JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Mayoritas negara maju pusing. Penduduknya enggan punya momongan. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan populasi.
Pemerintah Korea Selatan (Korsel) sudah menghabiskan duit miliaran dolar AS untuk mendanai tempat penitipan bayi dan anak-anak gratis. Dengan begitu, orang tua yang bekerja tak perlu waswas untuk punya anak.
Orang tua juga berhak untuk mengajukan cuti merawat anak selama setahun dan disubsidi. Pemko Seoul bahkan memberikan insentif khusus sebesar KRW 100 ribu (Rp1,2 juta) per satu kelahiran. Semua cara itu, tampaknya, tak mempan.
"Angka kelahiran terus turun karena berbagai alasan seperti menunda pernikahan, pendidikan tinggi, biaya perumahan, dan tingginya angka pemuda yang menganggur," terang ekonom di Eugene Investment & Securities Lee Sang-jae.
Di beberapa kampus sampai ada mata kuliah untuk berlatih kencan. Mereka diajari bagaimana cara merayu, keluar untuk kencan, berciuman, hingga berhubungan badan. Sebagian kecil berhasil. Yang lain tidak.
Sebagai negara tetangga, Jepang punya masalah yang sama. Dua negara serumpun itu juga punya kebijakan serupa, yaitu tak mau menerima imigran. Jepang mengampanyekan untuk mengurangi jam kerja hingga menambah insentif untuk cuti paternal.
Pemerintah Kota Nagi, Prefektur Okayama, menggunakan insentif untuk mendongkrak populasi. Sejak 2014, mereka memberikan uang tunai kepada pasangan yang punya anak. JPY 100 ribu (Rp13,4 juta) untuk anak pertama, JPY 150 ribu (Rp20,06 juta) untuk anak kedua, dan JPY 400 ribu (Rp53,5 juta) untuk anak kelima.
Tak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan vaksinasi gratis, subsidi pembelian rumah, dan pengurangan biaya sekolah, serta penitipan anak. Imbasnya, angka kelahiran di kota pertanian itu melonjak. Pada 2005, angkanya hanya 1,4. Tetapi, pada 2014 ke atas, mencapai 2,8. Nagi tak lagi menjadi kota sepi.
Tak semua sesukses Nagi tentu saja. Desa Nagoro menjadi contoh nyata bom waktu demografi di Jepang. Di desa tersebut tidak ada anak-anak. Sekolah terakhir yang masih beroperasi tutup pada 2012. Penduduk kota itu hanya 27 orang dan yang termuda berusia 55 tahun.
Penduduk yang masih muda pindah ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di wilayah pedesaan, pekerjaan memang sulit didapatkan. Penduduk yang tersisa membuat boneka seukuran manusia dan meletakkannya di berbagai lokasi. Semua dilakukan agar desa tersebut terlihat ramai lagi.
"Saya rasa kota lain juga mengalami hal ini. Kami harus menghadapi populasi yang menurun maupun menua," ujar Tsukimi Ayano, salah seorang penduduk di Nagi.
Sumber : Jawapos.co
Editor : Rinaldi