PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Sejumlah petani masih mengeluhkan harga jual tandan buah segar (TBS) sawit sampai saat ini masih stagnan dan belum ada kenaikan. Hal ini mendatangkan efek domino tersendiri, khususnya bagi perekonomian di Bumi Lancang Kuning.
Menanggapi persoalan itu, Wakil Ketua DPRD Riau Agung Nugroho meminta Pemerintah Provinsi Riau untuk segera memanggil pemilik Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang beroperasi di Riau. Dia meminta agar pemprov dapat menyatukan persepsi dengan para pengusaha PKS untuk menjaga stabilitas harga jual sawit petani. Bila dibiarkan berlarut, ia khawatir akan berpengaruh terhadap perputaran ekonomi.
"Kita baru tumbuh. Maka sudah sepatutnya kita jaga perputaran ekonomi kita. Saya mengimbau pemprov supaya langsung kumpulkan para pengusaha PKS untuk menyatukan presepsi. Kenapa meski kebijakan larangan ekspor CPO dianulir, harga beli sawit ke petani masih rendah," ungkap Agung, Ahad (8/5).
Diberitakan sebelumnya, anjloknya harga kelapa sawit di sejumlah daerah membuat kalangan petani menjerit. Pasalnya, penurunan harga cukup signifikan dan tiap Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mematok harga berbeda dari kalangan petani. Beberapa waktu lalu, Anggota Komisi II DPRD Riau Sugianto yang membidangi perkebunan juga telah meminta pemerintah provinsi agar tegas terhadap PKS nakal.
"Contohnya sekarang saja mereka sudah menurunkan harga sesuka hatinya. Padahal aturan pemprov punya harga Disbun yang disepakati seluruh pihak di mana tiap Selasa pergantian harganya. Itu saja tak diindahkan oleh para pemilik pabrik," ucap Sugianto.
Karenanya, politikus PKB ini meminta Pemprov Riau tegas dan bila perlu mencabut izin operasional pabrik kelapa sawit jika terbukti melanggar. Sebab, menurut Sugianto, penetapan harga memang harus diimbangi dengan operasi pasar. Seandainya pabrik tak menerima TBS masyarakat, maka wajib dicabut perizinannya atau diambil alih BUMD, supaya masyarakat sejahtera.
"Kalaupun untuk menetralkan harga minyak goreng kan tinggal ngatur kuotanya. Untuk ekspor sekian, kuota untuk minyak goreng sekian. Harganya stabil tidak mengurangi harga komoditas sawit sendiri. Ini harus dikaji ulang karena di Indonesia, perkebunan rakyat dengan perkebunan perusahaan itu 50:50," jelasnya.
Ia juga menganjurkan agar pemerintah mengalihfungsikan subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diterima perusahaan kepada masyarakat. "Misalnya masyarakat dibikinkan koperasi pabrik yang dikelola BUMD, dibuat tanki timbun. Itu bisa menstabilkan harga nasioanal, dikasih ruang untuk ekspor dan refinery juga. Petani bisa jadi swakelola. Subsidi itu juga bisa dialihkan ke pupuk petani. Entah itu subsidi harga atau pupuk gratis," ujarnya.
Ia meyakini, perputaran ekonomi yang baik di satu daerah bukan pada perusahaan, tapi perkebunan masyarakat. Ia mencontohkan imbas tertangkapnya salah satu persuahaan sawit baru-baru ini, tidak begitu berpengaruh bagi masyarakat Riau.(nda)