Jumat, 20 September 2024

Adat, Tenun, dan Tantangan ke Depan Masyarakat Sabu Raijua

Hingga kini masyarakat tradisional Sabu Raijua masih kukuh dengan adatnya. Upacara-upacara adat dengan memakai pakaian tradisional masih terus dilestarikan. Mampukah mereka bertahan mengikuti perkembangan modernisasi?

Oleh Hary B Koriun

SUATU sore di hari Kamis, 9 Mei 2019,  Dorkas Dira Tome, Kepala SMP N 1 Sabu Barat, sengaja menemui saya ke penginapan. Di menjelaskan bahwa setiap hari Jumat sore, seluruh siswa-siswi di sekolahnya diwajibkan datang ke sekolah untuk melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Saya berpikir, sudah biasa dan wajar jika di sebuah sekolah, para siswa-siswinya diwajibkan untuk mengikuti acara tersebut karena kegiatannya tak memungkinkan dilakukan saat jam belajar pagi hari. Namun, penjelasan selanjutnya membuat saya berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu sangat luar biasa.

 “Ekstrakurikuler kami khususkan untuk belajar tari-tarian tradisional khas Sabu Raijua,” ujarnya.

- Advertisement -

 Dia kemudian menyampaikan, khusus hari besok, Jumat, 10 Mei, akan ada praktik penampilan lima tari tradisional. Lengkap dengan pakaian tradisional dan seluruh peralatan tari yang akan digunakan. Dia berharap saya mau datang dang menyaksikan praktik tersebut. Tanpa pikir panjang, tentu saya sangat senang diundang. Jika pun tidak diundang khusus tetapi saya tahu, saya pasti datang.

Baca Juga:  Hasil Survei, Masyarakat Bersedia Divaksin

“Karena Bang Hary puasa, bagusnya waktunya agak sore ya, biar setelah selesai acara langsung bisa berbuka puasa,” katanya lagi.

- Advertisement -

Saya tersenyum dan mengangguk. Saya terharu dengan perhatian perempuan yang sehari-hari saya panggil “Ibu” ini, juga hampir seluruh teman-teman yang saya temui di Sabu, terutama penduduk lokal. Meski mereka mayoritas beda keyakinan dengan saya –mayoritas Protestan–  tapi mereka tetap perhatian dan peduli dengan ibadah puasa Ramadan yang sedang saya jalani.

 Esok sorenya ia menjemput saya ke penginapan dengan mobilnya. Saya kemudian menawarkan diri mengemudikan mobilnya. Saya merasa tidak enak dia menjadi sopir untuk saya. Sepanjang jalan menuju Seba, kami banyak cerita tentang banyak hal. Dia menjelaskan bahwa pelajaran tari-tarian tradisional ini sudah masuk dalam kurikulum muatan lokal dan sekolahnya menjadi sekolah percontohan untuk hal itu di Kabupaten Sabu Raijua. Semua siswa-siswinya diwajibkan belajar menari. Tetapi, tentu ada beberapa penari yang memiliki kemampuan lebih baik dari yang lain. Mereka sering diundang tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun ikut festival. Tampil di acara-acara di kabupaten atau provinsi, sudah hal yang biasa. Bahkan pernah diundang untuk tampil di sebuah acara nasional di Jakarta.

Baca Juga:  Strategi PTPN V Perkuat Kinerja Produksi melalui Transformasi Digital

“Awalnya saya berpikir, lama-lama tari-tarian ini akan punah jika tidak ada yang berusaha mengajarkannya kepada generasi muda. Sebab, tari-tarian itu dipelajari sambil lalu saja oleh masyarakat untuk kepentingan upacar-upacara tradisional saja. Sebagai kepala sekolah, saya kemudian membuat keputusan agar SMP N 1 Sabu Barat memasukkan itu ke kurikulum muatan lokal. Dan hal disetujui oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Sabu Raijua. Sekarang sekolah kami menjadi percontohan,” jelas  Dorkas.

 Bersamaan dengan keputusan itu, ia juga membuat keputusan penting lainnya, yakni mewajibkan seluruh siswanya memakai pakaian adat khas Sabu pada tanggal 20 setiap bulannya. Keputusan ini tergolong berat dan mendapat tantangan dari banyak pihak, terutama dari orangtua siswa. Maklumlah, untuk membeli pakaian adat, di tengah kondisi ekonomi masyarakat Sabu yang sering sulit, memang agak berat. Harga kain tenun ikat paling murah Rp350.000. Itu harga yang cukup mahal bagi orangtua yang menggantungkan hidupnya dari bertani.             

Hingga kini masyarakat tradisional Sabu Raijua masih kukuh dengan adatnya. Upacara-upacara adat dengan memakai pakaian tradisional masih terus dilestarikan. Mampukah mereka bertahan mengikuti perkembangan modernisasi?

Oleh Hary B Koriun

SUATU sore di hari Kamis, 9 Mei 2019,  Dorkas Dira Tome, Kepala SMP N 1 Sabu Barat, sengaja menemui saya ke penginapan. Di menjelaskan bahwa setiap hari Jumat sore, seluruh siswa-siswi di sekolahnya diwajibkan datang ke sekolah untuk melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Saya berpikir, sudah biasa dan wajar jika di sebuah sekolah, para siswa-siswinya diwajibkan untuk mengikuti acara tersebut karena kegiatannya tak memungkinkan dilakukan saat jam belajar pagi hari. Namun, penjelasan selanjutnya membuat saya berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu sangat luar biasa.

 “Ekstrakurikuler kami khususkan untuk belajar tari-tarian tradisional khas Sabu Raijua,” ujarnya.

 Dia kemudian menyampaikan, khusus hari besok, Jumat, 10 Mei, akan ada praktik penampilan lima tari tradisional. Lengkap dengan pakaian tradisional dan seluruh peralatan tari yang akan digunakan. Dia berharap saya mau datang dang menyaksikan praktik tersebut. Tanpa pikir panjang, tentu saya sangat senang diundang. Jika pun tidak diundang khusus tetapi saya tahu, saya pasti datang.

Baca Juga:  Strategi PTPN V Perkuat Kinerja Produksi melalui Transformasi Digital

“Karena Bang Hary puasa, bagusnya waktunya agak sore ya, biar setelah selesai acara langsung bisa berbuka puasa,” katanya lagi.

Saya tersenyum dan mengangguk. Saya terharu dengan perhatian perempuan yang sehari-hari saya panggil “Ibu” ini, juga hampir seluruh teman-teman yang saya temui di Sabu, terutama penduduk lokal. Meski mereka mayoritas beda keyakinan dengan saya –mayoritas Protestan–  tapi mereka tetap perhatian dan peduli dengan ibadah puasa Ramadan yang sedang saya jalani.

 Esok sorenya ia menjemput saya ke penginapan dengan mobilnya. Saya kemudian menawarkan diri mengemudikan mobilnya. Saya merasa tidak enak dia menjadi sopir untuk saya. Sepanjang jalan menuju Seba, kami banyak cerita tentang banyak hal. Dia menjelaskan bahwa pelajaran tari-tarian tradisional ini sudah masuk dalam kurikulum muatan lokal dan sekolahnya menjadi sekolah percontohan untuk hal itu di Kabupaten Sabu Raijua. Semua siswa-siswinya diwajibkan belajar menari. Tetapi, tentu ada beberapa penari yang memiliki kemampuan lebih baik dari yang lain. Mereka sering diundang tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun ikut festival. Tampil di acara-acara di kabupaten atau provinsi, sudah hal yang biasa. Bahkan pernah diundang untuk tampil di sebuah acara nasional di Jakarta.

Baca Juga:  Puan Maharani: Besok, Fit And Proper Calon Panglima TNI di DPR

“Awalnya saya berpikir, lama-lama tari-tarian ini akan punah jika tidak ada yang berusaha mengajarkannya kepada generasi muda. Sebab, tari-tarian itu dipelajari sambil lalu saja oleh masyarakat untuk kepentingan upacar-upacara tradisional saja. Sebagai kepala sekolah, saya kemudian membuat keputusan agar SMP N 1 Sabu Barat memasukkan itu ke kurikulum muatan lokal. Dan hal disetujui oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Sabu Raijua. Sekarang sekolah kami menjadi percontohan,” jelas  Dorkas.

 Bersamaan dengan keputusan itu, ia juga membuat keputusan penting lainnya, yakni mewajibkan seluruh siswanya memakai pakaian adat khas Sabu pada tanggal 20 setiap bulannya. Keputusan ini tergolong berat dan mendapat tantangan dari banyak pihak, terutama dari orangtua siswa. Maklumlah, untuk membeli pakaian adat, di tengah kondisi ekonomi masyarakat Sabu yang sering sulit, memang agak berat. Harga kain tenun ikat paling murah Rp350.000. Itu harga yang cukup mahal bagi orangtua yang menggantungkan hidupnya dari bertani.             

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari