INI tentang tokoh lagi. Yang meninggal lagi. Covid-19 lagi. Teman saya lagi: Arief Harsono. Di usia 66 tahun. Anda sudah tahu siapa dia. Tiga kali saya tulis di Disway. Satu kali di tamu podcast –salah satu yang terbanyak dilihat. Toh saya tetap menitikkan air mata kemarin. Dua kali. Saya tidak tahan melihat Imelda, putrinya, menangis di ujung peti mati –yang siap dimasukkan ke tempat pembakaran mayat. Lalu ketika pintu yang mirip pintu lift itu membuka. Dan peti mati dimasukkan ke dalamnya. Itulah tempat kremasi modern di zaman sekarang ini.
Ia meninggal di hari yang sama dengan putri Proklamator Indonesia, Rachmawati Soekarno Putri. Jumat kemarin. Juga dengan penyebab yang sama: Covid-19. Hanya saja Mbak Rachma sudah beberapa tahun terakhir sakit. Sedang Pak Arief selalu terlihat segar bugar. Saya masih beberapa kali kirim WA kepadanya ketika bos Samator Group itu sudah masuk rumah sakit. “Semoga cepat sembuh,” kata saya. “Xie xie,” jawabnya.
Dua hari kemudian saya kirim WA lagi. “Masih di RS? Tanpa gejala kan? Pasti segera sehat,” tulis saya. “Terima kasih Pak Dahlan msh di RS menurut dokter kena Covid tp tdk berat,” jawabnya. Justru saya tahu ia masuk rumah sakit dari WA yang ia kirim tanggal 28 Juni. Pukul 08.34 pagi. Ia masuk rumah sakit Adi Husada tengah malam sebelumnya. Hanya di situ masih tersedia kamar. Yang lain penuh semua. Ia salah satu penasihat di lembaga pengelola rumah sakit itu.
Rupanya ia masih kepikiran dengan acara ulang tahun pertama Harian Disway. Ia memang salah satu pembicara di Webinar bisnis di masa pandemi. Ia adalah contoh pengusaha yang tetap sibuk di tengah Covid-19. Pembicara lainnya adalah pemilik grup Maspion, Alim ‘’produk-produk Indonesia’’ Markus. Juga pemilik grup Kopi Kapal Api, Soedomo.
Selamat pagi Pak Dahlan, mhn maaf utk acara HUT Disway tgl 2 juli sy tdk bisa ikut krn kemarin sy mendadak masuk RS hasil Swab Pcr sy positif skrg lagi Diinfus dpt kmr di RS Adi husada mhn Doa Bpk semoga tdk ada apa2 xie xie”.
Saya memang sering pakai bahasa Mandarin kalau berhubungan dengannya. Acara itu sendiri sebenarnya sudah dibatalkan. Saya tidak sampai hati mengundang bos-bos besar itu di tengah serangan Covid yang mengganas lagi. Rencana awal, kami berempat berkumpul di satu ruangan di Harian Disway. Lalu pembicaraan itu disiarkan secara live. Rupanya Pak Arief belum membaca pembatalan acara itu. Sampai di RS pun masih kepikiran.
Saya mengira Pak Arief akan baik-baik saja. Ia tahu bagaimana harus menjaga diri. Usaha pokoknya adalah: memproduksi oksigen. Sukses besar. Lalu mulai merambah ke usaha-usaha lain yang masih terkait dengan bidang kesehatan. Yang pasti ia sudah divaksin. Sudah dua kali. Bahkan vaksinasi pertama di Surabaya dilaksanakan di gedung barunya yang megah di Surabaya Timur. Yang dihadiri Menteri Kesehatan Budi Sadikin. Yang istri saya menjadi yang divaksin pertama. Saya belum boleh divaksin saat itu –baru sembuh dari Covid.
Berhari-hari Pak Arief memimpin sendiri ketertiban acara vaksinasi di situ. Agar tidak menjadi klaster penularan. Bahaya. Ribuan orang mendaftar divaksin saat itu. Saya begitu optimistis Pak Arief akan bisa mengatasi sakitnya. Sehari sebelum meninggal pun masih aktif dengan HP-nya. Baru Jumat sore pukul 15.30, saya lihat, dari notifikasi di HP-nya, tidak aktif lagi.
Ternyata saat itulah Pak Arief mulai merasakan sesak napas. Oksigennya turun ke 94. Mulailah dipasang oksigen. Tapi tidak langsung naik. Senja pun terlewati tanpa ada tanda-tanda kadar oksigen lebih baik. Mulailah dibicarakan kemungkinan dimasukkan ICU. Tapi ICU penuh. Di semua rumah sakit. Setalah diusahakan dengan berbagai upaya akhirnya mendapat ICU. Tapi terjadilah ini: jantungnya berhenti. Pukul 21.30 ia meninggal dunia. Ia belum sempat masuk ICU. Begitu cepat. Kurang dari enam jam sejak ia tidak aktif lagi di teleponnya.
Pak Arief memang pebisnis yang sangat sibuk, pun di kala pandemi. Kebutuhan oksigen memang melonjak luar biasa. Normalnya ia senang: dagangannya laris. Tapi Arief berada dalam tekanan yang sangat berat. Ia tahu kalau sampai terjadi krisis oksigen di Indonesia -seperti pernah terjadi di India– ia merasa harus bertanggung jawab. Samator, perusahaan yang ia dirikan, adalah produsen oksigen terbesar di Indonesia. Produksinya 800 juta ton setahun. Pabriknya 48 buah. Di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Ia begitu sering dipanggil rapat. Dalam kaitan ketersediaan oksigen. Ia harus mengawasi agar semua pabriknya bekerja 24 jam tanpa istirahat. Tidak boleh ada mesin yang mati. Tidak boleh ada listrik yang berkedip. Oksigen begitu ditunggu oleh para penderita Covid di rumah sakit di seluruh negara. Arief kelelahan. “Beliau mengeluh ke saya dua hari lalu. Merasa kelelahan,” ujar Soedomo, bos Kapal Api.
Arief mempunyai komorbid: gula darah dan tekanan darah tinggi. Pabrik oksigennya begitu besar. Ia hanya sedikit kekurangan oksigen di dalam darahnya. Tapi Arief sudah membuat sejarah dalam hidupnya: menjadi raja oksigen di Indonesia. Ia membuat Indonesia mandiri di bidang itu. Ia juga baru saja membuat sejarah di bidang bisnis: “kerajaan” Samator Group baru saja selesai dibangun. “Kerajaan” itu terbuat dari beberapa tower dan gedung pertemuan.
Ia masih punya tanah luas di sebelahnya. Untuk proyek berikutnya. Pak Arief juga sedang membangun pabrik baru oksigen yang lebih modern. Hampir jadi. Ia sangat bangga dengan proyek barunya itu. Bukan hanya keluarganya yang kehilangan. Dunia olahraga bolavoli juga sangat kehilangan. Ia adalah pembina voli yang all out. Demikian juga umat Buddha. Ia adalah ketua Permabudhi (Perkumpulan Masyarakat Buddha Indonesia). Ini satu organisasi baru di luar Walubi.
Pak Arief telah membangun puluhan vihara. Dan membantu berbagai organisasi agama. Ucapan bela sungkawa datang dari lintas agama. Salah satu yang datang pertama adalah dari Yaqut Cholil Qoumas, bukan sebagai Menteri Agama, melainkan sebagai Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor, NU. Pak Arief yang baik dan rendah hati itu seperti tokoh dalam puisi: hidup untuk membuat sejarah.***