Militer Myanmar menggunakan kekuatan penuh untuk melawan demonstran. Relawan medis berada di garda terdepan. Mereka bertaruh nyawa demi menyelamatkan para korban.
(RIAUPOS.CO) – POLISI menghentikan sebuah mobil ambulans di Yangon, Myanmar, Rabu (3/3). Tiga relawan medis di dalamnya disuruh keluar. Salah seorang petugas menembak kaca jendela bagian depan. Tak berselang lama, beberapa polisi lainnya datang dan memukuli mereka dengan brutal.
Kepala mereka ditendang dengan kaki dan dipukuli ramai-ramai dengan gagang senapan. Tak ada yang bisa melarikan diri. Mereka kini dikabarkan tengah ditahan. Video CCTV yang dipublikasikan Radio Free Asia tersebut membuat miris siapa pun yang melihatnya.
Itulah bukti nyata bahwa relawan yang berniat menolong demonstran di lapangan juga harus siap ditangkap dan kehilangan nyawa. ’’Tantangan terbesar adalah tak tertembak saat membantu di lapangan,’’ ujar Ze Nan, perawat yang menjadi relawan medis di Myitkyina, Kachin.
Ze Nan hanyalah nama samaran. Dia tak ingin dikenali dan menjadi target serangan polisi maupun militer Myanmar. ’’Peluru juga bisa mengenai kami. Kami bisa meninggal kapan saja,’’ tambahnya seperti dikutip Al Jazeera.
Memakai baju bertulisan medis dan naik ambulans bukan jaminan mereka bakal selamat. Sebab, serangan polisi dan tentara yang diterjunkan ke lapangan tak pandang bulu. Insiden yang diungkap Radio Free Asia di atas bukan yang pertama. Pada 28 Februari lalu, tentara Myanmar juga menembaki mobil-mobil bantuan medis.
Salah seorang relawan terluka. Dia dari tim yang bertugas menangani cedera parah. Dokter Nai Aung, nama samaran, pernah membuat fasilitas kesehatan darurat di Mawlamyine sekitar sepekan setelah kudeta. Namun, dalam hitungan hari, dia mendengar bahwa junta militer sudah memiliki daftar namanya dan rekan-rekannya.
Mereka memonitor pergerakan dan aktivitas semua anggota tim. Faskes darurat itu akhirnya ditutup. Mereka memilih bergerilya dari satu tempat ke tempat lain untuk membantu dan tetap memakai nama samaran. ’’Kami tak mengalami masalah dengan fasilitas dan peralatan yang diperlukan. Satu-satunya kesulitan adalah keselamatan kami,’’ tegasnya.
Dia dan para relawan lainnya takut ditangkap di rumahnya saat malam ataupun saat melayani pasien. Karena itulah, mereka melakukan tugas kemanusiaan tersebut dengan sembunyi-sembunyi sambil terus bergerak menghindari deteksi.
Tak semua relawan menyembunyikan identitas mereka. Banyak yang melakukannya secara terang-terangan sebagai simbol perlawanan. Aye Nyein Thu, salah satunya. Perempuan 25 tahun itu baru lulus dari sekolah medis di Mandalay sekitar setahun lalu. Bersama sekitar 30 rekannya, dia berada di garda depan untuk menolong siapa pun yang terluka dalam setiap aksi massa.
Aye Nyein Thu mengungkapkan, mayoritas korban terluka di bagian kepala akibat pukulan tongkat polisi. Sebagian lainnya terluka tembak. Tugas mereka kian berat belakangan ini karena junta militer tak segan lagi menggunakan timah panas.
Beberapa demonstran bahkan sengaja ditembak di titik mematikan seperti dada, leher, dan kepala. Biasanya, Aye Nyein Thu akan terjun di sela-sela para demonstran begitu situasi mulai ricuh. Dia membawa tas ransel yang berisi peralatan pertolongan dasar untuk menghentikan pendarahan dan membersihkan luka. Mereka yang terluka cukup parah bakal dibawa ke ambulans dan dilarikan ke klinik. Mayoritas klinik juga dioperasikan relawan.
Sejak kudeta, sebagian besar kerusuhan terburuk terjadi di Mandalay. Setidaknya ada enam grup relawan yang bergerak di kota terbesar kedua di Myanmar tersebut. Sebagian memberikan layanan mobile. Sebagian lagi berhenti di titik tertentu.
Hanya ada satu tim yang bisa memberikan layanan jahitan dan perawatan kritis bagi mereka yang mengalami cedera serius. Yang ditolong bukan hanya demonstran, tetapi juga polisi yang terluka. ’’Kami memperlakukan seseorang tanpa dendam ataupun prasangka pribadi,’’ tegas Nai Aung.(sha/c14/bay/das)
Laporan JPG, Jakarta