terpukul, tidak bisa dipetik lagi”.
Maksudnya, Dinasty Tang (kemakmurannya sudah selezat melon terbaik dari daerah Huangtai) sudah dalam kondisi parah. Akibat kepemimpinan ibunya. Tidak akan bisa diselamatkan lagi.
Biar pun ia bunuh diri. Apakah Hongkong sudah jadi melon Huangtai? Yang sulit diselamatkan? Iklan itu masih disusul iklan berikutnya. Nadanya masih belum jelas memihak siapa. Tapi dalam iklan itu ada terselip kalimat “Generasi muda adalah master of our future”.
Dua iklan Djarum, ups, Li Ka-shing itulah yang bisa ditafsirkan memihak pendemo. Yang umumnya anak muda Hongkong itu. “Hongkong harus diselamatkan”. Itulah inti dari misi iklan itu. Apakah berarti Pemerintah Hongkong harus menuruti kehendak pendemo? Bagaimana kalau tuntutan itu berkembang ke keinginan Hongkong merdeka?
Hongkong harus diselamatkan. Sepertinya tidak ada masalah apa-apa. Sebuah klise. Tapi Li Ka-shing langsung tersengat. Ia yang awalnya menyerukan. Ia yang kemudian kena sengat. Yang menyengat adalah media resmi Tiongkok, Harian Rakyat. “Penyebab kisruh Hongkong sekarang ini adalah kesulitan rakyat kecil mendapatkan perumahan,” ujar koran itu.
Harga rumah memang sangat mencekik di Hongkong. Pegawai biasa hampir mustahil bisa beli rumah. “Mahalnya harga rumah itu akibat kerakusan pengusaha real estate. Mereka cari untung terlalu besar,” tulis koran itu.
Tudingan itu langsung mengarah ke Li Ka-shing. Pengusaha real estate terbesar di sana. Nama Li Ka-shing terang-terangan ditulis di situ. “Harusnya Pemerintah Hongkong mencabut hak atas tanah yang telah diberikan ke Li Ka-shing,” kata Harian Rakyat.
Sikap koran seperti itu dipercaya sebagai sikap pemerintah Tiongkok. “Ambil tanah-tanah itu. Bangun perumahan rakyat”. Sengatan pada konglomerat terbesar Hongkong itu langsung menimbulkan rumor hebat. Bahwa diam-diam Li Ka-shing mendukung demo. Bahwa hubungan Li Ka-shing dengan Pemerintah Tiongkok lagi kurang baik.
Sebenarnya itu sudah bisa dibaca sejak tahun lalu. Setidaknya, saya membacanya begitu. Ups, bahkan sebenarnya sejak dua tahun lalu. Saya mengikuti perkembangannya. Di tahun itu ada wisuda di Universitas Shantou. Li Ka-shing dilahirkan di kota itu. Bukan main miskinnya kota Shantou 91 tahun lalu.
Saya dua kali ke Shantou. Saat masih sangat miskin. 25 tahun lalu. Juga ketika di awal kebangkitannya. Shantou adalah ibu kota kabupaten di pojok timur laut Provinsi Guangdong. Berbatasan dengan Provinsi Fujian. Hanya satu jam penerbangan dari Hongkong. Di acara wisuda itu terjadi keganjilan. Li Ka-shing tidak tampak hadir.
Padahal tiap tahun ia selalu hadir. Untuk memberikan pidato. Terutama mengenai kiat putra daerah yang miskin bisa menjadi orang terkaya di Asia. Li Ka-shing juga penyumbang besar Universitas Shantou. Ketika Tiongkok masih belum kaya. Mengapa di wisuda kali itu Li Ka-shing tidak hadir?
Sangat mengejutkan: ia tidak diundang! Sengaja tidak diundang. Namanya pun hilang dari susunan dewan penasihat universitas. Sejak itu orang tahu: Li Ka-shing lagi bermasalah. Khususnya dengan Pemerintah Tiongkok. Adakah itu tentang bisnis-bisnisnya yang menggurita di Tiongkok?
Tidak ada yang tahu. Tapi itu pasti sangat besar. Sampai dipermalukan begitu di kampung halamannya. Di hari tuanya. Adakah Li Ka-shing kini sudah menjadi melon Huangtai di mata Tiongkok?***