Selasa, 8 April 2025
spot_img

Pengamat: Zaman Jokowi Orang Bebas Bicara, Tapi Besok Dipanggil

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Patung Istri Donald Trump Dibakar di Slovenia

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Bashar al-Assad Tetap Jabat Presiden Suriah

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Celana Sobek

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Riau Menuju Merah, Hari Ini Kasus Positif Baru Bertambah 27 Orang

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

spot_img

Pengamat: Zaman Jokowi Orang Bebas Bicara, Tapi Besok Dipanggil

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Riau Menuju Merah, Hari Ini Kasus Positif Baru Bertambah 27 Orang

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Tinggal Leher Kami yang Kelihatan

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Penurunan persepsi kebebasan sipil di akhir periode pertama Presiden Joko Widodo tidak bisa lagi dianggap remeh. Grafik survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa masyarakat semakin merasa tidak aman untuk berekspresi. Pemerintah pun dituntut memberikan solusi konkret yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan sipil benar-benar dilindungi.

Tren dalam tiga kali akhir masa jabatan presiden menunjukkan adanya peningkatan rasa takut masyarakat dalam berekspresi. Yakni, Juli 2009, Juli 2014, dan Mei–Juni 2019. Mulai ketakutan berbicara masalah politik, ketakutan atas penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, ikut atau bergabung pada organisasi, hingga takut melaksanakan ajaran agama.

Pengamat politik Jeirry Sumampow menyampaikan, saat ini tanda-tanda kemunduran demokrasi sudah tampak. Sadar atau tidak, Jeirry melihat pemerintah sudah membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Khususnya menyampaikan kritik. ”Menurut saya, kita terancam juga kebebasannya,” ungkap dia kemarin.

Baca Juga:  Penerapan PPKM Berskala Mikro Harus Konsisten dan Tegas 

Jeirry menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menyampaikan suara kritis, tetapi kemudian dibungkam. ”Di zaman Jokowi, orang bebas bicara iya. Tapi, besok dipanggil,” imbuhnya. Walau tidak diproses hukum, panggilan tersebut tetap berpengaruh. UU ITE, lanjut dia, yang paling banyak dipakai untuk membungkam kritik masyarakat.

Menurut Jeirry, orang yang mengkritik lantas dipanggil aparat kebanyakan enggan lagi melakukan hal serupa. ”Kalau orang satu kali dipanggil, besok dia nggak mau kritik lagi,” kata dia. Itu sama saja dengan bentuk intimidasi. ”Syok intimidasi,” imbuhnya. Tentu saja, sambung dia, itu bukan kabar baik bagi demokrasi di tanah air.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan bahwa kebebasan sipil dimaknai sebagai kebebasan yang tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hukum. Dia juga menjelaskan, dalam demokrasi, kekuasaan tidak lagi memusat pada negara. Kekuasaan terdistribusi ke banyak lembaga dan organisasi, juga kelompok kepentingan. ’’Kita melihat konflik horizontal antara masyarakat secara sosial juga terjadi,’’ tambahnya.

Baca Juga:  Bashar al-Assad Tetap Jabat Presiden Suriah

Editor :Deslina
Sumber: jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari