PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — PERJALANAN waktu yang terasa cepat, ternyata kita sudah berada di sepuluh akhir dari Ramadan. Ramadan, di bulan ini kita mendidik diri untuk lebih teguh menjalankan perintah Ilahi. Siangnya kita berpuasa, malamnya indah dengan qiyam. Betapa bahagia saat magribnya kita menyantap jamuan berbuka, di waktu sahurnya terdapat keutamaan istighfar bagi lisan.
Detik-detiknya adalah cerita tentang harapan kedekatan dengan Allah pemilik semesta. Satu bulan bukanlah waktu yang panjang. Bila ia datang sebagai sunnah Allah dalam pergantian masa, ia juga akan pamit, berlalu tanpa satu makhluk pun yang mampu menghambat. Maka, "Rugi dan meranalah orang-orang yang bertemu dengan Ramadan, namun dosanya tidak diampuni."
Ada banyak hadis Rasulullah SAW yang menyatakan betapa mulianya bulan ini. Sehingga, jika seandainya manusia mengetahui betapa Ramadan begitu berharga, sungguh sepanjang tahun ia akan mendamba menjadi Ramadan seluruhnya. Namun, yang tak mencintai apa-apa, tak akan pernah merasakan kehilangan apa-apa.
Sebagai makhluk yang tidak sempurna, adalah hatmiy, menjadi kepastian bahwa kesalahan, kekeliruan, lupa, dan khilaf, selalu menemani hampir setiap jengkal hidup manusia. Tidak satupun makhluk yang berhak tinggal di muka bumi, bila setiap maksiatnya langsung berbuah azab. Allah berfirman: "Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ia tinggalkan satu makhluk melata pun di muka bumi". (QS. An-Nahl: 61).
Namun kasih sayang Alllah menegaskan ada jatah waktu bagi manusia untuk menggapai ampunan, untuk merajut taat setelah tenggelam dalam maksiat. Di sinilah makna Ramadan hadir. Ia datang bagai hujan yang dinanti saat kemarau panjang. Lihatlah, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka dikunci, setan-setan dibelenggu. Rahmat Allah, maghfirah-Nya, dan jaminan merdeka dari jeratan neraka, semua itu menjadi hadiah tak ternilai. Ada pula sepotong malam yang lebih agung dari seribu bulan.
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang kalian dustai?
Adalah iradat Allah SWT terhadap hamba-Nya dari pensyariatan ibadah puasa, lallakum tattaquun, agar engkau bertakwa. Apakah takwa sebenarnya? Ada satu makna yang sangat sederhana. Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab. "Wahai Ubay, apakah takwa itu?” Ubay menjawab, “Pernahkah engkau wahai Umar berjalan di satu tempat yang gelap, tak ada sinar dan suluh pelita, sementara di situ banyak duri, binatang berbisa dan lubang jebakan?” Kata Umar, "Tentu saja pernah." "Lalu apa yang kau lakukan saat itu?" lanjut Ubay. Kata Umar, "Aku berhati-hati."
Ubay kemudian menegaskan:
"Itulah(sesungguhnya) takwa.."
Pribadi yang bertakwa adalah yang berhati-hati. Berhati-hati karena di setiap langkah kita ada yang halal, ada juga haram, ada yang haq dan ada pula yang bathil. Kehati-hatian dalam hidup meniscayakan kita untuk memanfaatkan Ramadan kali ini sebaik mungkin. Sebab tidak ada yang bisa memberi jaminan, apakah di Ramadan yang akan datang kita masih bisa menemuinya. Oleh karena Ramadan ini tidak akan lama lagi dan ia akan menemui ujungnya, ada baiknya kita perhatikan pesan Imam Ibnul Jauzi – Rahimahullah – ini:
"Sesungguhnya kuda pacu apabila menjelang garis finis, ia akan berlari sekencang-kencangnya demi memenangkan pertandingan. Maka, jangan sampai engkau kalah pintar dibanding seekor kuda."***