Mengapa pedagang di pinggir jalan disebut dengan istilah "pedagang kaki lima atau PKL"?
0812754XXX
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Masyarakat sudah akrab dengan istilah PKL atau pedagang kaki lima. Nama pedagang kaki lima biasanya diberikan kepada pedagang yang berjualan menggunakan gerobak atau tenda di trotoar pinggir jalan.
Lalu dari mana istilah pedagang kaki lima disematkan? Menurut penjelasan pegamat perkotaan Ir Rony Ardiansyah MT IP-U, ada berbagai ragam versi mengenai asal muasal penamaan pedagang kaki lima. Salah satu yang cukup terkenal adalah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan istilah kaki lima adalah karena mereka menggunakan gerobak yang berkaki tiga, ditambah dengan jumlah kaki dari si pedagang yang berjumlah dua maka disebutlah pedagang tersebut berkaki lima. Namun, hal itu tidak bisa dipercaya secara utuh, mengingat bahwa para PKL yang menggunakan gerobak baru “eksis” sejak masa 1980-an, sementara pada masa sebelum itu sudah ada istilah pedagang kaki lima kepada para pedagang meskipun mereka tidak menggunakan gerobak beroda tiga. Bahkan, keberadaan PKL ini sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Kehadiran pedagang kaki lima sudah dimulai sejak zaman Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Pemerintah Belanda membuat peraturan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pedestrian atau pejalan kaki, yang saat ini diberi nama trotoar. Lebar ruas untuk sarana tersebut adalah lima kaki atau satu setengah meter. Sarana pedestrian yang cukup luas di samping jalan raya akhirnya dimanfaatkan oleh warga untuk menggunakannya sebagai tempat untuk menjajakan dagangannya. Adakala mereka menggunakan kesempatan berjualan di ruas jalan tersebut sembari beristirahat.
Lalu, dari mana munculnya penamaan pedagang kaki lima? Ternyata, istilah ini merupakan implikasi dari sebuah kesalahan terjemahan yang dilakukan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Istilah trotoar selebar lima kaki yang dicanangkan oleh Raffles disebut Five Foot Way, dan para pedagang yang berjualan di trotoar tersebut pun disebut sebagai Five Foot Way Trader. Lantas, ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, istilah five foot rupanya disalahmaknakan sebagai kata majemuk.
Seorang pengamat politik Indonesia dari Ohio State University, William Liddle, dalam buku Pedagang yang Berkaki Lima, menyebutkan kebijakan trotoar lima kaki ini diterapkan juga di Chinatown saat bertugas di Singapura pada 1819. Nah, ternyata kata five foot yang artinya lima kaki (satuan panjang) malah diterjemahkan menjadi kaki lima dalam bahasa Melayu. Majalah Mayapada edisi 15 Desember 1967 mencatat saat menerjemahkan ke bahasa Melayu, hukum MD (menerangkan-diterangkan) dalam bahasa Inggris dibalik jadi hukum DM (diterangkan-menerangkan) tanpa melihat konteksnya. Istilah ini kemudian menjalar ke berbagai kota di seluruh pelosok negeri dan akhirnya hingga saat ini para pedagang tersebut masih saja disebut sebagai pedagang kaki lima (PKL).
Sejak saat itu, keberadaan pedagang kaki lima sebagai salah satu penghuni tetap trotoar (yang sebelumnya dikhususkan untuk para pejalan kaki) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia. Dengan adanya PKL di trotoar, terjadilah simbiosis mutualisme antara para pedagang dan para pejalan kaki. Implikasi buruknya adalah dengan semakin banyaknya PKL yang bertebaran di trotoar, jalanan semakin menyempit dan kendaraan serta para pejalan kaki susah untuk mendapatkan akses jalan. Karena itu, pemerintah sedang giat merelokasi para pedagang kaki lima ke suatu area yang lebih memudahkan mereka untuk menjajakan dagangannya sehingga bisa mengurangi resiko kemacetan dan memperindah tata kota.(jrr)