JAKARTA (RIAUPOS.CO) – SEMESTER dua tahun ajaran 2021/2022 dimulai hari ini (3/1). Kapasitas pembelajaran tatap muka (PTM) pun dibolehkan 100 persen dengan sejumlah catatan. Di antaranya, sekolah berada di daerah dengan kategori PPKM level 1-2. Kemudian, vaksinasi Covid-19 dosis lengkap untuk pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) sudah di atas 80 persen. Termasuk, vaksinasi Covid-19 dosis 2 pada lansia sudah mencapai lebih dari 50 persen.
Tapi, menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim syarat tersebut masih kurang. Harusnya, ada syarat vaksinasi anak di dalam ketentuan tersebut. Pasalnya, anak juga berisiko tertular dan menularkan ketika PTM digelar. Karenanya, pihaknya tetap mendesak pemerintah daerah (pemda) agar memenuhi syarat minimal vaksinasi anak 80 persen sebelum PTM 100 persen.
"Kalau vaksinasi guru dan siswa minimal sudah 80 persen, tidak apa-apa dibuka 100 persen kapasitasnya. Kalau belum jangan," tegasnya saat dihubungi, kemarin (2/1).
Dalam kondisi tersebut, lanjut dia, PTM terbatas baiknya dibuka bertahap. Sekolah bisa melakukan PTM terbatas dengan kuota maksimal 50 persen selama dua minggu awal. Kemudian, dilakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan. Bila protokol kesehatan (prokes) bisa berjalan dengan baik dan tak ditemukan kasus penularan Covid-19 maka kuota bisa dinaikkan menjadi 75 persen. Begitu seterusnya hingga 100 persen. Terlebih untuk jenjang sekolah dasar (SD). Di mana, vaksinasi Covid-19 masih cukup lambat.
Strategi ini juga digunakan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Di SMA Labschool Rawamangun tempatnya mengajar pun demikian. Hari pertama semester dua, PTM tidak 100 persen. Kelas X dan XI hanya dibolehkan maksimal 50 persen. Kuota 100 persen hanya diperuntukkan bagi kelas XII yang akan segera menghadapi ujian sekolah. "Jadi sekolah tidak dibuka 100 persen mulai dari besok (hari ini, red),"ungkapnya.
Diakuinya, dalam SKB empat menteri terbaru mengenai pembelajaran di masa pandemi Covid-19 banyak memberikan kelonggaran. Selain urusan kuota, juga soal lama pembelajaran di sekolah. Di mana sebelumnya maksimal hanya empat jam sehari diganti menjadi enam jam sehari. Artinya, siswa bakal lebih lama berada di sekolah. Sehingga, prokes harus betul-betul ditegakkan. Di mana, sebelumnya banyak sekali pelanggaran yang ditemukan P2G selama semester ganjil tahun lalu.
Penggunaan masker sangat rendah, terutama sepulang sekolah. belum lagi durasi belajar anak yang lebih dari empat jam sehari. Pelanggaran-pelanggaran tersebut ditemukan antara lain di daerah Cilegon, Bengkulu, Situbondo, Mojokerto, dan lainnya. Dia menilai, hal ini bisa saja kembali terulang. Mengingat dari SKB-SKB sebelumnya pun pengawasan sangat lemah baik dari pemerintah pusat maupun pemda. Tak ada ketegasan mengenai sanksi yang bisa memberi efek jera.
Oleh sebab itu, dia mendorong Kementerian pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengevaluasi hasil PTM terbatas 100 persen di bulan pertama. Terlebih, saat ini sudah terdeteksi adanya transmisi lokal dari varian Omicron.
Dia juga meminta satgas Covid-19 daerah untuk rajin melaksanakan sidak ke sekolah, terutama kantin. Dalam SKB, kantin memang belum dibolehkan dibuka. Namun, melihat kuota 100 persen yang digemborkan, bisa dipastikan kantin atau penjual di luar gerbang akan penuh. Sehingga risiko pelanggaran prokes pun sangat besar. Karenanya, perlu pengawasan ketat.
"Apalagi kan dulu PTM opsional. Orang tua yang menentukan. Sekarang semua wajib PTM. Jadi keselamatan siswa dan guru harus jadi perhatian utama," tegasnya.
Syarat vaksinasi anak untuk PTM terbatas ini pun selaras dengan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) terbaru. Yang mana, anak yang dapat masuk sekolah adalah anak yang sudah diimunisasi Covid-19 lengkap 2 kali dan tanpa komorbid. Sementara, untuk kategori anak usia 6-11 tahun, PTM dapat dilakukan metode hybrid dalam kondisi tidak adanya peningkatan kasus Covid-19 dan tidak adanya transmisi lokal Omicron di daerah tersebut. Jika sebaliknya, luring dapat dilakukan dengan kapasitas maksimal 50 persen tapi hanya di outdoor. Misal, halaman sekolah, taman, pusat olahraga, atau ruang publik terpadu ramah anak.
Kemudian, untuk kategori anak usia 12-18 tahun, PTM 100 persen dapat dilakukan bila tidak adanya peningkatan kasus Covid-19 di daerah tersebut dan tidak adanya transmisi lokal Omicron di daerah tersebut. Akan tetapi, bila masih ditemukan kasus Covid-19 dengan positivity rate di bawah 8 persen, ditemukan transmisi lokal Omicron yang masih dapat dikendalikan, lalu anak, guru, dan petugas sekolah sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 100 persen maka pembelajaran harus hybrid. Di mana, 50 persen luring, 50 persen daring.
"Untuk kategori anak usia di bawah 6 tahun, sekolah pembelajaran tatap muka belum dianjurkan sampai dinyatakan tidak ada kasus baru Covid-19 atau tidak ada peningkatan kasus baru," tegas Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso.
Menurutnya, sekolah dapat memberikan pembelajaran sinkronisasi dan asinkronisasi dengan metode daring dan mengaktifkan keterlibatan orangtua di rumah dalam kegiatan outdoor atar luar ruang. Sekolah dan orang tua dapat melakukan kegiatan kreatif seperti mengaktifkan permainan daerah di rumah, melakukan pembelajaran outdoor mandiri di tempat terbuka masing-masing keluarga dengan modul yang diarahkan sekolah, dan lainnya.
Selain itu, bagi sekolah yang melaksanakan PTM tetap harus patuh pada protokol kesehatan. Terutama fokus pada penggunaan masker wajib untuk semua orang yang ada di lingkungan sekolah, ketersediaan fasilitas cuci tangan, kenjaga jarak, tidak makan bersamaan, memastikan sirkulasi udara terjaga. Kemudian, mengaktifkan sistem penapisan aktif per harinya untuk anak, guru, petugas sekolah dan keluarganya yang memiliki gejala suspek Covid-19.
Piprim menegaskan, rekomendasi terbaru ini dirilis dengan mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya, mengenai risiko kenaikan kasus Covid-19 usai libur panjang. Selain itu, sudah ditemukan varian Omicron di Indonesia, yang juga ditambah dengan data bahwa terjadi peningkatan kasus Covid-19 pda anak di negara lain seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Afrika. Yang mana, sebagian besar kasus anak yang sakit adalah anak yang belum mendapat imunisasi Covid-19.(mia/jpg)
Laporan JPG, Jakarta