Dua Saksi Ahli Pidana Dihadirkan

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Dua saksi ahli pidana dihadirkan dalam sidang lanjutan atas terdakwa Amril Mukminin. Mereka dimintai keterangan terkait dugaan suap dan gratifikasi yang diterima Bupati Bengkalis nonaktif tersebut dalam proyek peningkatan Jalan Duri-Sungai Pakning serta dari dua pengusaha sawit.

Ada pun saksi itu yakni, Erdiansyah yang merupakan akademisi Universitas Riau (Unri) dan Zulkarnain dari Universitas Islam Riau (UIR). Keduanya memberikan kesaksian secara langsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru secara online melalui video conference (vidcon) yang dipimpin majelis hakim, Lilin Herlina SH MH, Kamis (10/9).

- Advertisement -

Selain itu, turut hadir tim penasihat hukum terdakwa dipimpin Asep Ruhiat, dan jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK. Sedangkan, Amril memberikan keterangan dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I
Pekanbaru. Dalam memberikan keterangan, Erdiansyah dicecar sejumlah pertanyaan mengenai suap dan gratifikasi diterima Amril. Bupati Bengkalis nonaktif itu diketahui menerima suap dari PT Citra Gading Asritama (CGA) sebesar Rp5,2 miliar. Selain itu, terdakwa juga didakwa menerima gratifikasi dari pengusaha sawit Jonny Tjoa dan Adyanto sebesar Rp23,5 milar. Uang itu diterima langsung oleh Kasmarni (istri Amril) baik secara tunai mau pun melalui transfer.

Terhadap uang suap Rp5,2 miliar telah dikembalikan terdakwa ketika proses penyidikan di lembaga antirasuah. Dengan adanya pengembalian uang itu, menurut Erdiansyah, negara sudah tidak dirugikan. Akan tetapi, kata dia, tidak menutup proses hukum atas kasus yang dihadapi.

- Advertisement -

"Dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," jelas Erdiansyah dalam persidangan.
Sedangkan, gratifikasi diterima Amril kala menjabat anggota DPRD Bengkalis pada 2014-2019 dan Bupati Bengkalis pada tahun 2016-2021, terdakwa menerima persenan dengan hitungan sebesar Rp5 tiap 1 kilogram (kg) buah tandan segar (TBS) sawit yang masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik Jonny Tjoa dan Adyanto. Mengenai gratifikasi itu, Erdiansyah menjelaskan, mesti dilihat dari asal usul uang yang diterima. Ia menerangkan, gratifikasi pemberian dan pendapatan yang tidak sah. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat atau penyelanggara negara, maka mesti dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Terhadap keterangan saksi, Asep mempertanyakan perihal seorang yang menjalankan bisnis sebelum menjabat sebagai kepala daerah. Erdiansyah menjawab, tindakan itu boleh dilakukan sepanjang tidak menyalahgunakan kekuasaan.

"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Sepanjang tidak menggunakan kekuasaan," jawab saksi.

Ditambahkannya, perjanjian selama itu tidak menggunakan kekuasaan melekat dan merupakan ranah privat antara kedua belah pihak. Hal itu tidak bisa dikatakan gratifikasi, melainkan murni hasil bisnis.Apalagi perjanjian, kata saksi, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.

"Perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN, yang memuat sumber pendapatan dan ada item-item lain," jelas Erdiansyah.

Tak hanya itu saja, akademisi Unri itu juga ditanya terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp5 per kilo dari pengusaha sawit. Usaha ini pernah dijalani Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis. Atas pertanyaan tersebut, Erdiansyah menyebutkan, tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian kerja sama dan akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima.

Selanjutnya, giliran JPU KPK Frenky yang melayangkan sejumlah pertanyaan kepada saksi. Di antaranya, apakah seorang pegawai negeri atau pejabat negara bisa menerima pemberian dari seseorang. Erdiansyah mengatakan, boleh saja asal tidak bersangkutan jabatan.

"Kalau ada hubungan dengan jabatan tidak boleh," ungkap Erdiansyah. "Kalau dari kontraktor? tanya JPU kembali.

Erdiansyah menerangkan, intinya kalau menyangkut jabatan yang dimiliki tidak boleh menerima pemberian dari kontraktor. Sedangkan, tidak ada kaitan dengan jabatan atau kedudukan, boleh saja. Merasa tak puas JPU kembali melayangkan pertanyaan kepada saksi. "Seperti punya ajudan menerima (uang) dan tahu itu dari kontraktor dan tidak suruh kembalikan? tanya JPU.

Terkait itu, Erdiansyah menyebutkan, segala sesuatu yang diterima dari orang lain patut dicurigai. "Saya terima sesuatu dari orang lain tapi tidak melewati saya. Di sini ada unsur patut diduga. Seharusnya kalau bertentangan dengan undang-undang harus dikembalikan," imbuh saksi.

Sedangkan saksi Zulkarnain mengatakan, suatu yang diawali dengan perjanjian tidak bisa dikatakan gratifikasi. "Kalau gratifikasi terkait jabatan. Uang yang masuk hasil bisnis atau usaha tidak bisa dikategorikan gratifikasi," kata dia.

Dia menambahkan, ciri khas suatu gratifikasi adalah berkaitan dengan jabatan seseorang. Dengan jabatan itu, seseorang akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Usai persidangan JPU KPK, Frenky dikonfirmasi mengatakan, saksi ahli yang dihadirkan hanya bersifat menyampaikan pendapatnya. 

"Bagaimana faktanya, nanti akan kita rangkai dengan surat tuntutan. Perspektifnya beda-beda. Sampai sekarang kami masih berkeyakinan, itu adalah suap sesuai dakwaan kami," tuturnya.

Disinggung soal uang dugaan gratifikasi, yang menurut terdakwa merupakan hasil bisnis dan sudah dilaporkan lewat LHKPN, dikatakan Frenky, pihaknya akan menyampaikan fakta-fakta yang sebenarnya.

"Apa yang disampaikan tadi (kemarin, red) sebagian dari kebenaran, belum tentu juga kami bisa terima itu faktanya. Harus kami lihat isi LHKPN itu seperti apa. Nanti kami buka," imbuhnya.

"Memang saya baca LHKPN itu dia menyampaikan penerimaan hasil usaha. Tapi apakah ini yang dimaksud adalah terkait uang yang diterima dari Tjoa dan Adyanto itu, nanti akan kami lihat, perlu kami gali lagi fakta itu," kata Frengky menambahkan.

Dalam surat dakwan subsider kedua menyatakan, terdakwa Amril Mukminin selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014-2019, dan Bupati Bengkalis 2016-2021 telah menerima gratifikasi berupa uang setiap bulannya dari pengusaha sawit di Negeri Sri Junjungan. Dari pengusaha Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755.

Uang itu, diterima istri terdakwa secara tunai maupun ditransfer ke rekening bank atas nama Karmarni (istri terdakwa) pada bank nomor rekening 4660113216180 nomor rekening 702114976200. Uang itu diterima di kediamannya pada Juli 2013-2019.

Penerimaan uang yang merupakan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja. Hal ini, sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang dan merupakan pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dan selaku bupati Bengkalis 2016-2021.

Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Laporan : Riri Radam (Pekanbaru)

 

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Dua saksi ahli pidana dihadirkan dalam sidang lanjutan atas terdakwa Amril Mukminin. Mereka dimintai keterangan terkait dugaan suap dan gratifikasi yang diterima Bupati Bengkalis nonaktif tersebut dalam proyek peningkatan Jalan Duri-Sungai Pakning serta dari dua pengusaha sawit.

Ada pun saksi itu yakni, Erdiansyah yang merupakan akademisi Universitas Riau (Unri) dan Zulkarnain dari Universitas Islam Riau (UIR). Keduanya memberikan kesaksian secara langsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru secara online melalui video conference (vidcon) yang dipimpin majelis hakim, Lilin Herlina SH MH, Kamis (10/9).

Selain itu, turut hadir tim penasihat hukum terdakwa dipimpin Asep Ruhiat, dan jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK. Sedangkan, Amril memberikan keterangan dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I
Pekanbaru. Dalam memberikan keterangan, Erdiansyah dicecar sejumlah pertanyaan mengenai suap dan gratifikasi diterima Amril. Bupati Bengkalis nonaktif itu diketahui menerima suap dari PT Citra Gading Asritama (CGA) sebesar Rp5,2 miliar. Selain itu, terdakwa juga didakwa menerima gratifikasi dari pengusaha sawit Jonny Tjoa dan Adyanto sebesar Rp23,5 milar. Uang itu diterima langsung oleh Kasmarni (istri Amril) baik secara tunai mau pun melalui transfer.

Terhadap uang suap Rp5,2 miliar telah dikembalikan terdakwa ketika proses penyidikan di lembaga antirasuah. Dengan adanya pengembalian uang itu, menurut Erdiansyah, negara sudah tidak dirugikan. Akan tetapi, kata dia, tidak menutup proses hukum atas kasus yang dihadapi.

"Dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," jelas Erdiansyah dalam persidangan.
Sedangkan, gratifikasi diterima Amril kala menjabat anggota DPRD Bengkalis pada 2014-2019 dan Bupati Bengkalis pada tahun 2016-2021, terdakwa menerima persenan dengan hitungan sebesar Rp5 tiap 1 kilogram (kg) buah tandan segar (TBS) sawit yang masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik Jonny Tjoa dan Adyanto. Mengenai gratifikasi itu, Erdiansyah menjelaskan, mesti dilihat dari asal usul uang yang diterima. Ia menerangkan, gratifikasi pemberian dan pendapatan yang tidak sah. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat atau penyelanggara negara, maka mesti dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Terhadap keterangan saksi, Asep mempertanyakan perihal seorang yang menjalankan bisnis sebelum menjabat sebagai kepala daerah. Erdiansyah menjawab, tindakan itu boleh dilakukan sepanjang tidak menyalahgunakan kekuasaan.

"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Sepanjang tidak menggunakan kekuasaan," jawab saksi.

Ditambahkannya, perjanjian selama itu tidak menggunakan kekuasaan melekat dan merupakan ranah privat antara kedua belah pihak. Hal itu tidak bisa dikatakan gratifikasi, melainkan murni hasil bisnis.Apalagi perjanjian, kata saksi, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.

"Perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN, yang memuat sumber pendapatan dan ada item-item lain," jelas Erdiansyah.

Tak hanya itu saja, akademisi Unri itu juga ditanya terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp5 per kilo dari pengusaha sawit. Usaha ini pernah dijalani Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis. Atas pertanyaan tersebut, Erdiansyah menyebutkan, tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian kerja sama dan akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima.

Selanjutnya, giliran JPU KPK Frenky yang melayangkan sejumlah pertanyaan kepada saksi. Di antaranya, apakah seorang pegawai negeri atau pejabat negara bisa menerima pemberian dari seseorang. Erdiansyah mengatakan, boleh saja asal tidak bersangkutan jabatan.

"Kalau ada hubungan dengan jabatan tidak boleh," ungkap Erdiansyah. "Kalau dari kontraktor? tanya JPU kembali.

Erdiansyah menerangkan, intinya kalau menyangkut jabatan yang dimiliki tidak boleh menerima pemberian dari kontraktor. Sedangkan, tidak ada kaitan dengan jabatan atau kedudukan, boleh saja. Merasa tak puas JPU kembali melayangkan pertanyaan kepada saksi. "Seperti punya ajudan menerima (uang) dan tahu itu dari kontraktor dan tidak suruh kembalikan? tanya JPU.

Terkait itu, Erdiansyah menyebutkan, segala sesuatu yang diterima dari orang lain patut dicurigai. "Saya terima sesuatu dari orang lain tapi tidak melewati saya. Di sini ada unsur patut diduga. Seharusnya kalau bertentangan dengan undang-undang harus dikembalikan," imbuh saksi.

Sedangkan saksi Zulkarnain mengatakan, suatu yang diawali dengan perjanjian tidak bisa dikatakan gratifikasi. "Kalau gratifikasi terkait jabatan. Uang yang masuk hasil bisnis atau usaha tidak bisa dikategorikan gratifikasi," kata dia.

Dia menambahkan, ciri khas suatu gratifikasi adalah berkaitan dengan jabatan seseorang. Dengan jabatan itu, seseorang akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Usai persidangan JPU KPK, Frenky dikonfirmasi mengatakan, saksi ahli yang dihadirkan hanya bersifat menyampaikan pendapatnya. 

"Bagaimana faktanya, nanti akan kita rangkai dengan surat tuntutan. Perspektifnya beda-beda. Sampai sekarang kami masih berkeyakinan, itu adalah suap sesuai dakwaan kami," tuturnya.

Disinggung soal uang dugaan gratifikasi, yang menurut terdakwa merupakan hasil bisnis dan sudah dilaporkan lewat LHKPN, dikatakan Frenky, pihaknya akan menyampaikan fakta-fakta yang sebenarnya.

"Apa yang disampaikan tadi (kemarin, red) sebagian dari kebenaran, belum tentu juga kami bisa terima itu faktanya. Harus kami lihat isi LHKPN itu seperti apa. Nanti kami buka," imbuhnya.

"Memang saya baca LHKPN itu dia menyampaikan penerimaan hasil usaha. Tapi apakah ini yang dimaksud adalah terkait uang yang diterima dari Tjoa dan Adyanto itu, nanti akan kami lihat, perlu kami gali lagi fakta itu," kata Frengky menambahkan.

Dalam surat dakwan subsider kedua menyatakan, terdakwa Amril Mukminin selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014-2019, dan Bupati Bengkalis 2016-2021 telah menerima gratifikasi berupa uang setiap bulannya dari pengusaha sawit di Negeri Sri Junjungan. Dari pengusaha Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755.

Uang itu, diterima istri terdakwa secara tunai maupun ditransfer ke rekening bank atas nama Karmarni (istri terdakwa) pada bank nomor rekening 4660113216180 nomor rekening 702114976200. Uang itu diterima di kediamannya pada Juli 2013-2019.

Penerimaan uang yang merupakan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja. Hal ini, sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang dan merupakan pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dan selaku bupati Bengkalis 2016-2021.

Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Laporan : Riri Radam (Pekanbaru)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya