Jumat, 20 Juni 2025

Pengamat: Zaman Jokowi Orang Bebas Bicara, Tapi Besok Dipanggil

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Data 10 Tahun Terakhir, Lebih dari 200 Ribu Tewas

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Riau Dilibatkan dalam Penyerahan Sertifikat Pantun dari UNESCO

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Barca Klaim Kounde, Sempat Jual Jersey setelah Telikung Chelsea 3 Kali

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

- Advertisement -

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Waspadai, Gejala Penyumbatan Jantung

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Lupa Parkir

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Ekosistem Digital Perlu Dukungan Kualitas Internet dan Keamanan Data

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari