Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Menembus Waktu Pekanbaru-Jakarta-Kupang-Sabu, dan Resleting Celana yang Terbuka

PENGANTAR REDAKSI

Selama satu bulan penuh, wartawan Riau Pos Group, Hary B Koriun, mendapatkan kesempatan residensi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Mei 2019 lalu. Hary mendapatkan kesempatan ini setelah mengikut seleksi pada Program Sastrawan Berkarya ke Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) 2019. Program ini diinisiasi oleh Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Catatan jurnalistik dari hasil residensi ini sebagian telah dibukukan dengan judul Ke Sabu, Kita ke Raijua. Mulai edisi ini, semua tulisan tersebut akan dimuat lengkap secara bersambung di riaupos.co. Selamat membaca.
—————————————————

Kadang kita tidak tahu mau ke mana dan akan berada di mana kita di suatu hari. Perjalanan menuju Sabu Raijua seperti sebuah perjalanan menuju suatu tempat yang ada dalam angan, tetapi tak bisa deskripsikan.

Oleh Hary B Koriun

PUKUL 23.45 WIB, Selasa, 30 April 2019,  Mbak Eko Marini  kirim pesan Whatsapp. Isinya, kami harus segera ke Bandara Soekarno-Hatta karena Dr Sastri Sunarti sudah sampai ke Kantor Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan, di Rawamangun, Jakarta Timur, menggunakan taksi yang akan langsung mengantarkan kami ke bandara. Keduanya adalah pegawai Badan Pembinaan Bahasa yang akan mendampingi saya sampai ke Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena seharian saya diserang flu yang agak berat dan sambil menunggu keberangkatan, saya memilih istirahat di kamar Wisma Badan. Ketika bangun badan memang terasa agak aneh. Tetapi perjalanan harus terus dilanjutkan.

Teman-teman secara berkelakar mengatakan saya peserta kedua yang tereliminasi setelah Mas Parlan Tjak yang sore hari sebelumnya harus terbang ke Padang, lalu esoknya berangkat ke Kepulauan Mentawai. Seperti di sebuah acara reality show di televisi, “Penghuni Terakhir”. Ada suasana haru berpisah dengan mereka; Mas Eko Triono yang ramah, Faisal Syahreza yang bikin suasana hangat, Mas Agit Yogi Subandi yang terlihat selalu tegas, Muthia Sukma yang saya kenal sudah sangat lama, Mas Naka yang pendiam tapi baik sekali, dan Mas Aksan Takwin yang terlihat resah dengan banyak hal, tetapi sebenarnya sangat tenang dalam menyelesaikan sesuatu. Satu per satu saya menyalami mereka dan mereka juga mengantar saya sampai ke taksi di depan wisma.

Baca Juga:  Sebaiknya Pemerintah Beli Vaksin dari Arab Saudi

“Pada saatnya nanti kita akan tereliminasi semua dari Wisma Badan ini, Bang… Hati-hati ya,” ujar Faisal, lelaki asal Cianjur yang mirip dengan Katon Bagaskara, dengan penuh canda.

Saat itu kami masih di lantai dua Wisma Badan. Di ruang nonton televisi.

Mutia Sukma, istri sastrawan Indrian Koto, berujar, “Pada saatnya nanti kita juga akan kembali masing-masing dari tempat residensi kita,” ujarnya sambil memeluk si kecil, Rinai.

“Sukses selalu Bang. Kita akan berjuang bersama!” ujar Eko Triono dengan bersemangat.

Lalu Agit dan Aksan tak mau kalah. “Jangan pulang sebelum menang,” kata Agit, sang sastrawan cum pengacara, mirip slogan pemadam kebakaran.

“Tanggal 30 kita akan berjumpa lagi, Mas. Siapkan mental!” kata Aksan Taqwin, arek Jawa Timur, tapi jadi warga Tangerang, sambil tertawa.

Kami tertawa bersama. Suasana haru itu muncul karena selama dua hari ini kami benar-benar baru bertemu dan selalu bersama. Baik dalam pembekalan, mencari sarapan, makan, dan lain-lain. Selain dengan Mutia Sukma yang sudah lama saya kenal –maksudnya bertemu langsung—dengan yang lainnya memang baru sekarang ini. Meski dengan beberapa dari mereka terhubung di media sosial, Facebook. Kami benar-benar baru akrab. Dan kini, satu per satu haru pergi menyebar ke daerah penugasan masing-masing.

Perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta tak terlalu lama, tak sampai satu jam dari Kantor Badan. Mungkin karena tengah malam, tak banyak lagi kendaraan di jalan. Apalagi lewat tol. Ini berbeda dengan perjalanan di siang atau di bawah jam 22.00 malam, kendaraan biasanya masih padat.

Di sepanjang perjalanan, kami saling mencoba berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Cerita tentang keluarga, pekerjaan, dan yang lainnya. Dengan Dr Sastri, meski selama ini kami tak pernah bertemu, tetap terasa kenal baik. Beliau lulusan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya [FIB])  Universitas Andalas (Unand), Padang, angkatan 1986. Saya baru masuk di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra di universitas yang sama ketika beliau diwisuda tahun 1992. Beliau senior saya satu fakultas, beda jurusan, kakak tingkat jauh, tak pernah bertemu, tetapi sering namanya disebut-sebut oleh beberapa dosen Jurusan Sastra Indonesia atau jurusan lain yang saya kenal. Mereka antara lain almarhumah Uni Zuriati, almarhumah Ibu Adriyetti Amir, Uda Fadlillah, Uda Wannofri Samry, dan yang lainnya.

Baca Juga:  Arab Saudi Hukum Mati Lima Terdakwa Pembunuh Khashoggi

Maklumlah, selama kuliah, banyak orang yang menyangka saya mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia. Selain kawan banyak dari jurusan itu, sering ikut kegiatan –diskusi sastra maupun menyaksikan pementasan teater, dan acara lainnya— saya juga menulis karya sastra yang dimuat di beberapa media terbitan Padang, Palembang, maupun Jakarta, ketika itu.

Saya ingin memanggilnya “Uni”, sapaan khas untuk perempuan lebih tua dari kita tapi sebaya dengan kakak-kakak kita, di Minangkabau. Namun, karena saya sudah lama hidup di Pekanbaru dan di sana sapaannya “Kakak”, lidah saya agak kaku. Akhirnya saat berkomunikasi dengan Dr Sastri, saya memanggilnya “Kakak”.

Sedangkan dengan Mbak Eko Marini, benar-benar baru. Baru kenal saat acara pembekalan, lalu ketemu lagi saat penandatanganan kontrak, dan saat di dalam taksi ini. Intinya, kami harus saling mengenal dengan baik. Kami akan menjadi sebuah tim dan melakukan perjalanan jauh bersama. Minimal lima hari. Sampai saya tinggal di Kabupaten Sabu Raijua dan “diserahkan” kepada masyarakat di sana. Kami harus membangun chemistry agar perjalanan ini menyenangkan.

Sekitar pukul 00.50 WIB, kami sudah sampai di pintu keberangkatan Batik Air di Soekarno-Hatta. Alhasil, kami masih harus menunggu sekitar dua jam lagi setelah ceck in. Saya memilih istirahat di ruang tunggu untuk sekedar melepas kepala ke kursi sambil berselonjor untuk mengurangi flu yang membuat hidung dan telinga agak pengar.  Sekitar pukul 02.30 WIB, pengeras suara di ruang tunggu memanggil penumpang Batik Air jurusan Kupang agar segera naik ke pesawat.

 

PENGANTAR REDAKSI

Selama satu bulan penuh, wartawan Riau Pos Group, Hary B Koriun, mendapatkan kesempatan residensi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Mei 2019 lalu. Hary mendapatkan kesempatan ini setelah mengikut seleksi pada Program Sastrawan Berkarya ke Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) 2019. Program ini diinisiasi oleh Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Catatan jurnalistik dari hasil residensi ini sebagian telah dibukukan dengan judul Ke Sabu, Kita ke Raijua. Mulai edisi ini, semua tulisan tersebut akan dimuat lengkap secara bersambung di riaupos.co. Selamat membaca.
—————————————————

- Advertisement -

Kadang kita tidak tahu mau ke mana dan akan berada di mana kita di suatu hari. Perjalanan menuju Sabu Raijua seperti sebuah perjalanan menuju suatu tempat yang ada dalam angan, tetapi tak bisa deskripsikan.

Oleh Hary B Koriun

- Advertisement -

PUKUL 23.45 WIB, Selasa, 30 April 2019,  Mbak Eko Marini  kirim pesan Whatsapp. Isinya, kami harus segera ke Bandara Soekarno-Hatta karena Dr Sastri Sunarti sudah sampai ke Kantor Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan, di Rawamangun, Jakarta Timur, menggunakan taksi yang akan langsung mengantarkan kami ke bandara. Keduanya adalah pegawai Badan Pembinaan Bahasa yang akan mendampingi saya sampai ke Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena seharian saya diserang flu yang agak berat dan sambil menunggu keberangkatan, saya memilih istirahat di kamar Wisma Badan. Ketika bangun badan memang terasa agak aneh. Tetapi perjalanan harus terus dilanjutkan.

Teman-teman secara berkelakar mengatakan saya peserta kedua yang tereliminasi setelah Mas Parlan Tjak yang sore hari sebelumnya harus terbang ke Padang, lalu esoknya berangkat ke Kepulauan Mentawai. Seperti di sebuah acara reality show di televisi, “Penghuni Terakhir”. Ada suasana haru berpisah dengan mereka; Mas Eko Triono yang ramah, Faisal Syahreza yang bikin suasana hangat, Mas Agit Yogi Subandi yang terlihat selalu tegas, Muthia Sukma yang saya kenal sudah sangat lama, Mas Naka yang pendiam tapi baik sekali, dan Mas Aksan Takwin yang terlihat resah dengan banyak hal, tetapi sebenarnya sangat tenang dalam menyelesaikan sesuatu. Satu per satu saya menyalami mereka dan mereka juga mengantar saya sampai ke taksi di depan wisma.

Baca Juga:  Pastikan Kesiapan Jelang Dibuka, Gubri Tinjau Tol Pekanbaru-Bangkinang

“Pada saatnya nanti kita akan tereliminasi semua dari Wisma Badan ini, Bang… Hati-hati ya,” ujar Faisal, lelaki asal Cianjur yang mirip dengan Katon Bagaskara, dengan penuh canda.

Saat itu kami masih di lantai dua Wisma Badan. Di ruang nonton televisi.

Mutia Sukma, istri sastrawan Indrian Koto, berujar, “Pada saatnya nanti kita juga akan kembali masing-masing dari tempat residensi kita,” ujarnya sambil memeluk si kecil, Rinai.

“Sukses selalu Bang. Kita akan berjuang bersama!” ujar Eko Triono dengan bersemangat.

Lalu Agit dan Aksan tak mau kalah. “Jangan pulang sebelum menang,” kata Agit, sang sastrawan cum pengacara, mirip slogan pemadam kebakaran.

“Tanggal 30 kita akan berjumpa lagi, Mas. Siapkan mental!” kata Aksan Taqwin, arek Jawa Timur, tapi jadi warga Tangerang, sambil tertawa.

Kami tertawa bersama. Suasana haru itu muncul karena selama dua hari ini kami benar-benar baru bertemu dan selalu bersama. Baik dalam pembekalan, mencari sarapan, makan, dan lain-lain. Selain dengan Mutia Sukma yang sudah lama saya kenal –maksudnya bertemu langsung—dengan yang lainnya memang baru sekarang ini. Meski dengan beberapa dari mereka terhubung di media sosial, Facebook. Kami benar-benar baru akrab. Dan kini, satu per satu haru pergi menyebar ke daerah penugasan masing-masing.

Perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta tak terlalu lama, tak sampai satu jam dari Kantor Badan. Mungkin karena tengah malam, tak banyak lagi kendaraan di jalan. Apalagi lewat tol. Ini berbeda dengan perjalanan di siang atau di bawah jam 22.00 malam, kendaraan biasanya masih padat.

Di sepanjang perjalanan, kami saling mencoba berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Cerita tentang keluarga, pekerjaan, dan yang lainnya. Dengan Dr Sastri, meski selama ini kami tak pernah bertemu, tetap terasa kenal baik. Beliau lulusan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya [FIB])  Universitas Andalas (Unand), Padang, angkatan 1986. Saya baru masuk di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra di universitas yang sama ketika beliau diwisuda tahun 1992. Beliau senior saya satu fakultas, beda jurusan, kakak tingkat jauh, tak pernah bertemu, tetapi sering namanya disebut-sebut oleh beberapa dosen Jurusan Sastra Indonesia atau jurusan lain yang saya kenal. Mereka antara lain almarhumah Uni Zuriati, almarhumah Ibu Adriyetti Amir, Uda Fadlillah, Uda Wannofri Samry, dan yang lainnya.

Baca Juga:  Deteksi Dini Gangguan Kesehatan Mata, dan Pemberian Kacamata di Posyandu Lansia Kecamatan Rumbio Jaya

Maklumlah, selama kuliah, banyak orang yang menyangka saya mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia. Selain kawan banyak dari jurusan itu, sering ikut kegiatan –diskusi sastra maupun menyaksikan pementasan teater, dan acara lainnya— saya juga menulis karya sastra yang dimuat di beberapa media terbitan Padang, Palembang, maupun Jakarta, ketika itu.

Saya ingin memanggilnya “Uni”, sapaan khas untuk perempuan lebih tua dari kita tapi sebaya dengan kakak-kakak kita, di Minangkabau. Namun, karena saya sudah lama hidup di Pekanbaru dan di sana sapaannya “Kakak”, lidah saya agak kaku. Akhirnya saat berkomunikasi dengan Dr Sastri, saya memanggilnya “Kakak”.

Sedangkan dengan Mbak Eko Marini, benar-benar baru. Baru kenal saat acara pembekalan, lalu ketemu lagi saat penandatanganan kontrak, dan saat di dalam taksi ini. Intinya, kami harus saling mengenal dengan baik. Kami akan menjadi sebuah tim dan melakukan perjalanan jauh bersama. Minimal lima hari. Sampai saya tinggal di Kabupaten Sabu Raijua dan “diserahkan” kepada masyarakat di sana. Kami harus membangun chemistry agar perjalanan ini menyenangkan.

Sekitar pukul 00.50 WIB, kami sudah sampai di pintu keberangkatan Batik Air di Soekarno-Hatta. Alhasil, kami masih harus menunggu sekitar dua jam lagi setelah ceck in. Saya memilih istirahat di ruang tunggu untuk sekedar melepas kepala ke kursi sambil berselonjor untuk mengurangi flu yang membuat hidung dan telinga agak pengar.  Sekitar pukul 02.30 WIB, pengeras suara di ruang tunggu memanggil penumpang Batik Air jurusan Kupang agar segera naik ke pesawat.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari