JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Sejak akhir 2019, dunia cemas dengan wabah baru yang disebabkan virus corona tipe baru (novel coronavirus), COVID-19. Pertama muncul di Wuhan, kota dagang terpadat di Provinsi Hubei dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa.
Banyak spekulasi tentang penularan virus, tetapi sejumlah penelitian menduga penyakit itu tumbuh dari pasar hewan hidup di Wuhan yang tidak higienis. Namun, publik panik dan gelisah dengan virus corona jenis baru karena saat informasi itu mulai bocor, puluhan ribu orang telah tertulari dan korban tewas telah mencapai ribuan jiwa.
Dari akhir tahun lalu sampai Kamis (5/3), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jumlah pasien positif tertulari virus di Tiongkok mencapai 80.565 jiwa, sementara di seluruh dunia, angkanya menembus 95.333 jiwa. Untuk wilayah Tiongkok, korban jiwa akibat virus itu mencapai 3.015 jiwa, sementara di luar Tiongkok, angkanya menembus 267 jiwa.
Sementara itu, data statistik worldometers, laman penyedia informasi statistik independen yang telah menjadi rujukan berbagai lembaga dunia, per Jumat (6/3) menunjukkan 100.162 jiwa dilaporkan positif tertulari virus dan jumlah korban tewas mencapai 3.406 jiwa.
Akibat jumlah pasien dan korban jiwa yang terlampau banyak, masyarakat di berbagai negara sempat dilanda ketakutan dan kepanikan massal. Tidak hanya itu, wabah juga sempat memicu aksi kekerasan dan intimidasi berbasis rasial terhadap warga asal Tiongkok dan negara di Asia Timur lainnya.
Kasus terbaru yang cukup viral, seorang warga Singapura keturunan Tiongkok, Jonathan Mok, melaporkan empat oknum tak dikenal menyerang dirinya sampai babak belur di Jalan Oxford, London, pada medio Februari. Dari kesaksian Mok, empat pemuda yang menyerang dia sempat mengatakan 'kami tidak ingin ada virus corona di sini'.
Panik dan takut tentu respons yang cukup wajar, tetapi jika berlebihan bisa berujung pada akibat yang tidak perlu sebagaimana banyak kasus kekerasan yang terlanjur terjadi ditambah aksi belanja besar-besaran (panic buying) hingga memicu aksi penimbunan dan kelangkaan masker, cairan pembersih tangan (hand sanitizer), tisu dan alat kebersihan lainnya.
Oleh karena itu, respons yang lebih positif justru dibutuhkan di tengah wabah karena penyakit COVID-19 bukan vonis mati yang tidak bisa disembuhkan. Sejak virus itu mewabah, banyak pasien dari berbagai negara yang dinyatakan negatif virus corona dan kembali pulih.
Panik dan takut tentu respons yang cukup wajar, tetapi jika berlebihan bisa berujung pada akibat yang tidak perlu sebagaimana banyak kasus kekerasan yang terlanjur terjadi ditambah aksi belanja besar-besaran (panic buying) hingga memicu aksi penimbunan dan kelangkaan masker, cairan pembersih tangan (hand sanitizer), tisu dan alat kebersihan lainnya.
Oleh karena itu, respons yang lebih positif justru dibutuhkan di tengah wabah karena penyakit COVID-19 bukan vonis mati yang tidak bisa disembuhkan. Sejak virus itu mewabah, banyak pasien dari berbagai negara yang dinyatakan negatif virus corona dan kembali pulih.
Nah, jika dibandingkan dengan wabah lain seperti MERS-CoV (Middle East respiratory syndrome coronavirus), tingkat kematiannya jauh lebih tinggi sampai 34,4 persen, sementara tingkat mortalitas sindrom pernapasan akut berat (SARS) mencapai sebelas persen.
Data worldometers menunjukkan 55.812 pasien dinyatakan sembuh atau 94 persen dari total penderita COVID-19. Sejauh ini, korban tewas mencapai 3.406 jiwa atau sekitar enam persen dari total kasus. Artinya, penderita COVID-19 memiliki peluang besar untuk sembuh apabila cepat mendapat perawatan medis.
Untuk kasus di Tiongkok, jumlah pasien yang dinyatakan pulih mencapai 53.929 jiwa. Selain Tiongkok, pasien yang sembuh juga ditemukan di Iran dan Korea Selatan dengan jumlah masing-masing sebanyak 739 jiwa dan 135 jiwa.
Italia yang melaporkan 3.858 kasus penularan virus juga mengumumkan 414 pasien di antaranya telah dinyatakan pulih, kemudian disusul Singapura dengan 81 pasien telah kembali sehat dari total 117 penderita.
Bahkan, sejumlah negara turut melaporkan tingkat kesembuhan 100 persen, di antaranya di Vietnam dengan total 16 pasien, Kamboja satu pasien, Latvia satu pasien, Nepal satu pasien, dan Sri Lanka satu pasien.
Meskipun tingkat kematian COVID-19 masih tergolong rendah dibandingkan dengan wabah lain, WHO mengingatkan negara-negara dunia untuk tetap waspada dan bertindak cepat merawat mereka yang dinyatakan positif tertular.
Pasalnya, hanya dengan langkah cepat, terukur dan arah yang jelas, penyakit serta virus tersebut bisa ditangani tanpa mengorbankan banyak korban jiwa.
"Epidemi ini bisa ditangani hanya dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi, dan komprehensif yang melibatkan seluruh unsur pemerintahan," jelas Ghebreyesus.
Pemerintah Indonesia sendiri pada Senin (2/3) mengumumkan dua kasus pertama penularan jenis baru virus corona. Dua kasus lainnya juga ditemukan pada Jumat (6/3) sehingga jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia mencapai empat orang.
"Pasien 3 dan 4 ada kontak dekat dengan pasien nomor 1 dan nomor 2," kata Achmad Yurianto, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan yang ditunjuk jadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Jumat.
Yurianto menjelaskan keempat pasien dirawat dalam ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianto Saroso, Sunter, Jakarta Utara. Pasien pertama dan kedua telah dirawat sejak Senin (2/3), sementara pasien ketiga dan keempat menjalani perawatan sejak Kamis (5/3).
Di samping itu, RS Persahabatan juga merawat satu terduga (suspect) COVID-19. Pasien itu merupakan anak buah kapal pesiar Diamond Princess.
Sejak wabah mulai merebak, pemerintah melalui sejumlah kementerian telah mengeluarkan berbagai imbauan perjalanan agar tidak mengunjungi negara-negara yang terdampak virus. Tidak hanya itu, pemerintah per 8 Maret pukul 00:00 WIB akan membatasi pendatang yang punya riwayat perjalanan selama 14 hari ke Iran, Italia, dan Korea Selatan untuk masuk ke Indonesia.
Pendatang yang ingin masuk atau transit ke Indonesia diwajibkan menunjukkan sertifikat sehat yang dikeluarkan otoritas kesehatan berwenang di negara masing-masing, demikian informasi dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam jumpa pers pekan ini.
Tidak hanya pembatasan masuk, pemerintah pada Rabu (4/3) juga telah menyusun protokol penanganan jenis baru virus corona, demikian keterangan dari Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko di Jakarta.
Protokol penanganan itu terdiri dari sejumlah prosedur, di antaranya penanganan kasus COVID-19 mulai dari pasien dengan status "orang dalam pemantauan" (ODP) sampai ia dinyatakan sehat; pemantauan orang yang masuk dan keluar negeri di 135 pintu masuk/titik perbatasan; aturan penyebaran informasi yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informasi; dan peningkatan pendidikan serta kesadaran masyarakat yang dijalankan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagaimana wabah lain, pasti ada korban jiwa. Namun, mengutip Ghebreyesus, akhir dari COVID-19 ada di tangan seluruh pihak untuk bekerja sama menangkal penyebaran virus.
"Ini bukan latihan. Ini bukan saat untuk menyerah. Ini bukan waktu menghindar. Ini bukan momen untuk berhenti," tegas Dirjen WHO itu.(jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal