Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Main-Main Dengan Sembako Covid-19

PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) – Para kepala rukun warga (RW) di Pekanbaru sempat menolak penyaluran sembako bagi warga terdampak pandemi Covid-19. Pada April-Mei 2020, Pemko meminta para RW mendata mereka yang berhak menerima paket sembako. Di salah satu RW di Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Bina Widya, misalnya terdata 2.600 warga yang berhak.

"Tiba-tiba data itu tak dipakai, lalu muncul data 260 orang dari pemko. Hanya 10 persennya. Di sana ada orang kaya, PNS yang seharusnya tak berhak. Tentu kami tolak," ujar seorang warga, Iwan, Jumat (3/9).

Ternyata ini terjadi di banyak sekali RW di Pekanbaru. Penolakan demi penolakan pun dilakukan para ketua RW dan RT. KelurahanMunggu, Air Dingin, Padang Terubuk, Sumahilang, di kecamatan berbeda dan sejumlah kelurahan di Tenayan Raya adalah sejumlah contoh. Ada beberapa alasan penolakan itu. Gelombang penolakan ini bahkan memakan "tumbal" lurah yang dicopot karena dianggap tak bisa meredam gejolak yang muncul. Ada beberapa alasan ditolaknya sembako ini. Di antaranya, data yang dipakai bukan dari RW, melainkan versi pemko sendiri yang isinya banyak orang tak berhak, orang kaya atau PNS. Lalu jumlahnya jauh berkurang, sehingga bisa menimbulkan gejolak. Dan para RW diminta ikut menyaksikan penyaluran. Sebagai legitimasi saja.

"Tentu kami tak mau. Bisa-bisa warga ngamuk ke kami, bukan ke Pemko," ujar salah seorang ketua RW.

Setelah menolak sembako dari Pemko Pekanbaru, beberapa ketua RW berinisiatif meminta bantuan kepada beberapa perusahaan besar, pusat perbelanjaan, dan yayasan sosial. Ternyata mereka dibantu. Ada yang dapat 300 paket, 500 paket, dan lainnya. Berdasarkan keterangan dari ketua RW itu, ternyata perusahaan itu sebelumnya juga kena "tanduk" pejabat pemko. Spekulasi pun beredar, sembako hasil "tandukan" itu pula yang rupanya disalurkan. Pembagian sembako Pemko Pekanbaru memang terus dilakukan kepada warga yang tidak menolak. Jumlahnya 30 ribu paket.

Belakangan, bantuan sembako Covid-19 itu ketahuan bermasalah. Seperti bermasalahnya bantuan Covid-19 lainnya di Riau yang membuat Menteri Sosial Tri Rismaharini marah-marah saat berkunjung ke Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Terdapat lima kabupaten/kota di Riau yang belum menuntaskan menyalurkan bansos ini, termasuk Pekanbaru. Selain itu Pelalawan, Rokan Hulu, Indragiri Hilir, dan Kampar. Bedanya, bansos ini berbentuk transfer langsung, sehingga sulit untuk "main-main".

Kelebihan Bayar Rp45 Ribu per Paket

Dalam hal ini, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menganggarkan Rp7,45 miliar untuk pembelian 30 ribu paket sembako. Nilai satu paket sebesar Rp235.844. Awalnya harga yang dihitung adalah Rp221.778 per paket. Perhitungan ulang, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau ternyata harga yang wajar adalah Rp176.226 per paket. Terdapat kelebihan bayar yang tidak wajar sebesar Rp45.551 per paket. Jika dikalikan 30 ribu paket, maka total kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Baca Juga:  Ajarkan Kemandirian pada Anak

Dugaan mark up pun mengemuka di sana. Bisa jadi ada "main mata", seperti pada mantan Mensos Juliari Batubara, yang tertangkap tangan KPK "main-main" dengan sembako Covid-19. Tapi tentu saja semuanya dibantah. Berdasarkan audit BPK yang melakukan klarifikasi ke Dinas Perindag Kota Pekanbaru, selisih harga tersebut terjadi karena adanya target waktu pembagian sembako kepada masyarakat. Dinas Perindag hanya melihat kelayakan barang dan tidak memperhatikan harga. Kondisi ini diduga melanggar Perpres No 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Diduga terjadi pemborosan dan kebocoran uang negara dan harus dicegah berdasarkan pasal 7 ayat (1). Apa yang dilakukan, melanggar juga Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 tahun 2018.

Lebih spesifik lagi, sudah ada Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19. Di sana diatur rinci soal barang dan jasa terkait bantuan Covid-19. Pun ketentuan ini dilanggar.

BPK pun sudah meminta agar Wali Kota Firdaus memperhatikan ini. BPK merekomendasikan Wali Kota memerintahkan Dinas Perindag untuk memproses dan mempertanggungjawabkan kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Berdasarkan audit BPK juga, terdapat kelebihan jumlah penerima bansos dan sembako sebanyak 658 KK. Paling banyak adalah karena adanya data ganda 653 KK. Yang lebih mengejutkan, terdapat aparatur sipil negara (ASN) yang menerima bansos di tiga kecamatan. Selain itu, banyak warga tanpa data KK yang menerima bansos. Jumlahnya 1.470 KK.

Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, Widhi Widayat bersama Kepala Sub Auditorat Riau 2 Handriyas Haryotomo menerangkan rinci kasus ini. Widhi menyebut, memang terjadi kelebihan bayar di Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru 2020. Khususnya pada dana pembelian sembako penanganan Covid-19 kepada Bulog Riau Kepri sebesar Rp1,366 miliar.

"Kami (BPK, red) punya program pemeriksaan. Apalagi kalau program pemeriksaan keuangan pemda yang sifatnya kan mandatory. Artinya, apa yang kami lakukan itu sudah program wajib," ujarnya, Senin (30/8).

Pada kelebihan pembayaran itu,  pihaknya mengidentifikasi  terjadi karena dua hal. Pertama, pekerjaan itu terjadi kekurangan volume, seperti untuk pekerjaan fisik. Kedua, karena kelebihan pembayaran. Hal ini dikarenakan adanya kemahalan harga. Contohnya pengadaan sembako ini.

"Kami punya harga pembanding yang valid. Ketika kami bandingkan, ini ada selisih. Makanya yang dibayarkan lebih dari yang seharusnya. Ada kemahalan harga. Untuk item yang sama dan kita harus pastikan harga yang kita bandingkan itu memang selaras, item yang sama, harga di saat yang sama," ungkapnya.

Ini pun di BPK sangat ketat. Artinya, tidak boleh BPK punya pembanding misalnya sebulan atau dua bulan lalu. Apalagi sembako pada saat ini fluktuatif. Ketika mau menghitung, BPK tidak sepihak. Artinya dengan pihak yang terkait dilakukan konfirmasi, benar tidak ini.

Baca Juga:  Jadi Teladan dalam Dunia Jurnalisme di Indonesia

"Itulah yang terjadi. Maka kami mengangkat ada kelebihan pembayaran ini," ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, selisih lebih bayar ini kalau dari satu paket itu Rp45 ribu lebih. Total dari semua pengadaan Rp1,3 miliar lebih. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kondisi. Saat itu memang sepertinya  kondisi yang tidak normal. Padahal ada program pemerintah harus membantu masyarakat dan harus dijalankan, sehingga untuk mendapatkan barang ini mana yang ada saja. Kadang dalam saat tertentu kaidah-kaidah yang seharusnya menjadi perhatian itu ditinggalkan. Itulah yang terjadi saat itu.

"Pihak Bulog saat kami konfirmasi menyebutkan semuanya karena kondisi. Ya sudah Pak, yang penting kita ada dulu," ujarnya.

Mekanisme pengembalian lebih bayar seperti apa? Disebutkan dia, dalam LHP BPK, BPK memuat temuan pemeriksaan itu ada beberapa aspek yang harus diungkapkan, yakni komponen dari suatu temuan pemeriksaan. Termasuk kondisi, yakni keadaan faktual yang ditemukan. Selanjutnya  kriteria.

"Kriteria itu semua hal yang mengatur apa yang seharusnya. Kriteria itu kan yang seharusnya, kondisi ini kan tidak sama," ujarnya.

Ketika tidak sama maka terjadi masalah yang menimbulkan akibat. Akibatnya, harusnya harganya Rp50.000 ternyata belinya Rp95.000. Maka ada kelebihan bayar Rp45.000. Itulah akibatnya ada kelebihan bayar yang totalnya mencapai Rp1,3 miliar lebih itu. "Sebabnya itu tadi, ada kebutuhan mendesak  dan segala macam. Itu kita ungkapkan juga. Terakhir ada bagian dari temuan itu yang disebut rekomendasi," ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, ketika akibatnya kelebihan bayar tadi makanya BPK merekomendasikan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan itu untuk mengembalikan kelebihan pembayaran itu ke kas daerah, dalam hal ini kas Pemko Pekanbaru.

"Jadi, rekomendasi itulah yang mengikat bahwa yang lebih bayar tadi harus dikembalikan kelebihannya sesuai hasil penghitungan. Kalau dalam temuan ini sekitar Rp1,3 miliar lebih yang harus dibalikkan," tambahnya.

Terkait deadline pengembalian, menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tindak lanjut dari rekomendasi BPK tadi, harus dilakukan dalam rentang waktu 60 hari. Tapi kalau menyangkut pengembalian ini, aturannya belum mengatur 60 hari harus selesai semua. Tapi dalam 60 hari itu sudah ada tindak lanjutnya meskipun disyaratkan tidak selesai seluruhnya.

"Makanya, dalam kasus temuan ini, posisinya memang dari Rp1,3 miliar belum semuanya disetorkan kembali. Ada selisih sekitar Rp200 juta. Itu ternyata Bulog belum menindaklanjuti karena memang  pembayarannya belum selesai dilakukan pihak Pemko Pekanbaru," ujar Widi.

 

PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) – Para kepala rukun warga (RW) di Pekanbaru sempat menolak penyaluran sembako bagi warga terdampak pandemi Covid-19. Pada April-Mei 2020, Pemko meminta para RW mendata mereka yang berhak menerima paket sembako. Di salah satu RW di Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Bina Widya, misalnya terdata 2.600 warga yang berhak.

"Tiba-tiba data itu tak dipakai, lalu muncul data 260 orang dari pemko. Hanya 10 persennya. Di sana ada orang kaya, PNS yang seharusnya tak berhak. Tentu kami tolak," ujar seorang warga, Iwan, Jumat (3/9).

- Advertisement -

Ternyata ini terjadi di banyak sekali RW di Pekanbaru. Penolakan demi penolakan pun dilakukan para ketua RW dan RT. KelurahanMunggu, Air Dingin, Padang Terubuk, Sumahilang, di kecamatan berbeda dan sejumlah kelurahan di Tenayan Raya adalah sejumlah contoh. Ada beberapa alasan penolakan itu. Gelombang penolakan ini bahkan memakan "tumbal" lurah yang dicopot karena dianggap tak bisa meredam gejolak yang muncul. Ada beberapa alasan ditolaknya sembako ini. Di antaranya, data yang dipakai bukan dari RW, melainkan versi pemko sendiri yang isinya banyak orang tak berhak, orang kaya atau PNS. Lalu jumlahnya jauh berkurang, sehingga bisa menimbulkan gejolak. Dan para RW diminta ikut menyaksikan penyaluran. Sebagai legitimasi saja.

"Tentu kami tak mau. Bisa-bisa warga ngamuk ke kami, bukan ke Pemko," ujar salah seorang ketua RW.

- Advertisement -

Setelah menolak sembako dari Pemko Pekanbaru, beberapa ketua RW berinisiatif meminta bantuan kepada beberapa perusahaan besar, pusat perbelanjaan, dan yayasan sosial. Ternyata mereka dibantu. Ada yang dapat 300 paket, 500 paket, dan lainnya. Berdasarkan keterangan dari ketua RW itu, ternyata perusahaan itu sebelumnya juga kena "tanduk" pejabat pemko. Spekulasi pun beredar, sembako hasil "tandukan" itu pula yang rupanya disalurkan. Pembagian sembako Pemko Pekanbaru memang terus dilakukan kepada warga yang tidak menolak. Jumlahnya 30 ribu paket.

Belakangan, bantuan sembako Covid-19 itu ketahuan bermasalah. Seperti bermasalahnya bantuan Covid-19 lainnya di Riau yang membuat Menteri Sosial Tri Rismaharini marah-marah saat berkunjung ke Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Terdapat lima kabupaten/kota di Riau yang belum menuntaskan menyalurkan bansos ini, termasuk Pekanbaru. Selain itu Pelalawan, Rokan Hulu, Indragiri Hilir, dan Kampar. Bedanya, bansos ini berbentuk transfer langsung, sehingga sulit untuk "main-main".

Kelebihan Bayar Rp45 Ribu per Paket

Dalam hal ini, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menganggarkan Rp7,45 miliar untuk pembelian 30 ribu paket sembako. Nilai satu paket sebesar Rp235.844. Awalnya harga yang dihitung adalah Rp221.778 per paket. Perhitungan ulang, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau ternyata harga yang wajar adalah Rp176.226 per paket. Terdapat kelebihan bayar yang tidak wajar sebesar Rp45.551 per paket. Jika dikalikan 30 ribu paket, maka total kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Baca Juga:  Italia Isolasi 16 Juta Orang

Dugaan mark up pun mengemuka di sana. Bisa jadi ada "main mata", seperti pada mantan Mensos Juliari Batubara, yang tertangkap tangan KPK "main-main" dengan sembako Covid-19. Tapi tentu saja semuanya dibantah. Berdasarkan audit BPK yang melakukan klarifikasi ke Dinas Perindag Kota Pekanbaru, selisih harga tersebut terjadi karena adanya target waktu pembagian sembako kepada masyarakat. Dinas Perindag hanya melihat kelayakan barang dan tidak memperhatikan harga. Kondisi ini diduga melanggar Perpres No 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Diduga terjadi pemborosan dan kebocoran uang negara dan harus dicegah berdasarkan pasal 7 ayat (1). Apa yang dilakukan, melanggar juga Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 tahun 2018.

Lebih spesifik lagi, sudah ada Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19. Di sana diatur rinci soal barang dan jasa terkait bantuan Covid-19. Pun ketentuan ini dilanggar.

BPK pun sudah meminta agar Wali Kota Firdaus memperhatikan ini. BPK merekomendasikan Wali Kota memerintahkan Dinas Perindag untuk memproses dan mempertanggungjawabkan kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Berdasarkan audit BPK juga, terdapat kelebihan jumlah penerima bansos dan sembako sebanyak 658 KK. Paling banyak adalah karena adanya data ganda 653 KK. Yang lebih mengejutkan, terdapat aparatur sipil negara (ASN) yang menerima bansos di tiga kecamatan. Selain itu, banyak warga tanpa data KK yang menerima bansos. Jumlahnya 1.470 KK.

Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, Widhi Widayat bersama Kepala Sub Auditorat Riau 2 Handriyas Haryotomo menerangkan rinci kasus ini. Widhi menyebut, memang terjadi kelebihan bayar di Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru 2020. Khususnya pada dana pembelian sembako penanganan Covid-19 kepada Bulog Riau Kepri sebesar Rp1,366 miliar.

"Kami (BPK, red) punya program pemeriksaan. Apalagi kalau program pemeriksaan keuangan pemda yang sifatnya kan mandatory. Artinya, apa yang kami lakukan itu sudah program wajib," ujarnya, Senin (30/8).

Pada kelebihan pembayaran itu,  pihaknya mengidentifikasi  terjadi karena dua hal. Pertama, pekerjaan itu terjadi kekurangan volume, seperti untuk pekerjaan fisik. Kedua, karena kelebihan pembayaran. Hal ini dikarenakan adanya kemahalan harga. Contohnya pengadaan sembako ini.

"Kami punya harga pembanding yang valid. Ketika kami bandingkan, ini ada selisih. Makanya yang dibayarkan lebih dari yang seharusnya. Ada kemahalan harga. Untuk item yang sama dan kita harus pastikan harga yang kita bandingkan itu memang selaras, item yang sama, harga di saat yang sama," ungkapnya.

Ini pun di BPK sangat ketat. Artinya, tidak boleh BPK punya pembanding misalnya sebulan atau dua bulan lalu. Apalagi sembako pada saat ini fluktuatif. Ketika mau menghitung, BPK tidak sepihak. Artinya dengan pihak yang terkait dilakukan konfirmasi, benar tidak ini.

Baca Juga:  Orang Gila yang Buta dengan Luka Memar di Sekujur Tubuhnya

"Itulah yang terjadi. Maka kami mengangkat ada kelebihan pembayaran ini," ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, selisih lebih bayar ini kalau dari satu paket itu Rp45 ribu lebih. Total dari semua pengadaan Rp1,3 miliar lebih. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kondisi. Saat itu memang sepertinya  kondisi yang tidak normal. Padahal ada program pemerintah harus membantu masyarakat dan harus dijalankan, sehingga untuk mendapatkan barang ini mana yang ada saja. Kadang dalam saat tertentu kaidah-kaidah yang seharusnya menjadi perhatian itu ditinggalkan. Itulah yang terjadi saat itu.

"Pihak Bulog saat kami konfirmasi menyebutkan semuanya karena kondisi. Ya sudah Pak, yang penting kita ada dulu," ujarnya.

Mekanisme pengembalian lebih bayar seperti apa? Disebutkan dia, dalam LHP BPK, BPK memuat temuan pemeriksaan itu ada beberapa aspek yang harus diungkapkan, yakni komponen dari suatu temuan pemeriksaan. Termasuk kondisi, yakni keadaan faktual yang ditemukan. Selanjutnya  kriteria.

"Kriteria itu semua hal yang mengatur apa yang seharusnya. Kriteria itu kan yang seharusnya, kondisi ini kan tidak sama," ujarnya.

Ketika tidak sama maka terjadi masalah yang menimbulkan akibat. Akibatnya, harusnya harganya Rp50.000 ternyata belinya Rp95.000. Maka ada kelebihan bayar Rp45.000. Itulah akibatnya ada kelebihan bayar yang totalnya mencapai Rp1,3 miliar lebih itu. "Sebabnya itu tadi, ada kebutuhan mendesak  dan segala macam. Itu kita ungkapkan juga. Terakhir ada bagian dari temuan itu yang disebut rekomendasi," ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, ketika akibatnya kelebihan bayar tadi makanya BPK merekomendasikan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan itu untuk mengembalikan kelebihan pembayaran itu ke kas daerah, dalam hal ini kas Pemko Pekanbaru.

"Jadi, rekomendasi itulah yang mengikat bahwa yang lebih bayar tadi harus dikembalikan kelebihannya sesuai hasil penghitungan. Kalau dalam temuan ini sekitar Rp1,3 miliar lebih yang harus dibalikkan," tambahnya.

Terkait deadline pengembalian, menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tindak lanjut dari rekomendasi BPK tadi, harus dilakukan dalam rentang waktu 60 hari. Tapi kalau menyangkut pengembalian ini, aturannya belum mengatur 60 hari harus selesai semua. Tapi dalam 60 hari itu sudah ada tindak lanjutnya meskipun disyaratkan tidak selesai seluruhnya.

"Makanya, dalam kasus temuan ini, posisinya memang dari Rp1,3 miliar belum semuanya disetorkan kembali. Ada selisih sekitar Rp200 juta. Itu ternyata Bulog belum menindaklanjuti karena memang  pembayarannya belum selesai dilakukan pihak Pemko Pekanbaru," ujar Widi.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari