JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Para guru honorer menuntut perhatian dari pemerintah, yang diwarnai dengan munculnya imbauan Ketum IGI (Ikatan Guru Indonesia) Muhammad Ramli Rahim agar mereka melakukan aksi meninggalkan ruang kelas. Tenaga honorer K2 tenaga teknis administrasi (TTA) juga mulai lantang memerjuangkan nasibnya.
Saat ini ada sekitar 269.400 honorer K2 tenaga teknis administrasi alias TTA yang butuh perhatian pemerintah. Sudah puluhan tahun mengabdi. Namun tidak juga diangkat menjadi PNS. Padahal rekannya yang lain yakni guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh, sebagian sudah berstatus ASN (aparatuur sipil negara).
Pada 2018, pemerintah mengeluarkan data base Badan Kepegawaian Negara (BKN). Disebutkan, guru honorer K2 yang terdata 157.210, dosen 86, tenaga kesehatan 6.091, penyuluh 5.803, administrasi 269.400.
Sayangnya, dalam penyelesaian honorer K2, pemerintah hanya fokus pada guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh untuk pengangkatan CPNS 2018. Itupun fokus pada usia di bawah 35 tahun.
Sedangkan usia 35 tahun ke atas, pemerintah memberikan kesempatan kepada mereka ikut tes PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) tahap I pada Februari 2019. Sayangnya, lagi-lagi TTA terlewatkan.
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada TTA ini membuat mereka berontak. Mereka protes, merasa posisinya tidak kalah penting seperti guru, nakes, dan penyuluh.
"Saya honorer TTA dari Kota Bima, NTB. Saya sudah mengabdi dari 2004 tetapi sampai sekarang masih berstatus honorer," kata Adi Mulyadi kepada JPNN.com, Kamis (14/11).
Di tengah harapan yang makin tipis, Adi meminta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) segera menerbitkan surat verifikasi validasi (verval) di masing-masing pemda.
Ini sebagai bukti awal kalau pemerintah akan menyelesaikan masalah honorer K2. Kalau tidak berarti memang pusat tidak ada niat menyelesaikan honorer K2.
"Sungguh meresahkan kami Tenaga Teknis dan Administrasi ketika kebijakan pemerintah hanya memprioritaskan pada formasi tertentu, padahal honorer K2 adalah satu kesatuan," tuturnya.
Keluhan juga disampaikan Hendry Pratama. Tenaga administrasi/teknis SMPN 1 Arjasari Kabupaten Bandung ini juga merasa pilu hati. Pernah ikut tes CPNS pada 2013, sayangnya tidak lulus.
Hendry bersama 200 TTA di sekolah negeri se-Kabulaten Bandung hanya berharap ada sedikit perhatian untuk mereka.
"Kami sudah berjuang lewat pendekatan ke pejabat daerah sampai ke pusat. Bahkan sering melakukan aksi demo. Tidak terhitung dana yang sudah kami keluarkan untuk perjuangan ini tetapi hasilnya belum berpihak kepada TTA," katanya.
Dedi, honorer K2 TTT Dikbud Kabupaten Cianjur, tepatnya di SMP N 5 Cianjur, sudah bekerja sejak 1989 sampai sekarang. Namun, statusnya belum jelas.
"Apakah pemerintah tidak punya hati sampai tega membiarkan kami yang mengabdi lebih 20 tahun masih begini-begini saja?. Sekarang usia saya sudah setengah abad plus," ucapnya.
Keluhan juga disampaikan Agus, TTA dari Kota Bandung. Dia menyebutkan ada 218 TTA dari beberapa SKPD. Ini belum dari teknis pendidikan.
"Jumlah kami makin sedikit karena dimakan usia. Banyak juga yang meninggal karena sakit dan lainnya. Bagaimana kami tidak sakit, makan saja belum tentu bisa sehari dua kali. Mau ambil dari mana? Jadi uang makan diirit untuk biaya sekolah anak-anak biar enggak jadi honorer kayak orang tuanya," tuturnya.
Susilawati, honorer K2 dari Tasikmalaya mengungkapkan, dia bekerja lebih dari tenaga fungsional. Sekarang sudah banyak tenaga administrasi yang pensiun. Jadi, jumlah tenaga teknis administrasi berkurang bukan karena sebagian diangkat menjadi PNS. Namun karena sudah dianggap tidak layak bekerja karena faktor usia, alias pensiun.
"Tolonglah para pejabat pemerintah dan DPR RI, dengarkan suara hati kami. Honorer K2 itu bukan hanya guru, ada banyak Tenaga Teknis Adimistrasi yang butuh sentuhan pemerintah," tegasnya. (esy/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal