Mencari kayu jalur, tidaklah sembarangan. Ada syarat yang mesti dilewati. Lalu, apa saja syarat itu? Jika tidak terpenuhi, apa mudaratnya?
RIAUPOS.CO – ADALAH menjadi biasa jika masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) berselisih paham saat rapat mencari kayu jalur. Mulai dari pemilihan jenis kayu hingga bagaimana posisi kayu jalur saat tumbuh. Termasuk, apakah ada banih (telapak) di pangkal pohon.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Kuansing, pohon kayu yang baik untuk jalur itu adalah pohon kayu yang di bagian bawahnya terdapat akar yang biasa disebut banih. Biasanya, kayu yang punya banih tidak berlubang.
Namun, sebelum pencarian kayu jalur, masyarakat akan mengadakan rapat desa terlebih dahulu. Rapat desa ini menentukan tukang jalur, kayu jalur, dan lokasi kayu jalur.
Setelah menentukan semuanya, maka akan dicari dukun atau orang tua jalur saat penebangan kayu jalur. Fungsi orang tua jalur saat penebangan adalah untuk minta izin kepada penunggu kayu. Karena, sebagian masyarakat masih ada kepercayaan bahwa setiap kayu besar ada penunggu.
Bahkan, beberapa tahun yang lalu, banyak juga masyarakat yang meninggalkan hewan seperti ayam di lokasi penebangan kayu jalur. Tujuannya, untuk pengganti pohon kayu yang diambi masyarakat. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kepercayaan itu sudah mulai hilang.
Menurut salah seorang dukun atau orang tua jalur bernama Isal kepada Riau Pos, Sabtu (27/4/2024) menyebutkan bahwa masih banyak masyarakat yang percaya dengan mistik saat proses pembuatan jalur hingga acara perlombaan di arena.
Setelah kayu jalur ditebang, kata Isal, akan dilanjutkan dengan membawa kayu jalur tersebut. Kalau 5 tahun belakangan, untuk membawa kayu jalur dari hutan dilakukan dengan cara gotong royong. Namun, belakangan ini, masyarakat lebih memilih membawa kayu dengan menggunakan alat berat.
“Kalau sekarang, masyarakat lebih gampang. Hanya mencarikan dana untuk biaya alat berat. Kayu tersebut akan sampai ke kampung halaman. Biasanya, tukang jalur akan mengerjakan jalur di kampung,” kata Isal.
Setelah pengerjaan pembuatan jalur selesai, akan dilakukan proses pelayuran jalur untuk membentuk fisik jalur supaya lebih rapi. Setelah itu baru dilakukan pemasangan tempat duduk pemacu.
“Jalur tersebut dibakar supaya lebih gampang untuk membentuk ruang jalur supaya terlihat indah. Biasanya, saat proses melayur jalur, masyarakat juga melaksanakan penggalangan dana,” kata Isal.
Seperti diketahui, biaya pembuatan jalur dari awal hingga jalur selesai mencapai Rp120 juta. Biaya ini belum termasuk untuk pelaksanaan pacu jalur di setiap rayon yang diikuti. Jika melihat rata-rata biaya dalam satu arena, untuk satu jalur akan menghabiskan dana sebesar Rp7 juta selama tiga hari.
Kembali ke masalah mistik jalur. Bagi masyarat Kuansing, jalur merupakan sesuatu yang sakral. Tidak sembarangan dalam menjaga jalur. Apalagi menjelang mendekati hari H pacu jalur. Biasanya, sepekan menjelang hari H, jalur tersebut dijaga oleh masyarakat dengan mendirikan tenda di pinggir Sungai Kuantan.
“Iya. Ini hampir semua jalur melakukan hal ini. Kalau orang Kuansing biasa menyebut mainga jalur. Jalur ini dikasih lampu dan dijaga oleh masyarakat. Nah, tiga hari menjelang hari H pacu jalur, orang tua jalur akan disibukkan mencari hari dan waktu yang baik untuk mengantar jalur ke arena,” kata Isal.
Isal menerangkan, pencarian langkah untuk mengantar jalur ke arena tersebut bertujuan supaya mendapatkan rezeki dan keselamatan bagi masyarakat dan anak pacu.
“Kalau mencari langkah ini, saya lebih kepada hari dan waktu yang baik. Karena, saat berpacu, kita kan mencari rezeki biar mendapat juara,” kata Isal.
Ketika ditanya, apakah fungsi orang tua jalur bisa melajukan jalur? Isal menjawab bahwa tidak ada dukun atau orang tua jalur yang bisa melajukan jalur.
“Yang melajukan jalur itu, ya anak pacu. Bukan orang tua jalur. Keberadaan orang tua jalur saat ini masih menjadi kepercayaan bagi kebanyakan masyarakat. Yang kebanyakan dilakukan orang tua jalur selama ini adalah bagaimana mendoakan anak pacu supaya selamat,” kata Isal.
Pantauan Riau Pos di setiap arena, masih ditemukan adanya orang tua jalur yang membacakan “mantera” di haluan jalur saat akan menuju pancang start. Bahkan masih ada sebagian orang tua jalur yang membakar kemenyan sebelum jalur berangkat.
“Iya. Bisa jadi. Karena ini bagian dari kepercayaan masing-masing orang tua jalur. Setahu saya, setiap orang tua jalur tidak ada yang berniat mencelakai lawan. Mereka hanya berdoa untuk keselamatan anak pacunya masing-masing. Kalau dulu-dulu, mungkin ada orang tua jalur yang uji coba ilmu. Tapi sekarang saya rasa tidak ada lagi,” terang Isal.
Begitu juga dengan saat pencabutan undian. Seorang pencabutan undian, harus memberitahu kepada orang tua jalur waktu keberangkatan. Orang tua jalur akan mencari waktu yang baik untuk bertolak dari rumah.
Jadi, tidak heran, jika ada seorang pencabut undian yang bertolak dari rumahnya setelah Salat Subuh. Padahal, acara pencabutan undian akan dilaksanakan pada pukul 13:30 WIB.
Beberapa waktu lalu, Ustaz Abdul Somad saat berceramah di Kabupaten Kuansing sempat ditanya oleh jemaah tentang hukum pacu jalur. Sebab, prosesi pacu jalur dinilai sebagian orang lebih banyak haramnya.
“Sebetulnya, budaya pacu jalur ini tidak ada haramnya. Justru, budaya pacu jalur ini bagus. Yang haram itu, seluruh anak pacu mengumpulkan uamg, setelah itu bertanding, maka ini menjadi haram. Kalau uang hadiahnya dari Pemkab dan APBD, maka ini tidak haram. Kecuali yang mendatangkan dukun dengan mantra-mantranya. Cukup dengan bismilah,” kata Ustaz Abdul Somad.
Bagi masyarakat, pacu jalur merupakan pesta rakyat Kuansing yang tidak akan pernah hilang. Sebab, dengan acara pacu jalur, masyarakat akan lebih kompak dan saling mengenal.
Seperti yang disampaikan Bupati Kuansing, Dr H Suhardiman Amby Ak MM beberapa waktu lalu, bahwa budaya pacu jalur selama ini mampu mempersatukan masyarakat Kuansing. Selain perlombaan, pacu jalur juga ajang silaturahmi antardesa. Seluruh masyarakat desa berkumpul di Tepian Narosa.
“Pacu jalur merupakan ikon Kabupaten Kuansing. Kini, pacu jalur masuk urutan ke-7 Kharisma Event Nusantara. Pacu jalur sudah menjadi perhatian tingkat nasional dan mancanegara. Ini merupakan momen awal kita untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” kata Suhardiman Amby.
Dengan berkunjungnya puluhan ribu orang ke Kuansing, sebut Suhardiman Amby, maka akan memberikan keuntungan bagi daerah dan masyarakat Kuansing.
“Keinginan kami adalah, bagaimana pacu jalur ini bisa menjadi pariwisata kelas dunia. Sehingga, turis dari luar negeri menjadikan Kuansing salah satu tujuan wisata setiap tahunya. Nah, ini yang akan kami benahi terus, supaya pacu jalur setiap tahun semakin menarik,” kata Suhardiman Amby.
Suhardiman Amby juga meminta kepada media untuk terus mempopulerkan pacu jalur dengan berita-berita yang menghibur dan menarik. Banyak sisi-sisi menarik lainnya yang akan disampaikan kepada khalayak ramai. Terutama tentang sifat gotong royong yang tergambar dalam proses pembuatan jalur hingga lomba.
“Kami juga terus berpesan kepada perantau, terutama organisasi Kuansing seperti IKKS, IPMAKUSI seluruh Indonesia supaya ikut membantu Pemkab Kuansing dalam mempopulerkan pacu jalur,” kata Suhardiman Amby.
Sesuai dengan jadwal yang disampaikan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing, Azhar menyebutkan bahwa pacu jalur tingkat kecamatan akan digelar pada pertengahan Mei 2024. Sedangkan untuk pacu jalur tingkat nasional di Tepian Narosa Telukkuantan akan digelar pada bulan Agustus 2024.
“Iya. Kalau arena, sama dengan tahun lalu. Begitu juga dengan anggaran. Cuma, kami berharap, tahun ini ada penambahan anggaran. Kami juga sudah melobi Pemprov Riau. Semoga anggaranya bertambah, supaya nominal hadiah lebih besar,” kata Azhar.
Azhar menceritakan, untuk pacu jalur tahun 2024 ini, peserta pacu jalur akan diisi oleh jalur-jalur baru. Sebab, sejak tahun 2023, lebih separuh desa di Kuansing membuat jalur baru. Sehingga, pemenang di setiap arena tidak bisa diprediksi. “Tahun ini akan ada kejutan pemenang di setiap arena. Setiap peserta buta dengan kekuatan lawan. Hampir 70 persen peserta tahun ini menggunakan jalur baru yang belum pernah diturunkan. Ini yang akan membuat pacu jalur lebih seru dan menarik,” kata Azhar. Selain itu, saat pacu jalur, banyak keuntungan yang didapat oleh masyarakat tempatan. Selain parkir, masyarakat bisa berjualan selama pacu jalur.
“Yang pasti, setiap pergelaran pacu jalur, akan langsung terasa peningkatan ekonomi masyarakat. Maka dari itu jugalah Pak Bupati Kuansing menerapkan pacu jalur setiap kecamatan,” kata Azhar.
Salah seorang warga Kuansing bernama Wandri yang tinggal di Batam mengatakan bahwa masyarakat Kuansing yang tinggal di sana selalu menunggu pergelaran pacu jalur di setiap kecamatan.
“Kalau 4 tahun terakhir ini, kami sudah bisa menonton pacu jalur melalui streaming. Ini sangat membantu kami dalam menahan rindu pacu jalur. Seluruh orang Kuansing hobi pacu jalur. Yang tidak hobi, berarti dia tidak ada jalurnya,” sebut Wandri.
Seperti diketahui, jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional yang berasal dari Kabupaten Kuansing, Riau. Perlombaan mendayung ini menggunakan perahu dari kayu gelondongan, alias kayu utuh tanpa sambungan. Oleh masyarakat Riau, perahu tersebut dikenal dengan nama jalur.
Festival Pacu Jalur masuk dalam kalender pariwisata nasional. Biasanya, pacu jalur diikuti hampir 200 jalur dari berbagai daerah dan kabupaten tetangga.
Menggabungkan unsur olahraga seni dan budaya yang sangat indah, tidak heran jika Festival Pacu Jalur menjadi salah satu festival budaya terbaik di Indonesia yang sukses menarik perhatian wisatawan. Menurut data dari Provinsi Riau, Festival Pacu Jalur berhasil menarik kunjungan 1,3 juta orang.
Pacu jalur merupakan tradisi budaya turun-temurun yang diwariskan lebih dari 100 tahun oleh nenek moyang masyarakat Kuansing. Pada abad ke-17, jalur hanya digunakan sebagai alat transportasi bagi masyarakat yang tinggal sepanjang aliran Sungai Kuantan.
Seiring berjalannya waktu, jalur-jalur yang digunakan sebagai alat transportasi tersebut semakin berkembang. Baik itu muncul jalur yang dihias dengan ukiran indah dan khas, dilengkapi payu, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai (tempat khusus bagi juru mudi berdiri).
Perkembangan tersebutlah yang akhirnya melahirkan lomba adu cepat antar jalur, atau saat ini dikenal sebagai nama Festival Pacu Jalur. Awalnya, pacu jalur diselenggarakan untuk merayakan hari raya agama Islam, seperti Hari Raya Idulfitri di Riau.
Namun, di masa penjajahan Belanda, pacu jalur digunakan untuk merayakan hari jadi Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.
Dalam satu jalur bisa menampung 50-60 orang (anak pacu), dan setiap orang di perahu memiliki tugas masing-masing. Baik itu tukang concang (komandan atau pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), dan tukang onjai (pemberi irama dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan terakhir adalah tukang tari atau anak coki yang berada di posisi paling depan.
Menariknya, posisi tukang tari hampir selalu diisi oleh anak-anak. Alasannya karena anak-anak memiliki berat badan yang tergolong ringan. Dengan begitu, perahu tetap bisa melaju dengan lincah. Uniknya, gerakan yang dilakukan anak coki memiliki makna tersendiri. Anak coki menari di depan jalur kalau perahu yang dikendarainya unggul.
Kalau sudah sampai garis finis, anak coki akan langsung sujud syukur di ujung perahu. Berkat keunikannya, tentu tidak heran jika Festival Pacu Jalur menjadi salah satu festival yang dinantikan oleh banyak orang. Bahkan, bagi orang Kuansing, mereka lebih memilih menabung untuk keperluan pacu jalur daripada menabung untuk kepentingan hari raya. Sebab, biaya untuk pacu jalur jauh lebih besar dari biaya hari raya.***
Laporan: MARDIAS CAN, Telukkuantan