‘’Dang kung.. dang kung.. dang kung.. ‘’ Gendang ditabuh. Tangan diangkat. Kaki digoyang. Tegelek-gelek, tegelek-gelek. Dari sampan hingga daratan. Warisan budaya dari zaman ke zaman.
(RIAUPOS.CO) – SELALU berbeda. Setiap suku memiliki kebudayaan dan cara hidup sendiri. Suku Akit atau yang juga dikenal dengan Suku Laut juga begitu. Suku ini hidup di pesisir. Dulu, rumahnya di atas air. Masak, tidur dan mengasuh anak-anak di atas rumah berupa rakit (akit). Karena itu ia disebut Suku Akit. Kini, sudah banyak Suku Akit yang naik ke darat. Hidup seperti suku lain. Sekolah dan hidup berumah.
Ada satu keunikan dalam suku ini. Dari dulu, sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang, mereka masih memelihara Joget Sonde: kesenian tradisional. Namanya joget, pasti ada gerak, ada musik, bahkan ada nyanyian. Dilantunkan. Serupa syair. Utuh, sesuai bahasa mereka. Menceritakan kehidupan, alam, dan kebiasaan sehari-hari.
‘’Dang kung.. dang kung..’’ Suara tetabuhan dipukul sejak pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB oleh kaum lelaki. Tabuhan ini membuktikan, mengabarkan dan sebagai lambang jika malamnya akan ada pementasan Joget Sonde. Saat tetabuhan dimulai, saat itu jugalah para gadis bersolek di atas rakit. Berbedak, bergincu dan beralis tebal. Konon, bersolek bukan sembarang solek. Dandan bukan sembarang dandan. Konon, ada mantra saat alis ditebalkan. Yang sederhana menjadi molek. Yang biasa memukau silau.
Gelap datang. Para penjoget naik ke darat. Lengkap dengan kostum joget: kebaya pendek, kain dan selendang panjang. Mak penjoget pun bersiap. Duduk di sudut ruang. Persis di samping pemusik. Ada gendang pendek dan biola. ‘’Dang kung… dang kung.. dang kung…’’ Tarian dimulai. Bukan tari biasa. Tangan kiri seiras dengan kaki kiri. Begitu juga tangan kanan, seiras dengan kanan. Maka, penjoget tegelek-gelek, tegelek-tegelek.
Joget berlangsung lama. Panjang. Sampai para lelaki berdiri mencari pasangannya. Ikut menari, ikut tegelek-gelek. Terlebih saat selendang panjang disangkutkan ke leher lelaki itu. Semakin tegelek. Kecantikan para penjoget sungguh menawan. Para lelaki tak hendak lepas dari lilitan selendang. Bahkan sampai joget usai, penjoget kembali ke laut, kembali ke rakit, para lelaki turut masuk ke dalam lumpur tepian.
Begitulah besarnya pengaruh Joget Sonde ketika itu. Dilakukan hanya sesekali untuk kepentingan ekonomi. Cerita ini pada ketika itu. Waktu itu, joget dinilai tabu. Tak baik. Sehingga tak banyak anak-anak gadis yang mau menjadi penjoget. Padahal, ada kekayaan kebudayaan di sana. Satu sisi, joget sebagai sumber ekonomi, mencari uang lebih untuk rezeki keluarga. Di sisi lain, joget sonde mengandung mistik. Ada mantra yang dibaca saat para gadis mulai bersolek. Ada kekayaan bahasa dari syair yang dilantunkan. Ada pesan kehidupan juga dalam syair-syair itu.
Kekayaan dalam Joget Sonde dinilai penting. Harus dipertahankan. Harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Meski zaman berubah. Meski Suku Akit tak lagi tinggal di rakit. Kebudayaan tak boleh berubah. Bahasa tak boleh kalah. Tak heran, hingga kini, Joget Sonde masih banyak ditemukan. Tak lagi menjadi sesuatu yang tabu. Tak lagi dikhususkan untuk satu kegiatan. Justru banyak dipanggungkan saat resepsi pernikahan, penyambutan tamu atau acara-acara tertentu lainnya. Saat ini, ketika Suku Akit lebih maju. Berpenghasilan lebih dan berpendidikan layak.
Emmi Kadir, seniman yang juga perupa Riau dan pernah duduk di Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Riau, turun langsung bersama tim ke Desa Sonde, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Joget Sonde dimainkan. Berbicara langsung dengan para tetua dan pemimpin suku, mencari tahu lebih banyak dan jauh tentang joget ini. Tentang filosofi yang tersimpan di dalamnya. Tentang pesan yang tertuang dalam nyanyiannya. Lalu di kaji, direkam, difoto dan divideokan.
Menurut Emmi, Suku Akit perlu perhatian dan pembinaan lebih. Warisan kebudayaannya layak dipertahankan. Tidak hanya Joget Sonde, tapi juga beberapa kesenian di suku ini, seperti Joget Bulan di Tanjung Pal Kabupaten Siak dan Joget Bontek di Kota Dumai. Ketiganya milik dan warisan nenek moyang Suku Akit.
Zaman dulu, kata Emmi, ada dua konotasi yang berlawanan soal joget oleh orangtua. Anak gadis berjoget, dipakaikan alis, dinilai aib. Setelah tahu tentang berkesenian, berkebudayaan, maka dicari betul soal Joget Sonde, Joget Bulan dan Joget Bontek di sepanjang pesisir. Suku Akit tidak hanya dilihat tentang jogetnya saja, tapi juga kehidupan ekonomi dan sosial mereka sekarang, termasuk sejauh mana perhatian untuk mereka.
Sekarang, sebut Emi, apa yang dilakukan oleh Suku Akit itu mendapat perhatian dari Unesco dan pemerintah untuk dilestarikan. Sebab, budaya menunjukkan jati diri suatu bangsa dan negara. Budaya itulah pemersatu bangsa.
‘’Kita berkesenian di kota mengaku hebat, ternyata mereka (Suku Akit, red) punya kesenian dengan nilai kebudayaan tinggi termasuk nilai magis yang tak bisa dipelajari hingga sekarang. Itu harus berguru baru kita bisa mendalami dan memahami. Itupun tak dapat semua. Bagaimana mereka menari dan menyanyi menceritakan betapa indahnya alam, buah, hutan, sungai, laut dan semua yang ada di sekeliling mereka. Itulah warisan nenek moyang yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Harus dipertahankan. Betapa Riau kaya dengan joget dan bahasa,’’ kata Emi.
Karena melambangkan kebudayaan masa lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ketika itu, mengusulkan Joget Sonde sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perlu pengakuan agar tetap dipertahankan dan diperhatikan. Tidak hanya Joget Sonde, tapi ada puluhan kesenian dan kebudayaan tradisional lainnya di berbagai kabupaten/kota.
Upaya keras, membuahkan hasil positif. Dari puluhan kekayaan kesenian dan kebudayaan itu, enam di antaranya diakui negara. Enam di antaranya diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Negara, yakni Joget Sonde itu sendiri, Randai Kuantan (Kuansing), Dabus (Rengat, Inhu), Calempong Oguong (Kampar), Nyanyi Panjang (Pelalawan) dan Badewo (Pelalawan).***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru