Banyak alasan yang mendasari pemindahan ibu kota. Tiap-tiap negara punya cerita. Kazakhstan, Malaysia, dan Indonesia punya perbedaan. Satu hal yang sama, mereka ingin ibu kota baru itu lebih baik daripada yang ditinggalkan.
Laporan Doan Widhiandono, Nur-Sultan
Astana; the heart of our country, the base of our independence.
–Nursultan Nazarbayev
KUTIPAN dari mantan Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev itu terpampang dalam film-film pendek yang diputar secara rutin di Museum Nasional Republik Kazakhstan di Nur-Sultan. Ya, di Nur-Sultan itulah Nazarbayev menanamkan warisannya. Nur-Sultan, ibu kota Kazakhstan, itu sendiri adalah warisan Nazarbayev.
Sejarah mencatat, Kazakhstan mendeklarasikan diri lepas dari Uni Soviet pada 16 Desember 1991. Sejak saat itu Nazarbayev –yang sudah menjadi orang kuat mulai zaman Uni Soviet– memimpin negeri tersebut. Nazarbayev terus berkuasa hingga kembali terpilih pada Pemilu 26 April 2015. Seharusnya dia bertakhta sampai 2020. Namun, pada 20 Maret 2019, Nazarbayev mundur dari kekuasaan. Penggantinya adalah Kassym-Jomart Tokayev Kemelyevich.
Dalam pemerintahan panjangnya, tak bisa dimungkiri, pemindahan ibu kota dari Almaty ke Nur-Sultan adalah salah satu "tetenger" kebijakan Nazarbayev. Dalam kondisi negara yang masih muda, Nazarbayev memutuskan pindah ibu kota. Meskipun, secara infrastruktur, Almaty yang terletak di kawasan selatan negeri tersebut masih cukup layak menjadi pusat pemerintahan.
Nazarbayev menuliskan alasan-alasan pemindahan itu ke dalam buku In the Heart of Eurasia. Buku yang terbit pada 2005 tersebut adalah tulisannya. Alasan-alasan pemindahan ibu kota tersebut juga ditayangkan di Museum Nasional Republik Kazakhstan.
Setidaknya ada empat alasan yang membuat Nazarbayev memindah ibu kota. Yang pertama, letak ibu kota baru itu ada di tengah-tengah negara. Nur-Sultan adalah sebuah equidistance. Jaraknya kira-kira sama dari tepi-tepi negara.
"Sangat bermanfaat secara ekonomi dalam hal merekayasa tugas-tugas atau membangun infrastruktur pasar," tulis Nazarbayev di halaman 93 buku tersebut.
Alasan itu diamini Gulnur Seisenkulova, warga Kazakhstan yang bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kazakhstan dan Tajikistan. "Presiden kami ingin menyatukan negeri," katanya.
Kala itu banyak warga Kazakhstan di utara yang hanya bisa berbahasa Rusia. Jika terlalu jauh dari pusat kekuasaan, yang dikhawatirkan adalah mereka membelot dan ikut Rusia. Terlebih, saat itu kondisi Kazakhstan yang merupakan negara baru masih rentan dari perpecahan.
Alasan kedua adalah kondisi ibu kota baru. Wilayah anyar tersebut cocok untuk membangun infrastruktur dengan arsitektur yang fleksibel. Proyek-proyek pembangunan di wilayah itu juga dirasa lebih ekonomis ketimbang daerah lain. Alasan itu terkait dengan alasan ketiga. Yakni, kota baru tersebut tidak membutuhkan biaya banyak atau rekonstruksi rumit pada kawasan kota yang sudah ada sebelumnya.