Jumat, 22 November 2024

Kehidupan Syafrudin, Terdakwa Karhutla Pasca-Divonis Bebas

- Advertisement -

RUMBAI (RIAUPOS.CO) — Pria paruh baya itu mengenakan kaos dalam putih dan peci haji saat ditemui di rumahnya di Jalan Yos Sudarso, Rumbai, Sabtu (8/2) siang. Sejak keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) Sialang Bungkuk, kakek berusia  69 tahun  ini belum lagi mau pergi ke kebunnya.

“Sejak divonis bebas pada 4 Februari lalu dan keluar tahanan pada 5 Februari, hingga sekarang saya belum ada ke sana (kebun, red). Masih trauma,” cerita Syafrudin kepada Riau Pos.

- Advertisement -

Tak hanya masih trauma, bapak enam anak ini juga mengaku pikirannya masih dihantui rasa takut. Pasalnya, ia mendapat kabar kalau jaksa penuntut akan melakukan banding atas vonis hakim yang Masih Trauma dan Takut Jika Jaksa Banding membebaskannya.

"Saya belum tenang betul. Masih risau. Karena katanya jaksa mau ajukan banding. Jadi status saya juga bingung. Ntah masuk lagi, ntah apalah. Tak mau saya dipenjara lagi," sebutnya lirih.

Kekhawatiran itu terlihat jelas dari raut wajahnya yang masih cemas. Sorot matanya jauh menatap ke depan tapi kosong. Sesekali, matanya tampak berkaca-kaca. Air matanya tak sempat jatuh ke pipi karena ia langsung menyeka matanya dengan tangan. Tapi, suaranya tak dapat menyembunyikan kerisauan harinya. Parau.

- Advertisement -

Syafrudin harus berhadapan dengan hukum atas kasus pembakaran hutan dan lahan (karhutla).  Saat itu ia didakwa karena melakukan pembakaran di lahan kebun palawija yang digarapnya, di simpang ringroad. Sebelah kanan dari pusat Kota Pekanbaru, persis sebelum tol Pekanbaru-Dumai. Api membakar lahan seluas 20×20 meter persegi. Syafruddin pun menjadi terdakwa.

Kasusnya semakin mendapat perhatian setelah jaksa penuntut umum (JPU) menuntutnya dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Kakek Syafrudin, begitu biasa ia disapa menceritakan kembali ihwal ditangkapnya dirinya oleh aparat kepolisian. Saat Kakek Syafrudin menceritakan kisahnya, suara alat berat pembuatan jalan tol begitu jelas terdengar. Rumahnya kakek memang berada di kawasan jalan lintas Pekanbaru-Minas.

"Waktu itu yang saya bakar pada 16 Maret 2019 dari hasil dari bersih-bersih kebun. Tanah itu dalam keadaan basah. Lalu mati sendiri selama dua jam. Kebun itu sudah saya garap sejak 1993. Pada umumnya orang membersihkan pasti dibakar, bisa untuk pupuk juga. Semua deretan yang ada di sini, cara bersihkannya dengan cara dibakar," terangnya sambil menunjukkan lahan di sekitar rumahnya.

Baca Juga:  Pemerintah Kecamatan Bukit Raya Akan Terbitkan Buku Tenun Siak

Kakek tua itu kembali melanjutkan. Ia terkejutnya saat dipanggil Bhabinkamtibmas lalu dibawa ke Kantor Polsek Rumbai. "Karena orang kampung banyak ke sana, saya dilarikan ke Polresta dan ditahan selama enam hari. Karena orang banyak turun juga, saya dibebaskan tapi harus wajib lapor. Dua kali seminggu selama tiga bulan," sebutnya.

Setelah itu, ia pun disuruh wajib lapor sepekan sekali sampai Oktober. Dengan menggunakan angkot ia pergi seorang diri ke Mapolresta. Tanpa diberi tahu apa yang terjadi, pada 2 Oktober 2019, ia dibawa polisi ke kejaksaan lalu Rutan Sialang Bungkuk.

"Waktu di Polresta disuruh menandatangi berkas-berkas, lalu dibawa ke kejaksaan dan diantar ke (Rutan, red) Sialang Bungkuk. Orang rumah pun kecarian," tukasnya.

Setibanya di Rutan Sialang Bungkuk, ia harus masuk ke ruang transit yang diisi sebanyak 60 orang. Dari berbagai latar belakang kasus katanya. "Waktu masuk dalam tahanan ngeri lah. Ruangan yang tak seberapa itu diisi 60 orang. Panas, pengap. Ada sekitar satu minggu di ruang itu kemudian dipindah ke kamar," ulasnya.

Pemindahan ke kamar-kamar itu ketika sudah ada yang mulai keluar. Tak banyak. Paling lima hingga tujuh orang. Namun, saat ia pindah ada 18 orang dan dibagi ke kamar-kamar yang kosong.

Di dalam ruang itu terdiri dari dua kamar mandi lengkap toilet. Tempat tidur dari perlak. Ada yang di lantai dan tingkat. Mulanya sang Kakek di tempat tidur tingkat, namun karena faktor usia dan sakit asam urat, meminta tukar dengan temannya. Dan tidur di bawah.

"Kalau soal makan, semua kesulitan. Nasi putih dan goreng ikan asin satu biji. Sehari tiga kali. Tak pakai cabai. Empat hari sekali pakai telur," ucapnya.

Untuk bisa keluar kamar, di pagi Ahad dan tanggal merah serta di hari Senin pukul 08.15 WIB. Bagi yang tidak salat, di pukul 09.30 WIB masuk ke ruangan. Namun jika tahanan melakukan ibadah seperti ngaji maupun salat, maka usai Zuhur baru masuk ke tahanan. Di kunci. Saat ashar dibuka lagi. Hanya berlaku hari itu. Begitu juga saat hari Jumat.

Baca Juga:  Sharing dengan Pemprov Riau Overlay Jalan Rusak Berat

"Saya kalau ke luar, pergi salat dan ngaji-ngaji. Bareng dengan ketua kami yang kasus curanmor. Dipanggil Pak Udang. Sementara untuk hari lainnya salat di dalam kamar masing-masing. Jika waktunya tiba, bagi yang salat ya menjalankan sholat. Kalau pas Subuh yang belum bangun harus bergeser. Jamaah," ucapnya.

Diceritakannya, dalam satu kamar itu, banyak kasus. Mulai dari jambret, rampok, curanmor dan lainnya. "Kalau biaya hidup di dalam mahal. Satu mi instan seharga Rp5 ribu, belum dimasak. Jadi kalau kelaparan makan itu. Untuk setiap pekannya iuran Rp15 ribu dan diberi ke ketua kamar," ungkapnya.

Iuran itu katanya, untuk beli minum atau pun jajan. Uang itu didapat dari keluarganya yang menjenguk. Kakek biasa dijenguk keluarganya dua kali dalam sepekan.

"Kalau yang tak iuran, dia yang cuci piring. Biasanya mereka yang kasus jambret (tiga orang, red) yang cuci piring. Kami menyebutnya anak hilang, karena tak dijenguk orang rumah. Malu orang jenguk," sebutnya.

Usai bercerita panjang lebar, ia menanyakan dimana pembakar lahan dari perusahaan ratusan hektare yang waktu itu heboh di tv? "Tidak ada saya cari-cari di sana," tukasnya.

Dalam satu kamar selama ia ditahan, baru dirinyalah yang keluar dari sel untuk mencoba menghirup udara segar yang masih dihantui apakah jaksa akan melakukan banding. Sedangkan dua temannya dari Palas dengan kasus sama yang berada di kamar C16 dan C22 belum keluar. Terakhir, nasib ketua kamarnya akan bebas di tahun 2021.

Terpisah, pengacara Kakek Syafrudin dari LBH Pekanbaru Andi Wijaya mengatakan, sejak keluarnya Kakek belum ada menerima surat pengajuan dari jaksa penuntut umum (JPU).

"Kami belum menerima surat dari pengadilan terkait upaya hukum lain dari JPU. Semoga tidak ada. Meskipun nantinya ada, kami akan terus mengawal mendampingi," sebutnya secara gamblang.***

Laporan: SOFIAH

RUMBAI (RIAUPOS.CO) — Pria paruh baya itu mengenakan kaos dalam putih dan peci haji saat ditemui di rumahnya di Jalan Yos Sudarso, Rumbai, Sabtu (8/2) siang. Sejak keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) Sialang Bungkuk, kakek berusia  69 tahun  ini belum lagi mau pergi ke kebunnya.

“Sejak divonis bebas pada 4 Februari lalu dan keluar tahanan pada 5 Februari, hingga sekarang saya belum ada ke sana (kebun, red). Masih trauma,” cerita Syafrudin kepada Riau Pos.

- Advertisement -

Tak hanya masih trauma, bapak enam anak ini juga mengaku pikirannya masih dihantui rasa takut. Pasalnya, ia mendapat kabar kalau jaksa penuntut akan melakukan banding atas vonis hakim yang Masih Trauma dan Takut Jika Jaksa Banding membebaskannya.

"Saya belum tenang betul. Masih risau. Karena katanya jaksa mau ajukan banding. Jadi status saya juga bingung. Ntah masuk lagi, ntah apalah. Tak mau saya dipenjara lagi," sebutnya lirih.

- Advertisement -

Kekhawatiran itu terlihat jelas dari raut wajahnya yang masih cemas. Sorot matanya jauh menatap ke depan tapi kosong. Sesekali, matanya tampak berkaca-kaca. Air matanya tak sempat jatuh ke pipi karena ia langsung menyeka matanya dengan tangan. Tapi, suaranya tak dapat menyembunyikan kerisauan harinya. Parau.

Syafrudin harus berhadapan dengan hukum atas kasus pembakaran hutan dan lahan (karhutla).  Saat itu ia didakwa karena melakukan pembakaran di lahan kebun palawija yang digarapnya, di simpang ringroad. Sebelah kanan dari pusat Kota Pekanbaru, persis sebelum tol Pekanbaru-Dumai. Api membakar lahan seluas 20×20 meter persegi. Syafruddin pun menjadi terdakwa.

Kasusnya semakin mendapat perhatian setelah jaksa penuntut umum (JPU) menuntutnya dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Kakek Syafrudin, begitu biasa ia disapa menceritakan kembali ihwal ditangkapnya dirinya oleh aparat kepolisian. Saat Kakek Syafrudin menceritakan kisahnya, suara alat berat pembuatan jalan tol begitu jelas terdengar. Rumahnya kakek memang berada di kawasan jalan lintas Pekanbaru-Minas.

"Waktu itu yang saya bakar pada 16 Maret 2019 dari hasil dari bersih-bersih kebun. Tanah itu dalam keadaan basah. Lalu mati sendiri selama dua jam. Kebun itu sudah saya garap sejak 1993. Pada umumnya orang membersihkan pasti dibakar, bisa untuk pupuk juga. Semua deretan yang ada di sini, cara bersihkannya dengan cara dibakar," terangnya sambil menunjukkan lahan di sekitar rumahnya.

Baca Juga:  Pemko Pekanbaru Diminta Fokus Pulihkan Ekonomi Rakyat

Kakek tua itu kembali melanjutkan. Ia terkejutnya saat dipanggil Bhabinkamtibmas lalu dibawa ke Kantor Polsek Rumbai. "Karena orang kampung banyak ke sana, saya dilarikan ke Polresta dan ditahan selama enam hari. Karena orang banyak turun juga, saya dibebaskan tapi harus wajib lapor. Dua kali seminggu selama tiga bulan," sebutnya.

Setelah itu, ia pun disuruh wajib lapor sepekan sekali sampai Oktober. Dengan menggunakan angkot ia pergi seorang diri ke Mapolresta. Tanpa diberi tahu apa yang terjadi, pada 2 Oktober 2019, ia dibawa polisi ke kejaksaan lalu Rutan Sialang Bungkuk.

"Waktu di Polresta disuruh menandatangi berkas-berkas, lalu dibawa ke kejaksaan dan diantar ke (Rutan, red) Sialang Bungkuk. Orang rumah pun kecarian," tukasnya.

Setibanya di Rutan Sialang Bungkuk, ia harus masuk ke ruang transit yang diisi sebanyak 60 orang. Dari berbagai latar belakang kasus katanya. "Waktu masuk dalam tahanan ngeri lah. Ruangan yang tak seberapa itu diisi 60 orang. Panas, pengap. Ada sekitar satu minggu di ruang itu kemudian dipindah ke kamar," ulasnya.

Pemindahan ke kamar-kamar itu ketika sudah ada yang mulai keluar. Tak banyak. Paling lima hingga tujuh orang. Namun, saat ia pindah ada 18 orang dan dibagi ke kamar-kamar yang kosong.

Di dalam ruang itu terdiri dari dua kamar mandi lengkap toilet. Tempat tidur dari perlak. Ada yang di lantai dan tingkat. Mulanya sang Kakek di tempat tidur tingkat, namun karena faktor usia dan sakit asam urat, meminta tukar dengan temannya. Dan tidur di bawah.

"Kalau soal makan, semua kesulitan. Nasi putih dan goreng ikan asin satu biji. Sehari tiga kali. Tak pakai cabai. Empat hari sekali pakai telur," ucapnya.

Untuk bisa keluar kamar, di pagi Ahad dan tanggal merah serta di hari Senin pukul 08.15 WIB. Bagi yang tidak salat, di pukul 09.30 WIB masuk ke ruangan. Namun jika tahanan melakukan ibadah seperti ngaji maupun salat, maka usai Zuhur baru masuk ke tahanan. Di kunci. Saat ashar dibuka lagi. Hanya berlaku hari itu. Begitu juga saat hari Jumat.

Baca Juga:  Sharing dengan Pemprov Riau Overlay Jalan Rusak Berat

"Saya kalau ke luar, pergi salat dan ngaji-ngaji. Bareng dengan ketua kami yang kasus curanmor. Dipanggil Pak Udang. Sementara untuk hari lainnya salat di dalam kamar masing-masing. Jika waktunya tiba, bagi yang salat ya menjalankan sholat. Kalau pas Subuh yang belum bangun harus bergeser. Jamaah," ucapnya.

Diceritakannya, dalam satu kamar itu, banyak kasus. Mulai dari jambret, rampok, curanmor dan lainnya. "Kalau biaya hidup di dalam mahal. Satu mi instan seharga Rp5 ribu, belum dimasak. Jadi kalau kelaparan makan itu. Untuk setiap pekannya iuran Rp15 ribu dan diberi ke ketua kamar," ungkapnya.

Iuran itu katanya, untuk beli minum atau pun jajan. Uang itu didapat dari keluarganya yang menjenguk. Kakek biasa dijenguk keluarganya dua kali dalam sepekan.

"Kalau yang tak iuran, dia yang cuci piring. Biasanya mereka yang kasus jambret (tiga orang, red) yang cuci piring. Kami menyebutnya anak hilang, karena tak dijenguk orang rumah. Malu orang jenguk," sebutnya.

Usai bercerita panjang lebar, ia menanyakan dimana pembakar lahan dari perusahaan ratusan hektare yang waktu itu heboh di tv? "Tidak ada saya cari-cari di sana," tukasnya.

Dalam satu kamar selama ia ditahan, baru dirinyalah yang keluar dari sel untuk mencoba menghirup udara segar yang masih dihantui apakah jaksa akan melakukan banding. Sedangkan dua temannya dari Palas dengan kasus sama yang berada di kamar C16 dan C22 belum keluar. Terakhir, nasib ketua kamarnya akan bebas di tahun 2021.

Terpisah, pengacara Kakek Syafrudin dari LBH Pekanbaru Andi Wijaya mengatakan, sejak keluarnya Kakek belum ada menerima surat pengajuan dari jaksa penuntut umum (JPU).

"Kami belum menerima surat dari pengadilan terkait upaya hukum lain dari JPU. Semoga tidak ada. Meskipun nantinya ada, kami akan terus mengawal mendampingi," sebutnya secara gamblang.***

Laporan: SOFIAH

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari