JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Gempa dengan Magnitudo 7,4 (Pemutakhiran 6,9) yang terjadi di Samudera Hindia Selatan Jawa pada Jumat malam (2/8) menelan total 5 korban jiwa dan merusak setidaknya 200 unit rumah dan fasilitas ibadah. Kerusakan terparah terjadi di Kabupaten Pandeglang dengan 81 unit rumah rusak dan 1 orang meninggal. Kemudian disusul Kabupaten Sukabumi dengan 75 unit rumah rusak, 2 orang meninggal.
Para korban meninggal yakni Sa’in (40 tahun) warga Kecamatan Sumur, Pandeglang Banten. Di Kabupaten Lebak korban meninggal yakni Rasinah (48 tahun) dan Salam (95 tahun). Sementara di Sukabumi yakni Ajay (58 tahun) dan Ruyani (35 tahun).
Hingga kemarin (3/8), laporan yang masuk ke BNPB mencatat 223 rumah yang rusak serta 10 unit rumah ibadah dan fasilitas publik lainnya. Rinciannya, 13 rusak berat (RB), 32 rusak sedang (RS) dan sisanya rusak ringan (RR). Jumlah ini masih bisa bertambah karena BNPB terus melakukan pendataan.
Pascagempa, BNPB segera mengirimkan Tim Reaksi Cepat (TRC) ke lokasi terdampak seperti Lampung Selatan, Pandeglang, Serang, Lebak, dan Sukabumi. TRC membantu pemerintah daerah untuk melakukan kaji cepat dan pendampingan terhadap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Saat ini BNPB, BPBD, kementerian/lembaga, TNI, Polri dan relawan bersinergi di lapangan untuk penanganan darurat bencana.
“Pagi ini (3/8) Kepala BNPB Doni Monardo telah berada di Kabupaten Pandeglang, Banten untuk meninjau kondisi di lapangan dan memastikan semua pelayanan publik terpenuhi,” kata Plh Kapusdatin dan Humas BNPB Agus Wibowo.
Berdasarkan pantauan TRC, situasi dan aktivitas warga normal. Di sisi lain, BPBD dibantu instansi terkait melakukan pemantauan ulang di daerah pedalaman. Soal informasi yang beredar di media sosial seperti ramalan waktu dan tempat terjadinya gempa, Agus mengimbau warga untuk tidak terpancing oleh informasi yang bukan berasal dari sumber resmi pemerintah. “Warga diharapkan tetap tenang dan selalu waspada terhadap informasi palsu yang berkembang di masyarakat,” jelasnya.
Kesiapan Menghadapi Megathrust
Guncangan yang muncul dari Samudera Hindia Selatan Jawa Jumat malam mengingatkan kembali akan bahaya potensi gempa raksasa Sunda Megathrust. Kesiapan Pesisir Selatan Jawa dan Barat Sumatera mutlak harus segera dipenuhi. Peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko menyatakan bahwa ada potensi gempa megathrust di Selat Sunda.
Menurut perhitungan yang dilakukannya, gempa megathrust ini akan mencapai magnitude 8,7. Adanya gempa yang terjadi pada Jumat malam lalu, menurutnya tak mengurangi kekuatan megathrust. ”Gempa kemarin tidak mengurangi potensi karena tidak di-interface. Namun malah mempercepat potensi release beberapa puluh tahun lebih cepat,” ucapnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.
Menurutnya, pemerintah melalui pusat gempa nasional di bawah Kementerian PUPR telah memiliki acuan potensi megathrust. Potensi kerusakan pun telah dipetakkan. Dari sini, menurutnya sudah bisa dilakukan pemetaan ancaman bencana.
Saat ini belum semua wilayah rawan tsunami di daerah memiliki fasilitas shelter tsunami maupun jalur evakuasi yang memadai. Koordinator Tim Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami BNPB Tri Nirmalaningrum mencontohkan kesiapan seperti warga Pangandaran. “Mereka mengevakuasi diri dengan teratur,” katanya.
Tri menyebut di Pangandaran, terutama di desa-desa pinggir pantai sudah memiliki tanda jalur evakuasi serta tangga-tangga untuk mengakses puncak bukit. Kelemahannya hanya ada pada kondisi hotel. Tri menyebut hotel-hotel yang berjejer sepanjang Pantai Pangandaran tidak memiliki akses paralel yang memungkinkan penghuni bisa mengakses satu sama lain. “Masing-masing dipagar dan disekat jadi harus lari ke perempatan yang dekat pantai dulu, baru bisa belok ke bukit,” tuturnya.
Menurut Tri, seharusnya tiap hotel memiliki akses yang paralel. Kalau bisa langsung menuju ke bukit yang berada di belakang hotel. Agus Wibowo mengatakan gerakan sertifikasi hotel untuk shelter bencana tsunami sudah mulai dilakukan.
Hotel-hotel di Bali beberapa sudah memiliki sertifikat latihan bencana tsunami. Dengan kesiapan fasilitas, maupun petugas dan pegawai yang terlatih. Hotel yang baik untuk shelter, kata Agus tergantung potensi tinggi gelombang tsunami di wilayah tersebut. “Tapi rata-rata lari ke lantai 3 aman,” jelasnya.
Hotel juga diharapkan membiarkan lantai 1 (ground) tanpa kamar penghuni. Kemudian diisi dengan tempat-tempat terbuka seperti restoran dan lobby. Bahan pembatas juga jangan dibuat keras. “Misalnya dibuat dari kaca. Sehingga bisa pecah kalau kena tsunami, airnya lewat. Kalau keras hotelnya bisa mengalami kerusakan,” jelasnya.
Kepala BNPB Doni Monardo mengungkapkan latihan dan simulasi kebencana harus sampai menyentuh tingkat paling bawah, yaitu tingkat keluarga. “Termasuk juga kepada anak anak sekolah sekolah,” pesan Doni kepada warga masyarakat Pandeglang.
Menurut Doni, latihan ini diinisiasi pemda setempat dan harus menjadi kewajiban rutin. Bagaimana pun gempa dan tsunami adalah peristiwa berulang yang sewaktu waktu dapat muncul kapan saja. (tau/lyn/far/byu/jpg)