JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Mayoritas dari sekelompok kecil pasien yang diobati dengan obat eksperimental Remdesivir untuk korona (Covid-19), menunjukkan perbaikan kondisi. Hal itu berdasar pada sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine pada Jumat (10/4).
Remdesivir, yang dibuat oleh perusahaan farmasi Amerika Serikat (AS) Gilead Sciences, sebenarnya belum mendapat lisensi atau disetujui di mana pun secara global dan belum diidentifikasi sebagai pengobatan yang aman dan efektif untuk korona.
Sebanyak 53 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan komplikasi parah korona diobati dengan obat antivirus tersebut berdasarkan compassionate drug use (penggunaan obat yang belum disetujui untuk mengobati penyakit serius ketika belum ada alternatif pengobatan lainnya) individu, namun bukan uji double-blinded dan kontrol plasebo.
"Mayoritas pasien dalam kohort internasional ini menunjukkan perbaikan klinis dan tidak ada sinyal keamanan baru yang diidentifikasi dengan pengobatan Remdesivir," tulis sebuah pernyataan Gilead Sciences seperti dikutip Antara dari Xinhua.
Hampir dua pertiga dari kelompok pasien dalam penelitian ini menggunakan ventilator pada data awal. Pengobatan dengan Remdesivir menghasilkan peningkatan dalam kelas dukungan oksigen bagi 68 persen pasien selama tindak lanjut rata-rata 18 hari dari dosis pertama Remdesivir, menurut penelitian itu.
Lebih dari setengah kelompok pasien kini tidak memerlukan selang ventilator dan hampir setengah dari semua pasien diizinkan pulang dari rumah sakit setelah mendapat perawatan dengan Remdesivir.
Setelah 28 hari masa tindak lanjut, insidensi kumulatif dari peningkatan klinis, yang didefinisikan sebagai diizinkan pulang dari rumah sakit dan/atau setidaknya peningkatan dua poin dari data awal pada skala enam poin yang telah ditentukan, mencapai 84 persen, menurut penelitian itu.
Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa peningkatan klinis lebih jarang terjadi di antara pasien dengan ventilasi invasif dibandingkan ventilasi noninvasif dan di antara pasien di atas usia 70 tahun.
"Data penggunaan obat yang belum mendapatkan persetujuan resmi ini memiliki keterbatasan karena ukuran kohort yang kecil, durasi tindak lanjut yang relatif singkat, potensi data hilang karena sifat program dan kurangnya kelompok kontrol acak," papar pernyataan itu.
"Saat ini belum ada pengobatan yang terbukti ampuh untuk COVID-19. Kami tidak dapat menarik kesimpulan definitif dari data ini, tetapi observasi dari kelompok pasien rawat inap yang menerima Remdesivir ini penuh dengan harapan," kata Jonathan Grein, direktur Rumah Sakit Epidemiologi Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles, penulis utama penelitian ini. "Kami menantikan hasil uji klinis terkontrol untuk kemungkinan memvalidasi temuan ini," imbuhnya. (*)
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal