Jumat, 20 September 2024

Mengenal Small Eaters, Salah Satu Masalah Makan Anak

KELUHAN asupan makan anak kerap di alami oleh para orang tua. Misal, ”Anak saya makannya sedikit, dua atau tiga suapan saja sudah membuat dia merasa kenyang. Meski anaknya tetap aktif dan perkembangannya kelihatan normal, tapi saya kuatir dengan badannya yang semakin kurus”.

Keluhan seperti ini sering dijumpai dan tentunya membuat orangtua menjadi cemas. Orangtua telah berupaya melakukan aturan pemberian makan (feeding rules) dengan benar, tetapi kenapa pola makannya tidak sama seperti kebanyakan anak lain?

Apa yang dimaksud dengan small eaters?

Small eaters adalah istilah yang dipakai untuk anak dengan keluhan makannya sedikit meskipun orangtua telah berupaya melakukan aturan makan yang benar, berat badan sulit naik dan akhirnya menimbulkan  status gizi kurang.  Small eaters atau dikenal juga sebagai infantile anorexia, timbul pada periode anak belajar sebagai individu, yang berhubungan dengan perkembangan ego, eksplorasi identitas dan kemampuan kognitif anak, di mana saat itu orangtua dan anak berinteraksi dalam hal otonomi dan kebebasan.  Small eaters umumnya terjadi pada saat periode transisi ke Makanan Pendamping ASI (MPASI) atau makan mandiri, yaitu pada usia 6 bulan sampai 3 tahun. Anak yang termasuk golongan small eaters beraktifitas lincah, aktif, perkembangan tampak normal, namun seringkali lebih tertarik pada lingkungan. Misalnya bermain, mengobrol atau menonton TV, dibandingkan ketertarikan pada makanan. Biasanya anak tersebut juga tidak memiliki masalah medis yang mendasari dan tidak ada riwayat kekerasan ataupun kelalaian orangtua.

- Advertisement -

Apa penyebab small eaters?

Untuk menentukan penyebab pasti small eaters tentunya sangat sulit. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi. Kemampuan eksplorasi anak dan ketidakpekaan orangtua untuk membaca kebutuhan anak terhadap makanan dan merespons dengan ketidaksabaran atau ketidaktersediaan, sering dikaitkan dengan small eaters, tentunya akan menyebabkan “perang batin” antara ibu dan anak dalam menyikapi proses pemberian makan.

- Advertisement -

Pada dasarnya setiap bayi sudah memiliki ketertarikan pada makanan ketika ia melihat orang dewasa makan. Namun demikian, penerimaannya akan berbeda-beda pada saat pengenalan MPASI. Usia 6-9 bulan adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara bertahap sebagai stimulasi ketrampilan oromotor (gerak otot dari rongga mulut dan organ lain di sekitarnya). Jika anak dapat melalui periode ini dengan baik, makan periode makan selanjutnya akan berjalan dengan lancar.

Baca Juga:  Kerja ASN Lebih Fleksibel, Seminggu Bisa 4 Hari

Pada saat pengenalan MPASI pertama kali biasanya akan muncul berbagai respons dari anak, ada yang langsung makan dengan lahap, ada juga yang butuh waktu mengadaptasi rasa dan tekstur makanannya, ataupun masih kesulitan untuk mengalihkan perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pada periode ini, orangtua harus mengenali reaksi anak, bagaimana bahasa tubuhnya pada saat tidak menyukai makanan, bagaimana ekspresinya pada saat dia merasa tidak lapar, atau apa yang membuat anak tidak fokus selama proses makan. Karena pemberian MPASI pada 3 bulan pertama adalah proses belajar, maka kecermatan orangtua merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Tahap awal orangtua harus membuat anak merasa bahwa proses makan merupakan aktifitas yang menyenangkan, sehingga anak akan menanti-nanti jadwal makan berikutnya.   

Bila perilaku makan dengan jumlah sedikit ini berlangsung lama, tentu menimbulkan kekuatiran terjadi kekurangan nutrisi. Sehingga biasanya orangtua mengambil jalan pintas memberikan apa saja yang penting anaknya mengunyah makanan. Pilihan yang paling disukai anak biasanya berupa camilan, yang dapat dimakan sambil melakukan aktifitasnya. Karena berulang-ulang makan meski dengan porsi sedikit, akhirnya anak selalu merasakan kenyang, dan semakin mengurangi seleranya terhadap makanan utama. Akhirnya anak dengan small eaters berisiko untuk mengalami gagal tumbuh karena asupan nutrisinya kurang.

Bagaimana tatalaksana small eaters?

Ada dua hal yang harus dikelola secara simultan pada anak dengan small eaters, yaitu memenuhi kebutuhan makanan untuk mengatasi kekurangan gizinya dan meningkatkan nafsu makannya dengan mengevaluasi kembali terhadap penerapan aturan pemberian makan yang benar. Tujuan akhir adalah anak dapat makan normal secara mandiri sesuai usia yaitu untuk anak 1-3 tahun, 70 persen berupa makanan padat (makanan keluarga) dan 30 persen berupa susu atau makanan cair. Sebaiknya anak dikonsultasikan ke dokter untuk pemenuhan kalori harian yang diberikan, karena setiap anak mempunyai problem yang berbeda-beda, untuk mencegah jatuh pada kekurangan gizi yang lebih berat. Dokter akan menghitung kalori yang dibutuhkan dan menentukan sumber-sumber makanan berdasarkan kemampuan anak dalam mengunyah dan menelan. Salah satu cara adalah dengan peningkatan densitas energi dan nutrien dengan penambahan lemak (dalam bentuk minyak, mentega atau santan) atau penggunaan suplemen nutrisi oral atau sering disebut susu tinggi kalori. Meskipun pada awalnya perkembangan anak masih tampak normal, namun jika nutrisi tubuhnya tidak segera dipenuhi maka akan mengancam terjadinya keterlambatan perkembangan di kemudian hari.

Baca Juga:  Lawan Kampanye Negatif Sawit Via Medsos

Bagaimana penerapan aturan pemberian makan yang benar?

Ada 3 aturan dasar pemberian makan:

1. Jadwal:

Jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teratur, yaitu tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil di antaranya. Susu dapat diberikan dua atau tiga kali sehari. Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit. Jangan menawarkan camilan yang lain saat makan, dan hanya boleh mengonsumsi air putih di antara waktu makan.

2. Lingkungan:

Ciptakan lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan) dan tidak ada distraksi (mainan, televisi, gadget) saat makan. Jangan memberikan makanan sebagai hadiah.

3. Prosedur:

Berikan makanan utama dulu, kemudian diakhiri dengan minum. Ajari anak untuk makan sendiri. Bila anak menunjukkan tanda tidak mau makan (mengatupkan mulut, memalingkan kepala atau menangis), tawarkan kembali makanan secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksa. Bila setelah 10-15 menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makan. Hanya boleh membersihkan mulut anak jika makan sudah selesai.

Penjadwalan pemberian makan yang teratur bertujuan agar ada periode lapar dan kenyang, di mana saat lapar akan timbul keinginan makan pada diri anak. Walaupun anak hanya makan sedikit, perlu diingatkan agar orangtua tidak cepat tergoda untuk menawarkan makanan maupun susu di luar jadwalnya. Bernegosiasilah dengan perasaan cemas, artinya orangtua harus bersabar, karena memperbaiki perilaku makan itu butuh waktu. Seringkali orangtua membuat patokan kenyang berdasarkan jumlah makanan di piring yang masih tersisa, sehingga terjadi pemaksaan untuk menghabiskan, padahal anak saat itu sudah merasa kenyang. Orangtua sering lupa bahwa yang merasa lapar dan kenyang itu adalah perut si anak. Oleh karena itu perlu dijaga interaksi yang baik antara orangtua dan anak, untuk dapat menerjemahkan apa yang dirasakan dan dibutuhkan anak. Interaksi tersebut tentunya harus dimulai sejak dini, sehingga pada saat mengenalkan makanan dan menerapkan aturan pemberian makan orangtua dapat melaluinya dengan lancar.***

 

Dr Yuliati SpA, Klinik Tumbuh Kembang RS Awal Bros

 

 

KELUHAN asupan makan anak kerap di alami oleh para orang tua. Misal, ”Anak saya makannya sedikit, dua atau tiga suapan saja sudah membuat dia merasa kenyang. Meski anaknya tetap aktif dan perkembangannya kelihatan normal, tapi saya kuatir dengan badannya yang semakin kurus”.

Keluhan seperti ini sering dijumpai dan tentunya membuat orangtua menjadi cemas. Orangtua telah berupaya melakukan aturan pemberian makan (feeding rules) dengan benar, tetapi kenapa pola makannya tidak sama seperti kebanyakan anak lain?

Apa yang dimaksud dengan small eaters?

Small eaters adalah istilah yang dipakai untuk anak dengan keluhan makannya sedikit meskipun orangtua telah berupaya melakukan aturan makan yang benar, berat badan sulit naik dan akhirnya menimbulkan  status gizi kurang.  Small eaters atau dikenal juga sebagai infantile anorexia, timbul pada periode anak belajar sebagai individu, yang berhubungan dengan perkembangan ego, eksplorasi identitas dan kemampuan kognitif anak, di mana saat itu orangtua dan anak berinteraksi dalam hal otonomi dan kebebasan.  Small eaters umumnya terjadi pada saat periode transisi ke Makanan Pendamping ASI (MPASI) atau makan mandiri, yaitu pada usia 6 bulan sampai 3 tahun. Anak yang termasuk golongan small eaters beraktifitas lincah, aktif, perkembangan tampak normal, namun seringkali lebih tertarik pada lingkungan. Misalnya bermain, mengobrol atau menonton TV, dibandingkan ketertarikan pada makanan. Biasanya anak tersebut juga tidak memiliki masalah medis yang mendasari dan tidak ada riwayat kekerasan ataupun kelalaian orangtua.

Apa penyebab small eaters?

Untuk menentukan penyebab pasti small eaters tentunya sangat sulit. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi. Kemampuan eksplorasi anak dan ketidakpekaan orangtua untuk membaca kebutuhan anak terhadap makanan dan merespons dengan ketidaksabaran atau ketidaktersediaan, sering dikaitkan dengan small eaters, tentunya akan menyebabkan “perang batin” antara ibu dan anak dalam menyikapi proses pemberian makan.

Pada dasarnya setiap bayi sudah memiliki ketertarikan pada makanan ketika ia melihat orang dewasa makan. Namun demikian, penerimaannya akan berbeda-beda pada saat pengenalan MPASI. Usia 6-9 bulan adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara bertahap sebagai stimulasi ketrampilan oromotor (gerak otot dari rongga mulut dan organ lain di sekitarnya). Jika anak dapat melalui periode ini dengan baik, makan periode makan selanjutnya akan berjalan dengan lancar.

Baca Juga:  Android 10 Baru Meluncur, Google Sudah Siapkan Android 11

Pada saat pengenalan MPASI pertama kali biasanya akan muncul berbagai respons dari anak, ada yang langsung makan dengan lahap, ada juga yang butuh waktu mengadaptasi rasa dan tekstur makanannya, ataupun masih kesulitan untuk mengalihkan perhatian dari lingkungan sekitarnya. Pada periode ini, orangtua harus mengenali reaksi anak, bagaimana bahasa tubuhnya pada saat tidak menyukai makanan, bagaimana ekspresinya pada saat dia merasa tidak lapar, atau apa yang membuat anak tidak fokus selama proses makan. Karena pemberian MPASI pada 3 bulan pertama adalah proses belajar, maka kecermatan orangtua merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Tahap awal orangtua harus membuat anak merasa bahwa proses makan merupakan aktifitas yang menyenangkan, sehingga anak akan menanti-nanti jadwal makan berikutnya.   

Bila perilaku makan dengan jumlah sedikit ini berlangsung lama, tentu menimbulkan kekuatiran terjadi kekurangan nutrisi. Sehingga biasanya orangtua mengambil jalan pintas memberikan apa saja yang penting anaknya mengunyah makanan. Pilihan yang paling disukai anak biasanya berupa camilan, yang dapat dimakan sambil melakukan aktifitasnya. Karena berulang-ulang makan meski dengan porsi sedikit, akhirnya anak selalu merasakan kenyang, dan semakin mengurangi seleranya terhadap makanan utama. Akhirnya anak dengan small eaters berisiko untuk mengalami gagal tumbuh karena asupan nutrisinya kurang.

Bagaimana tatalaksana small eaters?

Ada dua hal yang harus dikelola secara simultan pada anak dengan small eaters, yaitu memenuhi kebutuhan makanan untuk mengatasi kekurangan gizinya dan meningkatkan nafsu makannya dengan mengevaluasi kembali terhadap penerapan aturan pemberian makan yang benar. Tujuan akhir adalah anak dapat makan normal secara mandiri sesuai usia yaitu untuk anak 1-3 tahun, 70 persen berupa makanan padat (makanan keluarga) dan 30 persen berupa susu atau makanan cair. Sebaiknya anak dikonsultasikan ke dokter untuk pemenuhan kalori harian yang diberikan, karena setiap anak mempunyai problem yang berbeda-beda, untuk mencegah jatuh pada kekurangan gizi yang lebih berat. Dokter akan menghitung kalori yang dibutuhkan dan menentukan sumber-sumber makanan berdasarkan kemampuan anak dalam mengunyah dan menelan. Salah satu cara adalah dengan peningkatan densitas energi dan nutrien dengan penambahan lemak (dalam bentuk minyak, mentega atau santan) atau penggunaan suplemen nutrisi oral atau sering disebut susu tinggi kalori. Meskipun pada awalnya perkembangan anak masih tampak normal, namun jika nutrisi tubuhnya tidak segera dipenuhi maka akan mengancam terjadinya keterlambatan perkembangan di kemudian hari.

Baca Juga:  Kerja ASN Lebih Fleksibel, Seminggu Bisa 4 Hari

Bagaimana penerapan aturan pemberian makan yang benar?

Ada 3 aturan dasar pemberian makan:

1. Jadwal:

Jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teratur, yaitu tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil di antaranya. Susu dapat diberikan dua atau tiga kali sehari. Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit. Jangan menawarkan camilan yang lain saat makan, dan hanya boleh mengonsumsi air putih di antara waktu makan.

2. Lingkungan:

Ciptakan lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan) dan tidak ada distraksi (mainan, televisi, gadget) saat makan. Jangan memberikan makanan sebagai hadiah.

3. Prosedur:

Berikan makanan utama dulu, kemudian diakhiri dengan minum. Ajari anak untuk makan sendiri. Bila anak menunjukkan tanda tidak mau makan (mengatupkan mulut, memalingkan kepala atau menangis), tawarkan kembali makanan secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksa. Bila setelah 10-15 menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makan. Hanya boleh membersihkan mulut anak jika makan sudah selesai.

Penjadwalan pemberian makan yang teratur bertujuan agar ada periode lapar dan kenyang, di mana saat lapar akan timbul keinginan makan pada diri anak. Walaupun anak hanya makan sedikit, perlu diingatkan agar orangtua tidak cepat tergoda untuk menawarkan makanan maupun susu di luar jadwalnya. Bernegosiasilah dengan perasaan cemas, artinya orangtua harus bersabar, karena memperbaiki perilaku makan itu butuh waktu. Seringkali orangtua membuat patokan kenyang berdasarkan jumlah makanan di piring yang masih tersisa, sehingga terjadi pemaksaan untuk menghabiskan, padahal anak saat itu sudah merasa kenyang. Orangtua sering lupa bahwa yang merasa lapar dan kenyang itu adalah perut si anak. Oleh karena itu perlu dijaga interaksi yang baik antara orangtua dan anak, untuk dapat menerjemahkan apa yang dirasakan dan dibutuhkan anak. Interaksi tersebut tentunya harus dimulai sejak dini, sehingga pada saat mengenalkan makanan dan menerapkan aturan pemberian makan orangtua dapat melaluinya dengan lancar.***

 

Dr Yuliati SpA, Klinik Tumbuh Kembang RS Awal Bros

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari