JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Harga minyak dunia terus merosot. Senin(9/3) harganya anjlok 30 persen. Pemicunya adalah pertemuan OPEC dan sekutunya (dikenal sebagai OPEC+) yang tegang dan tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Bersamaan dengan itu, pasar saham bergolak.
Pertemuan tersebut justru memicu perselisihan Arab Saudi dan Rusia. Gara-garanya, Rusia menolak keras rencana pengurangan produksi OPEC. Padahal, kebijakan itu perlu untuk membuat harga minyak stabil di tengah ancaman perlambatan ekonomi akibat wabah corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku kaget dengan terjun bebasnya harga minyak dunia itu. "Mungkin yang sangat cukup mengagetkan adalah dari Saudi kemudian membuat suatu langkah yang jauh lebih bold, yaitu dengan memberikan diskon harga minyak yang lebih dalam, sehingga menjadi perang harga," paparnya.
Ani menilai keputusan Saudi itu diambil tiba-tiba. Bahkan, keputusan tersebut cukup mengagetkan dunia. Apalagi, kebijakan itu diambil saat ekonomi global bergejolak. Saat ini, dinamika harga dan kondisi pasar minyak mentah dunia menjadi salah satu perhatian yang sangat serius.
Anjloknya harga minyak itu pun berdampak pada kondisi pasar modal dan ekonomi di dalam negeri. "Ini menjadi ketidakpastian yang lebih besar untuk pasar modal dan pasar keuangan. Dampak psikologisnya akan sangat berpengaruh," kata Ani.
Kemarin indeks harga saham gabungan (IHSG) terus berada di zona merah. IHSG ditutup dengan kondisi yang tidak baik. IHSG terperosok 361,73 poin atau 6,58 persen ke posisi 5.136,80. Indeks saham LQ45 melemah 8,26 persen ke posisi 813,75.
Selama perdagangan berlangsung, IHSG mencapai posisi tertinggi pada level 5.364,60 dan terendah pada 5.133,15. Bersamaan dengan itu, 382 saham melemah sehingga mendorong IHSG ke zona merah. Sementara itu, 43 saham menguat dan 102 saham diam di tempat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) langsung menyikapi performa IHSG yang tidak menyenangkan kemarin. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen berjanji memantau dan mencermati kondisi pasar modal. Tapi, tetap mempertimbangkan kondisi pasar regional dan global.
Kemarin OJK mengizinkan emiten atau perusahaan publik melakukan buyback atau pembelian saham kembali. Dengan cara itu, pasar akan mendapatkan stimulus dan gejolak pasar bisa berkurang signifikan. Sebab, sejak awal tahun ini, perdagangan saham Bursa Efek Indonesia (BEI) terus tertekan dengan indikasi penurunan IHSG sebesar 18,46 persen.
"Hal tersebut terjadi seiring dengan perlambatan dan tekanan perekonomian global, regional, maupun nasional akibat Covid-19 dan melemahnya harga minyak dunia," jelas Hoesen dalam keterangan resmi OJK.
Dalam Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tanggal 9 Maret, tertulis bahwa OJK melakukan relaksasi. Artinya, buyback bisa dilakukan tanpa persetujuan lewat RUPS (rapat umum pemegang saham) lebih dulu. Selain itu, jumlah saham yang dibeli kembali bisa lebih dari 10 persen dengan maksimal 20 persen dari modal yang disetor. "Dengan ketentuan paling sedikit saham yang beredar 7,5 persen dari modal yang disetor," kata Hoesen.
Sementara itu, Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyatakan bahwa kebijakan buyback memberikan sinyal positif terhadap pasar. Itu menunjukkan bahwa kinerja perusahaan bagus dan manajemen merasa harga saham terlalu murah. "Ini membuka ruang bagi emiten yang merasa harga sahamnya sudah murah dan punya dana untuk membeli kembali," ucap Hans kepada Jawa Pos.
Selain itu, kemudahan tidak perlu melalui RUPS membuat emiten bisa mengambil langkah cepat. Sebab, kalau harus melalui RUPS, dibutuhkan waktu panjang. Menurut Hans, buyback bisa mendorong harga saham kembali naik.
Hans menyatakan bahwa penurunan pasar modal tanah air disebabkan faktor global. Yakni, wabah korona yang merebak dengan sangat cepat dan sentimen harga minyak dunia yang anjlok lebih dari 25 persen dalam sehari kemarin.(dee/han/c7/hep/jpg)