Kamis, 19 September 2024

Kearifan Lokal Tonotwiyat Jaga Kelestarian Hutan

Para perempuan di Papua memiliki peranan penting dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kearifan lokal yang dimiliki menjadikan hutan tetap terjaga dan masyarakat menggantungkan hidup pada hutan.

Laporan HENNY ELYATI, Pekanbaru

YOSPINCE Hanasbei (53) merupakan salah satu perempuan Papua tepatnya di Kampung Enggros yang terus menjaga tradisi leluhur, menjadikan hutan bakau sebagai hutan adat bagi kaum perempuan sehingga hutan ini disebut sebagai Hutan Perempuan.

Bagi masyarakat luar Papua, mendengar nama Hutan Perempuan menimbulkan rasa penasaran, rasa ketertarikan mengapa dinamakan sebagai Hutan Perempuan.

- Advertisement -

‘’Yang boleh masuk ke dalam hutan ini hanya perempuan. Laki-laki dilarang keras masuk. Jika ketahuan masuk bisa diberikan sanksi adat," tegas Yospince kepada Riau Pos melalui panggilan video, Jumat (12/11).

Masyarakat Kampung Enggros biasanya mencari kerang dengan cara meraba dasar hutan mangrove (bakau) dengan kaki. Saat mencari kerang pun, ibuibu tidak diperbolehkan untuk memasuki Hutan Adat Perempuan sendirian."Minimal berdua biar ada kawan bicara dan saling mencurahkan isi hati," sebut wanita yang akrab disapa Ibu Guru ini. Yang menjadi topik pembicaraan juga bermacam- macam. Mulai masalah keluarga, kehidupan pribadi hingga rencana masa depan anak-anak termasuk bagaimana mengelola hutan perempuan agar tetap lestari.

- Advertisement -

"Banyak hal yang bisa kami bincangkan di hutan ini. Bahkan kita lebih memilih hutan sebagai tempat diskusi pribadi bersama kaum perempuan lain dibandingkan rumah," katanya tertawa.

Wanita murah senyum ini mengakui saat ini yang masih melakukan aktivitas ini hanyalah kaum ibuibu yang sudah berumur. Sementara anak muda saat ini sangat jarang mau turun mencari bia tanpa busana." Mereka malu, jadi mereka mau turun mencari bia tapi pakai baju yang ketat. Kami sudah terbiasa dari kecil dibawa ibu dan nenek mencari bia tanpa busana. Karena kalau pakai baju, pecek (lumpur) membuat badan gatal," katanya.

Sejarah Hutan Perempuan
Di Jayapura terdapat sebuah teluk dengan pulau di tengahnya. Teluk ini adalah Teluk Youtefa dan pulau itu bernama Pulau Debi. Hutan Perempuan adalah nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati. Letaknya di Teluk Youtefa, Jayapura, Provinsi Papua. Untuk bisa mencapai Hutan Perempuan ini kita harus melewati Pantai Ciberi, Jayapura.

Luas Hutan Perempuan ini awalnya 8 hektare, namun kini tinggal 5 hektare akibat adanya pembangunan dan rusak akibat banyaknya sampah dari kota yang terbawa arus. Kampung Enggros berarti kampung kedua. Sejarah Kampung Enggros tidak terlepas dari kampung sebelumnya, Kampung Tobati. Kampung Tobati dahulu memiliki Hutan Adat Perempuan juga, sama seperti Kampung Enggros. Namun batang dari pohon mangrove sering diambil, hingga kini Hutan Adat Perempuan Kampung Tobati pun sudah tidak ada lagi. Dalam setahun terakhir, Polisi Laut Teluk Youtefa telah menangkap dua pelanggar; penebang liar dan penangkap ikan yang menggunakan bom di kawasan Teluk Youtefa.

Baca Juga:  Sosialisasi Budidaya Kepiting Soka di Desa Pulau Cawan, Kecamatan Mandah, Indragiri Hilir

Perempuan Enggros tidak memiliki para-para (biasa digunakan untuk tempat rapat/diskusi) sehingga ketika dilakukan rapat, perempuan tidak diperkenankan berada di para-para karena saat rapat biasanya kaum laki-laki akan bersuara keras dan lantang bahkan terkadang sampai bicara yang tidak enak didengar, sementara perempuan tidak boleh mendengar kata-kata kasar ini.

"Karena itu, kami perempuan Enggros disuruh ke hutan untuk berdiskusi. Para laki-laki lah yang memberikan kami hutan bakau itu sebagai tempat bercerita. Itulah mengapa di hutan ini hanya boleh ada perempuan yang datang ke sana sehingga hutan ini disebut Hutan Perempuan," sebut Yospince yang kala itu mengenakan daster merah berbunga-bunga.

Yospince menceritakan alasan kenapa para ibuibu bercerita di sana. Kaum perempuan di Kampung Enggros tidak memiliki para-para untuk berbincang, ataupun hak untuk berbicara di rapat kampung. Hutan Adat Perempuan pun memiliki peraturan tidak tertulis yang menjadikannya terlarang untuk dimasuki. "Contohnya di saat warga desa sedang berduka, kami pun memasuki hutan perempuan hanya pada saat musim air surut. Pada saat air pasang, kami tidak memasukinya," kata wanita bertubuh subur ini.

Biasanya perempuan di dalam hutan untuk mencari kerang (bia), kepiting dan udang akan masuk ke dalam perairan tanpa mengenakan pakaian sehelai benang pun alias polos. Inilah mengapa laki-laki tidak boleh masuk ke dalam kawasan hutan.

"Badan terasa gatal dan kita lebih leluasa mencari kerang kalau tidak memakai baju, makanya perempuan di sana polos saat mencari kerang," tawa guru SD Negeri Pantai Enggros ini.

Penyuluh Kehutanan BBKSDA Papua Zsa Zsa Fairuztania yang dihubungi Riau Pos secara terpisah menjelaskan hutan itu adalah kawasan bakau yang dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Kampung itu adalah kampung terapung, yang berada di Teluk Youtefa. Untuk menuju ke sana, kita harus menempuh sekitar 10 menit perjalanan menggunakan speedboat dari Pantai Ciberi.

Ada beberapa peraturan yang wajib dipatuhi para perempuan yang mencari bahan pangan di Hutan Perempuan. Sebelum mengunjungi hutan, para perempuan sebaiknya tidak boleh bertengkar atau punya masalah dengan keluarga di rumah. Mereka juga dilarang untuk berbicara kasar atau jorok. Ketika sedang menstruasi mereka tidak boleh ikut berendam di dalam lumpur.

Di samping itu, para perempuan juga terus memegang teguh peraturan yang membawa nafas pelestarian lingkungan. Untuk menjaga kelestarian Hutan Perempuan, masyarakat dilarang memotong sembarang kayu.

Baca Juga:  PDIP Pastikan Resuffle Kabinet Akan Terjadi

Jika ingin mengambil kayu bakar, warga hanya boleh memungut ranting yang sudah jatuh. "Untuk hasil tangkapan kerang, kami tidak boleh membawa ember atau wadah penampung tetapi ada alat yang terbuat dari daun yang dianyam sehingga kami tidak memaksakan diri harus dapat banyak. Seberapa pun hasilnya itulah yang kami bawa pulang, itulah rezeki kami hari itu. Tuhan sudah tentukan berapa hasil tangkapan kami hari itu," jelasnya.

Pola pikir ini menjadi cara jitu untuk mempertahankan populasi hasil tangkapan dan menghindari eksploitasi besar-besaran di Teluk Youtefa. Bila kita ingin menuju Pulau Debi, kita harus menggunakan perahu motor yang berangkat dari pelabuhan kecil di Pasar Youtefa dengan harga sewa perahu motor sebesar Rp10 ribu.

"Kalau mau ke Hutan Perempuan cukup naik perahu dan jaraknya tidak jauh hanya sekitar 10 menit dari kampung," kata ibu satu anak ini. Kampung Enggros, adalah kampung unik yang terletak di tengah lautan. Kampung ini seolah terapung di atas wilayah perairan teluk Youtefa.

Sekarang pemerintah sedang membina Kampung Enggros untuk menjadi kampung wisata yang tentu saja dapat menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri.

Tradisi mengunjungi hutan oleh perempuan dikenal dengan sebutan Tonotwiyat. Tonot artinya itu hutan. Wiyat itu artinya seperti mengajak pergi ke hutan bersama perempuan untuk mencari bia (kerang). Tonotwiyat telah dilakukan secara turun temurun sejak dahulu. Tradisi ini telah ada sebelum ajaran Kristen masuk ke kampung Enggros yakni sekitar sebelum tahun 1850-an. Tidak ada yang tahu bagaimana tradisi mengunjungi hutan perempuan dimulai. Tetapi sudah sejak lama para perempuan mengunjungi hutan untuk mencari pasokan bahan pangan seperti bia (kerang), udang, kepiting dan ikan. Namun, bia merupakan komoditas yang paling banyak ditemukan di kawasan hutan ini.

"Di Hutan Perempuan ini ada 114 jenis kerang yang bisa kita ditemukan, namun bia nor menjadi yang paling diminati karena khasiatnya, rasa enak dan gurih," imbuhnya.

Agar tradisi mencari bia tanpa busana ini menjadi warisan leluhur yang terus dipertahankan, sebagai guru, Yospince kini mengajak anak-anak (murid-murid) membudayakan mencari bia ke Hutan Perempuan tanpa mengenakan busana.

"Anak-anak harus diajari. Biar kearifan lokal ini tidak hilang. Budaya ini harus terus kami ajarkan kepada generasi penerus. Memang saat ini yang muda ada juga yang mau tapi tidak sebanyak dulu," paparnya.

Hukum Adat
Keberadaan Hutan Perempuan tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros. Kaum laki-laki bertugas mencari ikan di laut, sedangkan perempuan bertugas mencari kerang di hutan bakau.
 

Para perempuan di Papua memiliki peranan penting dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kearifan lokal yang dimiliki menjadikan hutan tetap terjaga dan masyarakat menggantungkan hidup pada hutan.

Laporan HENNY ELYATI, Pekanbaru

YOSPINCE Hanasbei (53) merupakan salah satu perempuan Papua tepatnya di Kampung Enggros yang terus menjaga tradisi leluhur, menjadikan hutan bakau sebagai hutan adat bagi kaum perempuan sehingga hutan ini disebut sebagai Hutan Perempuan.

Bagi masyarakat luar Papua, mendengar nama Hutan Perempuan menimbulkan rasa penasaran, rasa ketertarikan mengapa dinamakan sebagai Hutan Perempuan.

‘’Yang boleh masuk ke dalam hutan ini hanya perempuan. Laki-laki dilarang keras masuk. Jika ketahuan masuk bisa diberikan sanksi adat," tegas Yospince kepada Riau Pos melalui panggilan video, Jumat (12/11).

Masyarakat Kampung Enggros biasanya mencari kerang dengan cara meraba dasar hutan mangrove (bakau) dengan kaki. Saat mencari kerang pun, ibuibu tidak diperbolehkan untuk memasuki Hutan Adat Perempuan sendirian."Minimal berdua biar ada kawan bicara dan saling mencurahkan isi hati," sebut wanita yang akrab disapa Ibu Guru ini. Yang menjadi topik pembicaraan juga bermacam- macam. Mulai masalah keluarga, kehidupan pribadi hingga rencana masa depan anak-anak termasuk bagaimana mengelola hutan perempuan agar tetap lestari.

"Banyak hal yang bisa kami bincangkan di hutan ini. Bahkan kita lebih memilih hutan sebagai tempat diskusi pribadi bersama kaum perempuan lain dibandingkan rumah," katanya tertawa.

Wanita murah senyum ini mengakui saat ini yang masih melakukan aktivitas ini hanyalah kaum ibuibu yang sudah berumur. Sementara anak muda saat ini sangat jarang mau turun mencari bia tanpa busana." Mereka malu, jadi mereka mau turun mencari bia tapi pakai baju yang ketat. Kami sudah terbiasa dari kecil dibawa ibu dan nenek mencari bia tanpa busana. Karena kalau pakai baju, pecek (lumpur) membuat badan gatal," katanya.

Sejarah Hutan Perempuan
Di Jayapura terdapat sebuah teluk dengan pulau di tengahnya. Teluk ini adalah Teluk Youtefa dan pulau itu bernama Pulau Debi. Hutan Perempuan adalah nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati. Letaknya di Teluk Youtefa, Jayapura, Provinsi Papua. Untuk bisa mencapai Hutan Perempuan ini kita harus melewati Pantai Ciberi, Jayapura.

Luas Hutan Perempuan ini awalnya 8 hektare, namun kini tinggal 5 hektare akibat adanya pembangunan dan rusak akibat banyaknya sampah dari kota yang terbawa arus. Kampung Enggros berarti kampung kedua. Sejarah Kampung Enggros tidak terlepas dari kampung sebelumnya, Kampung Tobati. Kampung Tobati dahulu memiliki Hutan Adat Perempuan juga, sama seperti Kampung Enggros. Namun batang dari pohon mangrove sering diambil, hingga kini Hutan Adat Perempuan Kampung Tobati pun sudah tidak ada lagi. Dalam setahun terakhir, Polisi Laut Teluk Youtefa telah menangkap dua pelanggar; penebang liar dan penangkap ikan yang menggunakan bom di kawasan Teluk Youtefa.

Baca Juga:  Antisipasi Covid19, Sekolah Diliburkan Sampai 30 Maret

Perempuan Enggros tidak memiliki para-para (biasa digunakan untuk tempat rapat/diskusi) sehingga ketika dilakukan rapat, perempuan tidak diperkenankan berada di para-para karena saat rapat biasanya kaum laki-laki akan bersuara keras dan lantang bahkan terkadang sampai bicara yang tidak enak didengar, sementara perempuan tidak boleh mendengar kata-kata kasar ini.

"Karena itu, kami perempuan Enggros disuruh ke hutan untuk berdiskusi. Para laki-laki lah yang memberikan kami hutan bakau itu sebagai tempat bercerita. Itulah mengapa di hutan ini hanya boleh ada perempuan yang datang ke sana sehingga hutan ini disebut Hutan Perempuan," sebut Yospince yang kala itu mengenakan daster merah berbunga-bunga.

Yospince menceritakan alasan kenapa para ibuibu bercerita di sana. Kaum perempuan di Kampung Enggros tidak memiliki para-para untuk berbincang, ataupun hak untuk berbicara di rapat kampung. Hutan Adat Perempuan pun memiliki peraturan tidak tertulis yang menjadikannya terlarang untuk dimasuki. "Contohnya di saat warga desa sedang berduka, kami pun memasuki hutan perempuan hanya pada saat musim air surut. Pada saat air pasang, kami tidak memasukinya," kata wanita bertubuh subur ini.

Biasanya perempuan di dalam hutan untuk mencari kerang (bia), kepiting dan udang akan masuk ke dalam perairan tanpa mengenakan pakaian sehelai benang pun alias polos. Inilah mengapa laki-laki tidak boleh masuk ke dalam kawasan hutan.

"Badan terasa gatal dan kita lebih leluasa mencari kerang kalau tidak memakai baju, makanya perempuan di sana polos saat mencari kerang," tawa guru SD Negeri Pantai Enggros ini.

Penyuluh Kehutanan BBKSDA Papua Zsa Zsa Fairuztania yang dihubungi Riau Pos secara terpisah menjelaskan hutan itu adalah kawasan bakau yang dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Kampung itu adalah kampung terapung, yang berada di Teluk Youtefa. Untuk menuju ke sana, kita harus menempuh sekitar 10 menit perjalanan menggunakan speedboat dari Pantai Ciberi.

Ada beberapa peraturan yang wajib dipatuhi para perempuan yang mencari bahan pangan di Hutan Perempuan. Sebelum mengunjungi hutan, para perempuan sebaiknya tidak boleh bertengkar atau punya masalah dengan keluarga di rumah. Mereka juga dilarang untuk berbicara kasar atau jorok. Ketika sedang menstruasi mereka tidak boleh ikut berendam di dalam lumpur.

Di samping itu, para perempuan juga terus memegang teguh peraturan yang membawa nafas pelestarian lingkungan. Untuk menjaga kelestarian Hutan Perempuan, masyarakat dilarang memotong sembarang kayu.

Baca Juga:  Kota Dumai Raih Anugerah Meritokrasi

Jika ingin mengambil kayu bakar, warga hanya boleh memungut ranting yang sudah jatuh. "Untuk hasil tangkapan kerang, kami tidak boleh membawa ember atau wadah penampung tetapi ada alat yang terbuat dari daun yang dianyam sehingga kami tidak memaksakan diri harus dapat banyak. Seberapa pun hasilnya itulah yang kami bawa pulang, itulah rezeki kami hari itu. Tuhan sudah tentukan berapa hasil tangkapan kami hari itu," jelasnya.

Pola pikir ini menjadi cara jitu untuk mempertahankan populasi hasil tangkapan dan menghindari eksploitasi besar-besaran di Teluk Youtefa. Bila kita ingin menuju Pulau Debi, kita harus menggunakan perahu motor yang berangkat dari pelabuhan kecil di Pasar Youtefa dengan harga sewa perahu motor sebesar Rp10 ribu.

"Kalau mau ke Hutan Perempuan cukup naik perahu dan jaraknya tidak jauh hanya sekitar 10 menit dari kampung," kata ibu satu anak ini. Kampung Enggros, adalah kampung unik yang terletak di tengah lautan. Kampung ini seolah terapung di atas wilayah perairan teluk Youtefa.

Sekarang pemerintah sedang membina Kampung Enggros untuk menjadi kampung wisata yang tentu saja dapat menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri.

Tradisi mengunjungi hutan oleh perempuan dikenal dengan sebutan Tonotwiyat. Tonot artinya itu hutan. Wiyat itu artinya seperti mengajak pergi ke hutan bersama perempuan untuk mencari bia (kerang). Tonotwiyat telah dilakukan secara turun temurun sejak dahulu. Tradisi ini telah ada sebelum ajaran Kristen masuk ke kampung Enggros yakni sekitar sebelum tahun 1850-an. Tidak ada yang tahu bagaimana tradisi mengunjungi hutan perempuan dimulai. Tetapi sudah sejak lama para perempuan mengunjungi hutan untuk mencari pasokan bahan pangan seperti bia (kerang), udang, kepiting dan ikan. Namun, bia merupakan komoditas yang paling banyak ditemukan di kawasan hutan ini.

"Di Hutan Perempuan ini ada 114 jenis kerang yang bisa kita ditemukan, namun bia nor menjadi yang paling diminati karena khasiatnya, rasa enak dan gurih," imbuhnya.

Agar tradisi mencari bia tanpa busana ini menjadi warisan leluhur yang terus dipertahankan, sebagai guru, Yospince kini mengajak anak-anak (murid-murid) membudayakan mencari bia ke Hutan Perempuan tanpa mengenakan busana.

"Anak-anak harus diajari. Biar kearifan lokal ini tidak hilang. Budaya ini harus terus kami ajarkan kepada generasi penerus. Memang saat ini yang muda ada juga yang mau tapi tidak sebanyak dulu," paparnya.

Hukum Adat
Keberadaan Hutan Perempuan tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros. Kaum laki-laki bertugas mencari ikan di laut, sedangkan perempuan bertugas mencari kerang di hutan bakau.
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari