JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polemik pengesahan UU Omnibus Law menyulut demonstrasi dan mogok kerja. Kondisi itu membuat Polri menempuh langkah dengan mengeluarkan surat telegram untuk menecegah terjadinya demonstrasi dan mogok kerja. Namun, surat telegram itu dipandang bakal memicu pro kontra tersendiri.
Surat telegram itu bernomor STR/645/X/PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Dalam surat telegram yang ditandatangani Asops Kapolri Irjen Imam Sugianto tersebut terdapat sejumlah poin yang diatur. Pertama, melaksanakan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat untuk mencegah unjur rasa dan mogok kerja yang dapat menimbulkan anarkis dan konflik sosial. Kedua, memetakan perusahaan dan memberikan keamanan dari ancaman memaksa ikut unjuk rasa dan mogok kerja.
Ketiga, mencegah meredam dan mengalihkan unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh untuk mencegah penyebaran Covid 19. Keempat, melakukan komunikasi yang efektif dengan Apindo disnaker dan tokoh buruh serta mahasiswa untuk menjaga kamtibmas di masa pandemi.
Kelima, melakukan cyber patrol untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi. Keenam, melakukan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah. Ketujuh, secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya.
Kedelapan, upaya harus dilakukan di hulu dan melakukan pengamanan terbuka dan tertutup. Sembilan, jangan melakukan pencegatan di jalan tol karena akan berimbas pada penutupan jalan tol yang dapat menjadi isu nasional dan internasional. Sepuluh, melakukan penegakkan hukum menggunakan KUHP dan UU kekerantinaan kesehatan. Sebelas, menyiapkan rencana pengamanan unjuk rasa dengan memedomani sejumlah regulasi. Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono membenarkan surat telegram tersebut. Yang menurutnya, sama seperti telegram kapolri sebelumnya bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. "Salus populi lex esto, keselamatan rakyat hukum tertinggi," tuturnya.
Dalam situasi pandemi semacam ini, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan menjadi penyebaran Covid 19. Karena mengabaikan penerapan protokol kesehatan.
"Kami meminta masyarakat untuk mematuhinya," jelasnya.
Sementara Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menjelaskan, Kapolri dengan mengeluarkan telegram itu malah terlihat lupa bahwa hukum tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dimana di dalamya terdapat pasal 28 yang menyatakan hak untuk berserikat dan berkumpul dijamin oleh negara.
"Ada juga pasal 24 ayat 1 UU HAM dimana setiap orang berhak berkumpul, rapat dan berserikat untuk maksud-maksud damai," terangnya.
Menurutnya, seharusnya yang dikedepankan dalam telegram itu adalah soal pandemi Covid 19. Bukan penolakan UU Cipta Lapangan Kerja.
"Dalam UU Cipta Lapangan Kerja itu ada nasib dan masa depan buruh yang dirasa masih perlu diperdebatkan," tegasnya.
Lalu, untuk poin lima dan enam juga menjadi kontra produktif. Sekali lagi, Polri itu alat negara bukan pemerintah. "Tugas pokok Polri menjaga kamtibmas, dalam konteks aksi penyampaian pendapat masyarakat posisi Polri seharusnya netral," ujarnya.(idr/jpg)