ANDA harus tahu: saya pun punya perasaan sama. Soal… itu tuh… Disway yang baru, sejak 1 April lalu.
Jengkel, kesal, malu, menumpuk jadi satu.
Bedanya, Anda bisa menulis komentar –untuk menumpahkan kejengkelan Anda. Sedang saya hanya bisa memendam semua itu di dalam hati. Maksimum hanya bisa memilih komentar keras, telak dan sinis Anda untuk dimuat di Disway yang itu juga.
Maksud saya, biar mereka tahu: begitu banyak keluhan. “Baca sendiri tuh reaksi pembaca”. Kalimat itu pun hanya saya katakan di dalam hati.
Tentu Anda tidak percaya ini: saya pun sama dengan Anda, tidak diberi tahu!
Tahu saya, ya hari itu, sudah agak siang. Yakni, ketika ada pembaca mengadu: tidak bisa membuka Disway. Lalu saya mencoba membukanya di HP saya: ternyata juga gagal. Ada Disway-nya, tapi tidak ada isinya.
Saya sudah terbiasa membuka Disway hanya lewat Apps Disway –yang sudah tersedia di layar HP saya. Tinggal satu klik langsung sampai tujuan.
Hari itu saya tidak tahu cara lain selain itu. Lalu saya mengadu ke Disway: tidak bisa membukanya. Dijawab: harus lewat Google.
Oh… “kok mundur begini….”. Itu hanya saya katakan di dalam hati.
Saya pun ke Google Chrome. Seperti sedang browsing koran Pakistan. Ternyata memang muncul Disway di situ: dengan penampilan baru. Langsung kecewa. Berat. Hatiku pun kecewa. Merana. Hatiku pun merana.
“Kok Disway sayangku menjadi seperti itu”.
Semua itu saya tahan-tahankan di dalam hati. Saya berusaha kuat untuk tidak menghubungi mereka. Saya takut keceplosan marah. Lalu saya redam saja dengan ‘’menyeolah-olahkan’’ diri saya itu mereka.
Lalu saya bayangkan mereka pasti lagi stres berat. Kurang tidur. Diserang sana-sini.
Kalau saya hubungi mereka pasti hanya menambah stres saja. Maka saya pura-pura tidak tahu. Toh pagi itu sudah banyak komentar yang juga mewakili perasaan saya. Tentu mereka membaca komentar itu –dan memilah-milahnya. Apalagi keesokan harinya terbit komentar pilihan saya. Yang tidak menyembunyikan semua kekecewaan komentator. Mestinya mereka tahu bahwa saya tahu.
Hari kedua pun saya masih menahan diri. Saya lihat mulai ada perbaikan. Belum semua. Saya pun membayangkan betapa sibuknya tim Disway melakukan coding.
Sampai hari ini saya belum menghubungi mereka. Saya lihat perbaikan terus dilakukan. Saya percaya mereka tahu apa yang harus diperbaiki.
Misalnya yang terlihat sejak tiga hari lalu. Tulisan saya ini tidak lagi ditampilkan secara eceran. Berarti mereka memperhatikan keluhan pembaca.
Bukan sekadar mengeluh. Ada yang sampai mengirim komentar langsung ke HP saya. “Sulit kirim komentar. Saya kirim ke sini saja,” tulis Dipa, si wanita Disway itu. Dia pun kirim foto: antrean jeriken.
Sebagian memang salah saya: saya lupa bahwa duluuu mereka pernah memberi tahu tentang jadwal migrasi itu. “Bulan April tahun 2022,” kata mereka.
Itu dikatakan akhir tahun lalu. Ternyata benar-benar mereka lakukan. Tanggal 1 April tulisan saya ditransmigrasikan ke “Lampung” –daerah transmigrasi terbesar di Indonesia.
Disway bukan yang pertama dimigrasikan. Termasuk yang belakangan. Sebelum itu sudah banyak yang dimigrasikan ke rumah baru kita ini. Mereka adalah media-media dari berbagai kota di Sumatra dan Jawa.
Mereka itu dulunya berdiri sendiri-sendiri. Kini bergabung di markas besar baru kita ini.
Ke depan masih banyak lagi yang akan bermigrasi ke sini. Dari Sulawesi. Dari Kalimantan. Dari Bali. NTB. NTT. Juga dari Tobelo. Mungkin jumlahnya sampai 200 –sampai Juli nanti. Lalu menjadi 500 di tahap berikutnya. Lalu entah menjadi berapa lagi di akhir tahun –masih rahasia.
Saya –yang sudah 71 tahun– kadang tidak mengerti isi pembicaraan anak-anak muda itu. Sering saya hanya jadi pendengar yang pura-pura mengerti.
Maka saya seolah saya tahu bahwa mereka lagi amat sibuk. Mereka sedang berkomitmen untuk membesarkan Disway ini. Bukan dengan cara saya –tapi dengan cara anak muda.
Melihat perubahan ini saya pun seperti Anda. Saya lagi bertanya-tanya: Disway ini sedang menuju ke mana. Ke restoran? Ke kuburan?
“Kami tidak mau menuju kuburan,” kata mereka. Ya, sudah. Saya ikut saja.
Bagi saya, memercayai anak-anak muda sudah lama menjadi bagian dari napas sehari-hari. Bukan tanpa risiko. Sering. Bahkan, risikonya tak tertahankan –tapi biarlah saya sendiri yang tahu.
Hidup memang penuh risiko –bagi yang tetap ingin hidup.
Kini saya juga seperti Anda: kangen dengan rumah lama. Terutama kepada para perusuh itu. Perusuh Disway. Saya juga lupa siapa yang pertama menciptakan istilah perusuh itu. Cocok banget predikat itu untuk mereka.
Ke mana pantun? Ke mana Pak Thamrin? Aryo Mbediun? Mbah Mars? Ummi? Dan semuanya?
Pasti karena perubahan ini. Semoga bukan karena terlalu lama berdiri antre minyak goreng curah.
Saya sendiri menyikapi perubahan ini sebagai ‘’itulah perjalanan hidup’’.
Seperti juga perjalanan hidup saya. Tahun-tahun belakangan saya harus sering makan makanan yang tidak saya sukai: brokoli, pepaya, oatmeal, air putih –hanya karena itu penting. Antara suka dan penting ternyata harus disikapi berbeda.
Saya juga sering benci mengapa harus menulis setiap hari. Terutama di hari-hari sangat sibuk. Toh saya terus menulis. Di Disway lama yang saya sukai maupun di Disway baru –yang Anda sudah tahu. ***