PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau sangat menyayangkan kasus Bongku bin Jelodan, masyarakat adat suku Sakai yang dikriminalisasi oleh korporasi di Kabupaten Bengkalis, Riau. Bongku dinyatakan bersalah dengan vonis satu tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 1 bulan.
Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA), Datuk Sri Al azhar mengatakan, bahwa membawa kasus Bongku ke pengadilan adalah suatu yang berlebihan.
"Apa yang dilakukan Bongku ini bukan untuk memperkaya diri, dia hanya menanam ubi manggalo. Itu bukan komoditas ekonomi namun hanya untuk dimakan dan itu juga bagi kaumnya saja," kata Datuk Al azhar, dalam Webinar Bedah Putusan Kasus Bongku yang digelar oleh LBH Pekanbaru, Ahad (7/6/2020).
Sesudah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Bengkalis, kata Al azhar, maka pihaknya di LAM Riau merasa bahwa mendiskusikan hal itu sangat penting. Dia merasa bahwa hal itu membelakangi rasa keadilan, karena faktor pribadi Bongku dan tujuan yang dipersalahkannya.
LAM Riau menilai, mempersalahkan Bongku bin Jelodan sama halnya dengan mengingatkan memori adat, terutama dengan masyarakat adat di Nusatrara dan di Riau khususnya.
"Oleh karena itu kita di lembaga adat merasa ini adalah ancaman yang amat besar bagi eksistensi masyarakat adat di Nusantara umumnya dan di Riau khususnya," ungkap Datuk Al azhar.
Dirinya juga menilai, dalam hal ini negara tidak sungguh-sungguh memberi kepastian terhadap masyarakat adat. Dalam pandangan LAM Riau, harusnya negara merasa bersalah karena tidak memastikan hak masyarakat adat atas warisan turun temurun ke dalam kerangka administrasi dan hukum formal.
LAM Riau juga bakal terus memperjuangkan kasus Bongku dan masyarakat adat di Riau ini.
"Kami berupaya memberikan apa yang bisa diberikan untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat, bagi Bongku saat ini," ungkapnya.
Sebagai lembaga adat, kewenangan LAM Riau juga menentukan posisi struktur adat berbagai masyarakat adat. Dijelaskannya, bahwa Bongku yang dikriminalisasi lantaran menanam ubi mangalo tersebut merupakan suku Sakai Perbatinan Beringin kelompok Sakai Perbatinan Lapan.
"Suku Sakai itu ada 2 kelompok, di Mandau dan di Sungai Mineh sekarang diubah jadi Minas. Perbatinan Beringinnya Bongku ini memiliki wilayah adat hutan tanah, sejak dulu wilayah adat adalah warisan nenek moyang untuk warga sukunya untuk hidup mereka," ungkapnya.
Sakai, katanya adalah kelompok yang menyatu dengan hutan, bahkan di masa kerajaan kelompok ni di kesultanan Siak dan statusnya adalah di konstitusi Babul hawaij sangat jelas.
"Bongku adalah Perbatinan Beringin, dalam perspektif adat apa yang dibuat Bongku adalah sah. Secara adat adalah sah," tegasnya.
Sedangkan, Guru besar IPB, Prof Dr Ir Hariadi Kartodhardjo MS menilai, bahwa apa yang dilakukan Bongku hanya semata-mata untuk kebutuhan hidup.
Prof HK, sapaannya, yang juga ikut merumuskan UUP3H yang menjerat Bongku sangat menyayangkan. Harusnya, kata dia, hakim juga mempertimbangkan dengan kasus serupa yang terjadi di Kabupaten Soppeng.
"Ini proses yang sebenarnya bisa dilakukan di luar pengadilan, hak-hak masyarakat seharusnya di pertimbangkan kembali," ungkapnya.
Laporan: *1/Eka G Putra (Pekanbaru)
Editor: E Sulaiman