JAKARTA (RIAUPOS.CO) — KEMENTERIAN Agama (Kemenag) memutuskan tidak mengirim jamaah haji tahun ini. Alasannya keselamatan jamaah dan mepetnya waktu penyelenggaraan haji. Keputusan ini dinilai bijak, namun tidak ideal.
"Meskipun tidak ideal, keputusan ini bijak. Mengedapankan sisi yang teramat penting bagi jamaah," kata pengamat haji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi, Selasa (2/6).
Dadi mengatakan keputusan yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi itu tidak ideal secara eksternal maupun internal. Keputusan itu tidak ideal secara eksternal karena diambil sepihak oleh pemerintah Indonesia. Keputusan itu diambil sebelum pemerintah Arab Saudi memutuskan secara resmi haji tahun ini tetap diselenggarakan atau tidak di tengah wabah Covid-19.
"Idealnya kedua negara memutuskan. Pemerintah Saudi selaku tuan rumah menyampaikan haji tahun ini tidak diselenggarakan, kemudian diikuti kebijakan pemerintah Indonesia," jelasnya.
Meskipun begitu secara regulasi dan kedaulatan, pemerintah Indonesia memiliki kewenangan mutlak apakah mengirim haji atau tidak. Tanpa menunggu dahulu keputusan Arab Saudi selaku tuan rumah. Kemudian Dadi mengatakan keputusan Kemenag itu tidak ideal secara internal. Sebab keputusan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA). Kemenag seharusnya membahas pembatalan ini bersama DPR. Untuk urusan penetapan biaya haji misalnya, ditetapkan bersama antara pemerintah dengan DPR.
Untuk itu wajar jika ada suara negatif dari DPR. Sebab mereka merasa tidak diajak atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan akhir.
"Untuk urusan sepenting ini, urusan regulasi harusnya beres tanpa celah dan rapi," katanya.
Jangan sampai dari aspek regulasi atau aturan tata kenegaraan, ada celah yang bisa diributkan. Misalnya untuk pembatalan ini seharusnya dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan presiden, atau produk hukum lain yang lebih tinggi dari keputusan menteri. Terbitnya KMA Nomor 494/2020 tentang Pembatalan Pemberangkatan Jamaah Haji pada Penyelengaraan Ibadah Haji tahun 1441 H/2020 M menimbulkan reaksi di parlemen. Komisi VIII DPR merasa tidak dilibatkan dalam keputusan yang sangat penting itu.
"Ini adalah keputusan sepihak dari Menteri Agama. DPR tidak dilibatkan," kata Ketua Komisi VIII Yandri Susanto, kemarin.
Berdasar peraturan perundang-undangan, tegas Yandri, seharusnya segala kebijakan yang berhubungan dengan haji dan umrah mesti diputuskan pemerintah bersama DPR. Mulai dari besaran biaya penyelenggaraan haji, anggaran setoran dari calon jamaah hingga jadwal keberangkatan dan pemulangan jamaah. Itu sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
"Semua harus diputuskan bersama DPR. Sebab ini menyangkut ratusan ribu calon jamaah serta konsekuensi dana haji yang telah dibayarkan," paparnya.
Dia menuding Menag Fachrul Razi gegabah karena memutuskan pembatalan haji secara sepihak. Bahkan pihaknya menyebut menteri berlatar belakang militer itu tidak memahami undang-undang.
"Saya nggak tahu Pak Menteri ini ngerti nggak tata aturan bernegara," tegasnya.
Apalagi sejauh ini, sambung Yandri, Indonesia belum mendapat kepastian dari Kerajaan Arab Saudi soal dibolehkan atau tidaknya pemberangkatan calon jamaah haji tahun ini.
"Bagaimana kalau seandainya minggu depan Arab Saudi tiba-tiba membolehkan jamaah haji berangkat. Bagaimana nasib jamaah kita?" ucap politikus PAN itu.
Ketua Dewan Pembina Forum Shilaturahim Asosiasi Travel Haji dan Umrah (SATHU) Fuad Hasan Masyhur berharap dalam waktu dekat Kemenag bisa mengundang para penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) untuk duduk bersama. Tujuannya adalah membahas mitigasi persoalan yang timbul akibat pembatalan haji 2020.
Dia menjelaskan pemerintah bersama PIHK harus duduk bersama untuk menanggulangi masalah yang akan dihadapi para travel haji khusus. Menurut Fuad, banyak travel haji khusus yang teken kontrak dengan layanan haji di Arab Saudi lebih dari satu tahun.
"Kontraknya tidak 1-2 tahun. Tetapi jangka waktu yang panjang. Bahkan ada yang sudah kontrak lima tahun sampai sepuluh tahun," kata Fuad.
Secara khusus mereka memang belum menghitung kerugian. Sebab harus menghitung biaya yang sudah dikeluarkan dari setiap travel. Fuad mengatakan di seluruh Indonesia ada sekitar 350 unit travel yang memberangkatkan jamaah haji khusus. Dia hanya menjelaskan perputaran uang dalam satu musim haji khusus itu mencapai 300 juta dolar AS atau sekitar Rp4,3 triliun.
Fuad mengatakan travel haji khusus tentu memiliki lobi-lobi untuk bisa mendapatkan kuota jamaah haji di luar kuota resmi pemerintah Indonesia. Atau biasa disebut kuota haji furoda atau mujamalah. Namun dia memastikan travel akan mematuhi kebijakan Kemenag untuk tidak memberangkatkan jamaah dengan visa di luar kuota resmi pemerintah itu.
Jamaah yang sudah melunasi biaya haji tahun ini, dapat mengambil uang pelunasan. Tetapi sebagian jamaah memilih tidak mengambilnya. Sebab mereka tidak mau repot dan sudah berniat uang itu untuk berhaji. Di antaranya disampaikan oleh Syafriwani, jamaah asal Medan, Sumatera Utara. Dia mengaku membayar uang pelunasan sekitar Rp8,6 juta.
"Saya sudah ikhlas. Berangkat atau tidak itu kehendak Allah," katanya.
Selama menunggu setahun ke depan, dia akan memperdalam manasik haji. Dia akan memperbanyak membaca buku atau tayangan tentang manasik haji. Supaya lebih siap melaksanakan ibadah haji tahun depan.(wan/mar/lum/byu/han/agf/ted)
>>Selengkapnya Baca Koran Riau Pos Edisi 03 Juni 2020