Karya tari inovasi "Nyanyian Hutan" hanyalah satu dari kisah pilu masyarakat Suku Sakai. Karya koreografer SPN Iwan Irawan Permadi itu menjelaskan bagaimana keperkasaan kapitalisme mencengkeram tanah Riau.
KEKAYAAN alam berlimpah tidak otomatis memberi kemakmuran bagi masyarakat yang hidup di atasnya. Kekayaan itu justru menjadi malapetaka yang memporak-porandakan hampir seluruh sisi kehidupan Suku Sakai sebagai pemilik sah hutan rimba beserta isinya.
Rimba raya yang dulu menjadi penopang kehidupan mereka kini tinggal kenangan semata. Bahkan kenangan itu pun mulai pudar dalam ingatan kolektif mereka yang tak sudah-sudah dihunjam kemalangan demi kemalangan. Hutan tergadai; sungai tercemar limbah mematikan; pelanduk, tapir, dan kicau burung-burung, hilang ditelan kecongkakan manusia-manusia tak berhati perut.
Tinggallah kaum Suku Sakai di bekas laman rumah tak bermaya. Mereka tersadai tak berdaya dan ditinggalkan seorang diri tanpa bekal, tanpa pengetahuan memadai menghadapi fenomena miris yang menghimpit hidup dan kehidupan. Modernitas menjadi hantu-hantu jahat yang terus menggerogoti jiwa dan tubuh-tubuh kaum Sakai.
Paling tidak, ilustrasi di atas menjadi dialog puncak yang dikisahkan lewat gerak para penari dalam suguhan "Nyanyian Hutan" karya koreografer SPN Iwan Irawan Permadi, Sabtu (7/11/2020) di auditorium Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT).
Dalam karya produksi PLT Laksemana itu, sang koreogfer ingin menyampaikan pada publik bahwa jauh di ceruk negeri ini, masyarakat pedalaman memerlukan langkah kongkrit semua pihak terbabit untuk memberi pertolongan.
Gambaran kepedihan itu, bahkan dihadirkan di atas panggung lewat suara emas salah seorang Kumantan Suku Sakai Kampung Mandi Angin, Minas, M Darus. Sastra lisan, nyanyian panjang itu menjadi jalan masuk bagi audiens untuk mengetahui lebih dalam persoalan yang terjadi di kampung-kampung Suku Sakai, sejak zaman kolonial hingga hari ini.
Nyanyian dari salah satu sastra lisan suku tersebut, ditingkahi pula dengan gerak-gerak tari yang menggambarkan sosok-sosok teraniaya. Mereka (para penari) yang mengenakan kostum kulit kayu (torok) serta anyaman daun yang dililitkan di kepala serta badan, meliuk-liuk, ke sana-sini. Gerak-gerak yang mengisyaratkan kekalahan, kemarahan, dan kesedihan, kedangkala, terasa sebagai perlambang atas perlawanan. Sentiasa mereka kembali menelan pil pahit atas nama kekalahan.
Sang koreogfer, yang juga ikut menari seakan memberi tanda, bahwa roda kehidupan semakin tak menentu. Apa pun yang dilakukan seperti tak berarti. Bahkan semakin mereka melawan, semakin mereka memperlihatkan kerapuhan di depan cermin dunia.
Gambaran demi gambaran itu lebih nyata di depan mata audiens saat ranting-ranting kayu mati yang digantung terbalik, naik turun. Ditambah lagi, bunyi-bunyi yang ditawarkan komposer Anggara Satria adalah gambaran nyata kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Pemutarbalikan itu tentu saja bukan tanpa alasan, sebab koreografer pun juga membalikkan keadaan sebenarnya. Jika boleh dikatakan, tanah Sakai hari ini, tinggal tunggul-tunggul, karena hutan hanyalah dongeng belaka.
Koreografer menutup karyanya dengan jerit panjang kemarahan yang diperuntukkan, entah untuk siapa. Alam tak pernah memberi jawab, bahkan "antu-antu" alias roh leluhur Suku Sakai, mungkin saja meratap pilu atas nasib yang menimpa kaumnya hingga detik ini.
"Kami menghadirkan 'Mahligai Sembilan Telingkat' sebagai simbol kekuatan Suku Sakai. Mahligai itu syarat utama yang harus dipenuhi para pasien kepada para bomo/dukun untuk memanggil Putri Tujuh yang bisa menunjukkan obat bagi si sakit. Kami pun mengharapkan, karya ini menjadi perenungan bagi semua orang untuk mencarikan solusi atau jalan keluar atas kondisi memprihatinkan yang dialami Suku Sakai," papar Iwan Irawan usai pertunjukan berdurasi kuranglebih 30-an menit itu.
Ia menambahkan, pihak-pihak yang menghancurkan semua sendi kehidupan Suku Sakai, seperti perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi di sana tidak pernah merasa bersalah. Bahkan pihak pemerintah seakan menutup mata dan telinga dan membiarkan kondisi itu berlangsung hingga ratusan tahun. Mereka (pemerintah dan pengusaha) yang mengeruk kekayaan tanah anak jati Melayu Riau, bahkan semakin menggila.
"Kepada siapa lagi kaum Suku Sakai mengadu? Siapa yang mau mendengar keluh-kesah mereka? Terus, kita (orang-orang, red) yang tinggal di perkotaan hanya diam dan tak memberi kontribusi untuk meringankan penderitaan mereka. Kita semua seolah-olah orang asing di depan saudara sendiri," ujar Iwan meyakinkan.
Pergelaran Karya Tari Inovatif "Nyanyian Hutan" didukung program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2020. Selain itu, Iwan berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam membantu penyelenggaraan gelar karyanya tersebut.***
Editor: Hary B Koriun