Federasi Buruh Berencana Turun ke Jalan Lagi

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  — Aksi turun ke jalan masih untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja akan dilakukan oleh Konfederasi Serikan Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 elemen serikat buruh lain. Beberapa pasalnya masih janggal. 

Senin (12/10), KSPI menyatakan tetap akan melakukan aksi. Hal tersebut dinyatakan oleh Presiden KSPI Said Iqbal. Aksi yang digelar akan sama dengan yang dilakukan sebelumnya, yakni terarah dan sesuai konstitusi. 

- Advertisement -

"Aksi tidak boleh ada kekerasan," ucapnya kemarin dalam konferensi pers di Jakarta.

Dia pun berjanji akan terus borkoordinasi dengan aparat. Termasuk untuk mengurangi potensi kerusuhan. "Namun jangan larang kami untuk aksi karena ini merupakan hak kami," ungkapnya.

- Advertisement -

Ketika ditanya terkait dengan berbagai organisasi yang turut mendukung penolakan UU Cipta Kerja, Said menyatakan berterima kasih. Termasuk berbagai organisasi yang ikut turun ke jalan. "Setiap anggota kami yang turun maka akan ada surat intruksi yang meminta agar menghindari kerusuhan," ungkapnya. 

Namun dia tak bisa mengontrol organisasi lainnya. Selain aksi, hal lain yang akan dilakukan adalah meminta dilakukan peninjauan. Antara lain eksekutif review dan legislatif review. Dalam langkah eksekutif review, dia meminta agar Presiden Joko Widodo membentu Perpu. 

"Sampai ditandatangani UU ini, kami mohon kepada presiden dan ketua DPR untuk gunakan hak legislatif review dan eksekutif review," ucapnya.

UU Cipta Kerja dinilai cacat. Salah satunya tidak dilakukan public hearing. Dalam pengesahan Sidang Paripurna DPR juga belum ada draf pasti. Terkesan hanya mengesahkan kertas kosong. Lalu bagaimana dengan judicial review? Kemungkinan ini juga masuk dalam agenda. Namun belum prioritas. Sebab masih banyak hal yang harus dipelajari untuk melakukan peninjauan lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam kesempatan yang sama, dia juga meluruskan beberapa opini yang berkembang. Misalnya terkait dengan upah minimum. Dia membenarkan bahwa dalam UU tersebut memang masih tercantum. Namun yang menjadi masalah adalah adalah upah minimum bersyarat. 

"Bersyaratnya apa belum jelas," ungkapnya.

Dia menegaskan yang ditolak buruh adalah adanya kata bersyarat. Apalagi tidak ada keterbukaan syarat seperti apa yang seharusnya ada. Merujuk pada aturan yang selama ini berjalan, upah minimun bersyarat ini tak dikenal. 

"Kami menuntut kembali ke UU 13/2003," ujarnya.

Said juga menegaskan bahwa buruh menolak penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota. (UMSK). Jika dihilangkan maka tidak ada perbedaan pengupahan yang disesuaikan dengan keahlian pabrik. 

"Kalau UMSK hilang, masa pabrik kerupuk dengan pabrik mobil sama upah minimumnya. Kan tidak masuk akal," tuturnya. 

Selain itu jika diikutkan pada upah minimum provinsi maka ada beberapa daerah yang upah minimumnya mengecil. Contohnya Jabodetabek yang sekarang upah minimumnya Rp4,9 juta jika akan mengikuti upah minimum provinsi Jawa Barat bisa berubah menjadi Rp1,8 juta.

Sementara itu Jejaring Gerakan Rakyat menyerukan agar elemen yang menolak UU Ciptaker tetap turun aksi ke jalan. Aksi itu untuk memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara hingga dicabutnya UU Cipta Kerja. 

"Pembangkangan sipil diperlukan untuk menegaskan suara kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat," kata Nining Elitos, perwakilan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak).

Jejaring Gerakan Rakyat terdiri dari belasan perkumpulan buruh dan mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Jakarta, Jawa Timur, Makassar, Jambi, Riau, Lampung, Sumatera Utara, dan Banten. Mereka secara tegas menolak UU Ciptaker. Penolakan itu didasari atas pengesahan UU yang terburu-buru dan sembunyi-sembunyi.

Nining menambahkan, gerakan itu merupakan akumulasi amarah rakyat sipil. Sebelumnya, kemarahan itu tumbuh sembunyi-sembunyi. Kemudian meledak ketika pemerintah dan DPR mengesahkan UU Ciptaker tanpa melibatkan partisipasi publik. Pengesahan UU tersebut dianggap tidak memihak kepentingan rakyat. 

Selain menyerukan aksi turun ke jalan, gerakan yang diinisiasi para aktivis dan pentolan organisasi masyarakat sipil itu juga meminta semua elemen untuk membangun persatuan gerakan rakyat akar rumput nasional. Gerakan itu diperlukan untuk menguatkan barisan perlawanan dan pembangkangan sipil yang lebih besar dan masif. 

Mereka juga menyerukan perlawanan atas tindakan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror, dan pembungkaman berbicara serta pengerahan kekuatan yang berlebihan dalam penanganan pengamanan massa aksi di jalan, kampus dan kawasan industri. "Polisi adalah alat negara, bukan menjadi alat pemerintah," kata Asfinawati, perwakilan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI). 

Dikonfirmasi terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, bahwa UU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan eksisting yang berkaitan dengan Upah Minimum. Termasuk soal Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Prinsipnya, UMP bersifat wajib ditetapkan. Sedangkan UMK ditetapkan dengan syarat tertentu. 

"Syarat tertentunya ini yaitu memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," ujarnya. 

Menurutnya, syarat ini diperlukan agar UMK yang nantinya ditetapkan tidak hanya terlihat bagus diatas kertas. Tapi, juga dapat diimplementasikan dengan baik. Nah, bagi perusahaan yang mampu melaksanakan ketentuan upah di atas UMP dan UMK masih terdapat ruang melalui pengaturan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, termasuk mengatur upah yang bersifat sektoral. Proses ini dapat mendorong pekerja/buruh berpartisipasi dalam proses dialog dengan perusahaan. Ketentuan ini sejalan dengan standar internasional yang menyatakan bahwa pengupahan secara mendasar disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa bagi pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini. 

"Jadi, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah," tegasnya. 

Sementara itu, mengenai PHK, diakuinya, sejak berlakunya UU 13/2003, ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK tidak berjalan sebagaimana mestinya. Persentase pelaksanaan pembayaran uang pesangon cenderung lebih kecil nilainya daripada yang diatur dalam UU 13/2003. 

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2019, disebutkan bahwa dari sekitar 536 perjanjian bersama (PB) kasus PHK, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003 hanya 27 persen atau sekitar 147 PB. Sedangkan sisanya, melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU 13/2003 tetapi memberikan dalam bentuk lainnya.

Data ini sejalan dengan laporan World Bank tahun 2010 yang mengutip data Sakernas BPS 2008, dimana berdasarkan laporan pekerja hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU 13/2003. Sementara, 27 persen pekerja menerima pesangon namun tidak seseuai dengan yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003 dan sisanya, 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon.

"Dalam prakteknya, pembayaran uang pesangon lebih dipengaruhi oleh proses negosiasi sehigga besaran yang diterima pekerja atau buruh di bawah ketentuan," paparnya. 

Berdasarkan fakta dan data di atas, lanjut dia, maka konstruksi hukum yang dibangun dalam UU Cipta Kerja dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK lebih menekankan pada aspek kepastian pembayaran kompensasi PHK. Ditambah dengan perluasan perlindungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berbasis pada pemberian uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja."Untuk mendukung pengaturan tersebut, maka diperlukan penyesuaian atas besaran kompensasi PHK," katanya. 

Dia menambahkan, fokus perlindungan yang diatur dalam UU Cipta Kerja bukan saja meningkatkan penguatan perlindungan bagi pekerja PKWTT (tetap), namun juga memperluas perlindungan kerja bagi pekerja/buruh PKWT/kontrak. Salah satunya melalui pengaturan kompensasi kepada pekerja/buruh PKWT sesuai dengan masa kerja di perusahaan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Sementara banyak diprotes buruh, kalangan pengusaha menilai bahwa pesangon untuk karyawan yang terkena PHK sebesar maksimal 25 kali upah dari sebelumnya maksimal 32 kali upah, masih lebih tinggi dibandingkan negara di ASEAN lainnya. 

"Vietnam rata-rata 10 kali upah, Malaysia dan Thailand 10 sampai 15 kali upah. Kita pun masih relatif  tinggi," ujar Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani.

Menurut Rosan, dalam pemberian pesangon yang sebagian ditanggung pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan pun tidak mengurangi hak-hak para buruh yang berasal dari program jaminan lainnya. Oleh karena itu, Rosan mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk memahami terlebih dahulu UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebab, jika ada pasal-pasal yang tidak tertuang bukan berarti hilang atau tidak berlaku lagi. "Banyak yang beranggapan kalau tidak disebutkan dalam Omnibus Law itu hilang, padahal kan itu tidak seperti itu," tambahnya.

Rosan kembali menegaskan bahwa saat ini berbagai reformasi perlu dilakukan apabila Indonesia ingin menigkatkan angka penyerapan tenaga kerja. Pasalnya, Rosan mencatat, meski realisasi investasi setiap tahunnya mengalami peningkatan, angka penyerapan tenaga kerja justru mengalami penurunan. "Di tahun 2016, penyerapan tenaga kerja kita masih di 2.271 orang per 1 triliun. Sementara di 2019 per 1 trilun hanya 1.200 orang, lebih sedikit," bebernya.

Menurut dia, hal tersebut karena negara-negara tetangga terus melakukan reformasi kemudahan berusaha. Sehingga para pelaku investor padat karya lebih memilih untuk menanamkan modalnya di negara lain, dibanding di Indonesia. "Negara-negara tetangga kita, mereka juga melakukan reformasi struktural secara terus menerus. Ini yang kita coba lakukan," pungkasnya. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, omnibus law tidak mengakomodir industri padat karya. Pemerintah tidak cukup hanya dengan memberi kemudahan pendaftaran dan perizinan mendirikan perusahaan maupun UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) saja. Padahal, kendala utamanya bukan itu.

Menurut dia, justru kendala yang utama adalah pemasaran. Seharusnya omnibus law memberikan satu kerangka agar investasi dalam negeri ada proses alih teknologi bagi perusahaan lokal dan UMKM. Boleh sebagian atau seluruhnya. "Sehingga gap kapasitas teknologi yang dimiliki perusahaan lokal dan perusahaan asig bisa berkurang. Dengan begitu, perusahaan dan UMKM di tanah air akan berkembang dan menjadi mitra yang sejajar," beber Tauhid saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin.

Bagi perusahaan asing yang memberikan alih teknologi untuk kemudian diberikan insentif. Seperti, insentif pajak maupun pengurangan biaya impor. "Sayangnya, dalam omnibus law alih teknologi belum menjadi salah satu prioritas," imbuhnya.(mia/agf/lyn/tyo/han/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  — Aksi turun ke jalan masih untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja akan dilakukan oleh Konfederasi Serikan Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 elemen serikat buruh lain. Beberapa pasalnya masih janggal. 

Senin (12/10), KSPI menyatakan tetap akan melakukan aksi. Hal tersebut dinyatakan oleh Presiden KSPI Said Iqbal. Aksi yang digelar akan sama dengan yang dilakukan sebelumnya, yakni terarah dan sesuai konstitusi. 

"Aksi tidak boleh ada kekerasan," ucapnya kemarin dalam konferensi pers di Jakarta.

Dia pun berjanji akan terus borkoordinasi dengan aparat. Termasuk untuk mengurangi potensi kerusuhan. "Namun jangan larang kami untuk aksi karena ini merupakan hak kami," ungkapnya.

Ketika ditanya terkait dengan berbagai organisasi yang turut mendukung penolakan UU Cipta Kerja, Said menyatakan berterima kasih. Termasuk berbagai organisasi yang ikut turun ke jalan. "Setiap anggota kami yang turun maka akan ada surat intruksi yang meminta agar menghindari kerusuhan," ungkapnya. 

Namun dia tak bisa mengontrol organisasi lainnya. Selain aksi, hal lain yang akan dilakukan adalah meminta dilakukan peninjauan. Antara lain eksekutif review dan legislatif review. Dalam langkah eksekutif review, dia meminta agar Presiden Joko Widodo membentu Perpu. 

"Sampai ditandatangani UU ini, kami mohon kepada presiden dan ketua DPR untuk gunakan hak legislatif review dan eksekutif review," ucapnya.

UU Cipta Kerja dinilai cacat. Salah satunya tidak dilakukan public hearing. Dalam pengesahan Sidang Paripurna DPR juga belum ada draf pasti. Terkesan hanya mengesahkan kertas kosong. Lalu bagaimana dengan judicial review? Kemungkinan ini juga masuk dalam agenda. Namun belum prioritas. Sebab masih banyak hal yang harus dipelajari untuk melakukan peninjauan lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam kesempatan yang sama, dia juga meluruskan beberapa opini yang berkembang. Misalnya terkait dengan upah minimum. Dia membenarkan bahwa dalam UU tersebut memang masih tercantum. Namun yang menjadi masalah adalah adalah upah minimum bersyarat. 

"Bersyaratnya apa belum jelas," ungkapnya.

Dia menegaskan yang ditolak buruh adalah adanya kata bersyarat. Apalagi tidak ada keterbukaan syarat seperti apa yang seharusnya ada. Merujuk pada aturan yang selama ini berjalan, upah minimun bersyarat ini tak dikenal. 

"Kami menuntut kembali ke UU 13/2003," ujarnya.

Said juga menegaskan bahwa buruh menolak penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota. (UMSK). Jika dihilangkan maka tidak ada perbedaan pengupahan yang disesuaikan dengan keahlian pabrik. 

"Kalau UMSK hilang, masa pabrik kerupuk dengan pabrik mobil sama upah minimumnya. Kan tidak masuk akal," tuturnya. 

Selain itu jika diikutkan pada upah minimum provinsi maka ada beberapa daerah yang upah minimumnya mengecil. Contohnya Jabodetabek yang sekarang upah minimumnya Rp4,9 juta jika akan mengikuti upah minimum provinsi Jawa Barat bisa berubah menjadi Rp1,8 juta.

Sementara itu Jejaring Gerakan Rakyat menyerukan agar elemen yang menolak UU Ciptaker tetap turun aksi ke jalan. Aksi itu untuk memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara hingga dicabutnya UU Cipta Kerja. 

"Pembangkangan sipil diperlukan untuk menegaskan suara kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat," kata Nining Elitos, perwakilan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak).

Jejaring Gerakan Rakyat terdiri dari belasan perkumpulan buruh dan mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Jakarta, Jawa Timur, Makassar, Jambi, Riau, Lampung, Sumatera Utara, dan Banten. Mereka secara tegas menolak UU Ciptaker. Penolakan itu didasari atas pengesahan UU yang terburu-buru dan sembunyi-sembunyi.

Nining menambahkan, gerakan itu merupakan akumulasi amarah rakyat sipil. Sebelumnya, kemarahan itu tumbuh sembunyi-sembunyi. Kemudian meledak ketika pemerintah dan DPR mengesahkan UU Ciptaker tanpa melibatkan partisipasi publik. Pengesahan UU tersebut dianggap tidak memihak kepentingan rakyat. 

Selain menyerukan aksi turun ke jalan, gerakan yang diinisiasi para aktivis dan pentolan organisasi masyarakat sipil itu juga meminta semua elemen untuk membangun persatuan gerakan rakyat akar rumput nasional. Gerakan itu diperlukan untuk menguatkan barisan perlawanan dan pembangkangan sipil yang lebih besar dan masif. 

Mereka juga menyerukan perlawanan atas tindakan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror, dan pembungkaman berbicara serta pengerahan kekuatan yang berlebihan dalam penanganan pengamanan massa aksi di jalan, kampus dan kawasan industri. "Polisi adalah alat negara, bukan menjadi alat pemerintah," kata Asfinawati, perwakilan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI). 

Dikonfirmasi terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, bahwa UU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan eksisting yang berkaitan dengan Upah Minimum. Termasuk soal Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Prinsipnya, UMP bersifat wajib ditetapkan. Sedangkan UMK ditetapkan dengan syarat tertentu. 

"Syarat tertentunya ini yaitu memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," ujarnya. 

Menurutnya, syarat ini diperlukan agar UMK yang nantinya ditetapkan tidak hanya terlihat bagus diatas kertas. Tapi, juga dapat diimplementasikan dengan baik. Nah, bagi perusahaan yang mampu melaksanakan ketentuan upah di atas UMP dan UMK masih terdapat ruang melalui pengaturan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, termasuk mengatur upah yang bersifat sektoral. Proses ini dapat mendorong pekerja/buruh berpartisipasi dalam proses dialog dengan perusahaan. Ketentuan ini sejalan dengan standar internasional yang menyatakan bahwa pengupahan secara mendasar disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa bagi pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini. 

"Jadi, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah," tegasnya. 

Sementara itu, mengenai PHK, diakuinya, sejak berlakunya UU 13/2003, ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK tidak berjalan sebagaimana mestinya. Persentase pelaksanaan pembayaran uang pesangon cenderung lebih kecil nilainya daripada yang diatur dalam UU 13/2003. 

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2019, disebutkan bahwa dari sekitar 536 perjanjian bersama (PB) kasus PHK, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003 hanya 27 persen atau sekitar 147 PB. Sedangkan sisanya, melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU 13/2003 tetapi memberikan dalam bentuk lainnya.

Data ini sejalan dengan laporan World Bank tahun 2010 yang mengutip data Sakernas BPS 2008, dimana berdasarkan laporan pekerja hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU 13/2003. Sementara, 27 persen pekerja menerima pesangon namun tidak seseuai dengan yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003 dan sisanya, 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon.

"Dalam prakteknya, pembayaran uang pesangon lebih dipengaruhi oleh proses negosiasi sehigga besaran yang diterima pekerja atau buruh di bawah ketentuan," paparnya. 

Berdasarkan fakta dan data di atas, lanjut dia, maka konstruksi hukum yang dibangun dalam UU Cipta Kerja dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK lebih menekankan pada aspek kepastian pembayaran kompensasi PHK. Ditambah dengan perluasan perlindungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berbasis pada pemberian uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja."Untuk mendukung pengaturan tersebut, maka diperlukan penyesuaian atas besaran kompensasi PHK," katanya. 

Dia menambahkan, fokus perlindungan yang diatur dalam UU Cipta Kerja bukan saja meningkatkan penguatan perlindungan bagi pekerja PKWTT (tetap), namun juga memperluas perlindungan kerja bagi pekerja/buruh PKWT/kontrak. Salah satunya melalui pengaturan kompensasi kepada pekerja/buruh PKWT sesuai dengan masa kerja di perusahaan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Sementara banyak diprotes buruh, kalangan pengusaha menilai bahwa pesangon untuk karyawan yang terkena PHK sebesar maksimal 25 kali upah dari sebelumnya maksimal 32 kali upah, masih lebih tinggi dibandingkan negara di ASEAN lainnya. 

"Vietnam rata-rata 10 kali upah, Malaysia dan Thailand 10 sampai 15 kali upah. Kita pun masih relatif  tinggi," ujar Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani.

Menurut Rosan, dalam pemberian pesangon yang sebagian ditanggung pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan pun tidak mengurangi hak-hak para buruh yang berasal dari program jaminan lainnya. Oleh karena itu, Rosan mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk memahami terlebih dahulu UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebab, jika ada pasal-pasal yang tidak tertuang bukan berarti hilang atau tidak berlaku lagi. "Banyak yang beranggapan kalau tidak disebutkan dalam Omnibus Law itu hilang, padahal kan itu tidak seperti itu," tambahnya.

Rosan kembali menegaskan bahwa saat ini berbagai reformasi perlu dilakukan apabila Indonesia ingin menigkatkan angka penyerapan tenaga kerja. Pasalnya, Rosan mencatat, meski realisasi investasi setiap tahunnya mengalami peningkatan, angka penyerapan tenaga kerja justru mengalami penurunan. "Di tahun 2016, penyerapan tenaga kerja kita masih di 2.271 orang per 1 triliun. Sementara di 2019 per 1 trilun hanya 1.200 orang, lebih sedikit," bebernya.

Menurut dia, hal tersebut karena negara-negara tetangga terus melakukan reformasi kemudahan berusaha. Sehingga para pelaku investor padat karya lebih memilih untuk menanamkan modalnya di negara lain, dibanding di Indonesia. "Negara-negara tetangga kita, mereka juga melakukan reformasi struktural secara terus menerus. Ini yang kita coba lakukan," pungkasnya. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, omnibus law tidak mengakomodir industri padat karya. Pemerintah tidak cukup hanya dengan memberi kemudahan pendaftaran dan perizinan mendirikan perusahaan maupun UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) saja. Padahal, kendala utamanya bukan itu.

Menurut dia, justru kendala yang utama adalah pemasaran. Seharusnya omnibus law memberikan satu kerangka agar investasi dalam negeri ada proses alih teknologi bagi perusahaan lokal dan UMKM. Boleh sebagian atau seluruhnya. "Sehingga gap kapasitas teknologi yang dimiliki perusahaan lokal dan perusahaan asig bisa berkurang. Dengan begitu, perusahaan dan UMKM di tanah air akan berkembang dan menjadi mitra yang sejajar," beber Tauhid saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin.

Bagi perusahaan asing yang memberikan alih teknologi untuk kemudian diberikan insentif. Seperti, insentif pajak maupun pengurangan biaya impor. "Sayangnya, dalam omnibus law alih teknologi belum menjadi salah satu prioritas," imbuhnya.(mia/agf/lyn/tyo/han/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya