Jumat, 6 September 2024

Masa Depan Dunia Novel Riau (1)

Perlu Peran Pemangku Kepentingan untuk Membangkitkan

Di masa lalu, Riau banyak melahirkan novelis yang lumayan terbilang bahkan secara nasional. Di masa kini, pelan-pelan surut dan nyaris padam. Peran pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan.

RIAUPOS.CO – BANYAK yang mengatakan dunia penulisan novel (serius) di Riau hari ini tidak sedang baik-baik. Ini terjadi karena semakin jarangnya penulis novel jika dibandingkan di masa lalu. Riau memiliki sejarah cukup panjang dalam dunia novel memiliki novelis yang lumayan produktif dan secara kualitas relatif kuat. Ini dimulai dari era Soeman Hs, hingga ke generasi Hasan Junus, Sudarno Mahyudin, Ediruslan PE Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Olyrinson, Marhalim Zaini, Gde Agung Lontar, Griven H Putra, dan sekian nama lainnya.

Novel-novel mereka tidak hanya dikonsumsi oleh pembaca di Riau (termasuk Kepulauan Riau ketika itu), tetapi juga secara nasional. Banyak dari mereka yang memenangkan lomba tingkat nasional, baik yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa majalah seperti Kartini, Femina, dan yang lainnya. Selain lomba, beberapa novelis juga mampu menembus media harian nasional yang ketika itu banyak menerbitkan cerita bersambung.

Salah satu novelis yang karyanya sering masuk dalam daftar pemenang lomba DKJ adalah Ediruslan PE Amanriza. Lelaki kelahiran Pekanbaru, 17 Agustus 1947 ini, rajin ikut lomba novel DKJ dan menjadi pengarang Riau yang paling sering masuk dalam daftar juara. Karya-karya lelaki yang juga politikus yang masuk dala daftar juara DKJ itu adalah Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah perangsang kreasi), Koyan (1979, hadiah penghargaan), Panggil Aku Sakai (1980, hadiah harapan), dan Dikalahkan Sangsapurba (1998, juara II).

- Advertisement -

Novelis Riau lainnya yang pernah masuk dalam daftar juara di DKJ adalah Taufik Ikram Jamil, yakni novel Hempasan Gelombang (1998, juara harapan II). Generasi terakhir novelis Riau yang masuk sebagai pemenang adalah Cikie Wahab. Ketika itu, 2019, DKJ khusus menyelenggarakan lomba novel anak. Saat itu dewan juri memilih tidak ada pemenang, dan lima karya yang menjadi nomine dianggap sebagai karya pilihan. Karya Cikie yang masuk nomine adalah Hei, Alga.

Namun, lomba novel DKJ bukan satu-satunya tempat bagi novelis Riau berunjuk gigi. Di masanya, dua majalah wanita, Kartini dan Femina, sering mengadakan lomba cerbung. Meski temanya cenderung tentang perempuan dan populer, namun banyak penulis yang biasa menulis karya serius, juga banyak ambil bagian. Gus tf Sakai, Fitra Yoga Sambas, dan sekian nama novelis Indonesia lainnya sering menang. Dari Riau, nama Olyrinson dan Ahmad Ijazi juga sering ambil bagian dan masuk dalam kategori pemenang.

- Advertisement -

Kemudian, selain Ediruslan dan Taufik Ikram Jamil yang novelnya jadi cerbung di koran harian seperti Kompas (novel-novel pemenang lomba DKJ 1998), para novelis Riau juga ada yang menembus media Jakarta. Marhalim Zaini, misalnya. Salah satu novel pemenang Ganti Award-nya, Getah Bunga Rimba, menjadi cerbung di Republika pada tahun 2006. Jauh sebelum itu, novel Hary B Kori’un, Nyanyian Batanghari, juga dimuat di koran yang diterbitkan oleh ICMI tersebut pada tahun 2000.

Baca Juga:  Menggagas Siak untuk Membuat Film

Di Riau sendiri, pada awal tahun 2000-an, Yayasan Bandar Serai menggelar lomba novel Ganti Award sebanyak empat kali. Hary B Kori’un menjadi pemenang pada edisi perdana tahun 2004 dengan novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri. Marhalim Zaini juara dalam dua kali penyelenggaraan berikutnya sebelum Gde Agung Lontar pada penyelenggaraan terakhir. Dari lomba ini muncul tunas-tunas baru novelis Riau. Nama Olyrinson juga masuk dalam daftar pemenang. Lalu nama-nama lain adalah Ahmad Ijazi, Zulfadhli, Fitri Mayani, dll. Sayangnya, karena tak ada dukungan dana lagi –menurut ketua yayasan, Al azhar– Yayasan Bandar Serai tak lagi mengadakan lomba ini hingga kini setelah yang terakhir tahun 2008.

Olyrinson, salah satu penulis “spesialis lomba” yang dimiliki Riau, menjelaskan, dia mulai belajar menulis novel saat masih duduk di bangku SMA. Ketika itu cerbung-cerbung remajanya sudah menembus majalah-majalah seperti Anita Cermerlang, Aneka Ria, Gadis, Femina, maupun Kartini. Cerbung/novel pertama Oly terbit di Anita Cemerlang pada tahun 1988, yakni Menyibak Kabut Pencuri. Dari novel –juga cerpen— bergenre remaja ini, Oly kemudian terus menulis novel yang lebih serius. Ada tujuh novel yang telah ditulisnya, dan besar adalah pemenang lomba.

“Setiap ada lomba novel atau cerpen, saya selalu ikut. Kalah-menang itu urusan nanti. Dan saya bersyukur sering menang, meski bukan juara I,” ujar Oly kepada Riau Pos, Kamis (18/7/2024).

Bersamaan dengan berjalannya waktu, novel-novel Oly yang awalnya begenre remaja, kemudian berkembang ke arah karya serius (sastra). Maka terbitlah novel Sinambella Dua Digit yang merupakan pemenang Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Riau (DKR) tahun 2023; Gadis Kunang-Kunang (pemenang Lomba Menulis Novel FLP 2025); dan tiga novel nominator Ganti Award 2005, 2006, dan 2007, yakni Jembatan, Air Mata Bulan, dan Langit Kelabu.
Dalam karyanya –setelah meninggalkan genre remaja– Oly memilih tema-tema serius, yakni tragedi kehidupan atau ketidakseimbangan hidup karena ada penindas dan tertindas. Dia membawa ideologi perlawanan: bahwa ketidakadilan harus dikikis dari kehidupan manusia. Dengan menulis tema-tema seperti itu, Oly merasa mendapatkan kepuasan batin karena bisa menyuarakan suara ketidakadilan, meski hanya lewat karya sastra. Apalagi karya-karyanya tidak hanya dibaca oleh orang Riau, tetapi lebih luas lagi, yakni nasional. Oly juga tak memungkiri, selain kepuasan batin, dia juga mendapatkan kepuasan secara materi. Terutama karya-karyanya yang menang lomba dan mendapatkan hadiah.

Namun, Oly merasa prihatin dengan kondisi dunia novel Riau saat ini karena jarang para penulis muda menulis novel dengan baik dan serius. Banyak yang tak berkembang dan hanya berkutat kepada penulisan novel populer. Jikapun ada yang serius, tidak banyak. Ketika bersama Hary B Koriun, Marhalim Zaini, dan Buddy Utamy mendirikan Komunitas Paragraf pada tahun 2007, dia berharap akan banyak penulis novel yang lahir. Dia sempat senang karena muncul beberapa nama dari Paragraf yang mengikuti jejaknya, seperti Cikie Wahab. Namun, secara umum, tak banyak novelis yang lahir.

Baca Juga:  Menyala, Lampu Colok Berbentuk Masjid Tiga Dimensi di Kampung Langkai

Dia kecewa karena para pemangku kepentingan di bidang ini, seperti Dinas Kebudayaan Riau atau DKR, tak mendorong lahir dan tumbuhnya novelis baru. Salah satu indikasinya, sudah lama tak ada lomba penulisan novel di Riau. Bahkan, banyak para pemangku kepentingan dan para pribadi, berkutat dengan ego masing-masing. Yang terjadi, Riau akan tertinggal dari provinsi tetangga seperti Sumatera Barat (Sumbar) yang terus melahirkan novelis. Atau Jambi, Sumatera Utara (Sumut) dan Kepri yang terus menggeliat. Menurutnya, para pemangku kepentingan itu harus terus mendorong.

“Malu kita kalau dunia penulisan novel dan sastra Riau terus begini,” kata lelaki yang juga sudah menerbitkan dua kumpulan cerpen ini, yakni Sebutir Peluru dalam Buku dan Saat yang Tepat untuk Menangis.

Salah satu anak asuh Oly di Komunitas Paragraf, Cikie Wahab, mengaku awalnya tak mengerti dunia tulis-menulis, termasuk novel. Namun perpustakaan mengubahnya. Dia mengaku sejak membaca buku di perpustakaan yang bukunya bisa dipinjam gratis, membuatnya punya keinginan untuk menulis. Ia lalu mencari teman-teman yang sehobi dan bergabung komunitas baik offline maupun online. Salah satunya Paragraf. Novel Padang Ilalang-nya NH Dini dan novel-novel Dan Brown banyak menjadi pendorongnya dalam menulis novel. Awalnya ia menulis kisah-kisah remaja dan romantis seperti kisah tentang coklat dan hubungan jarak jauh.

Gemblengan dari Oly, Marhalim, dan lainnya di Paragraf, membuat perempuan bernama asli Desy ini terus bekerja keras untuk tumbuh. Setelah cerpen-cerpennya menembus media nasional seperti Jawa Pos, Media Indonesia, dan lainnya, ia mulai mencoba menulis novel. Dia mengaku, komunitas sangat berpengaruh dalam proses menulisnya, juga para seniornya yang sering “pamer” dengan buku barunya.

“Setiap ada senior yang memamerkan buku barunya, saya merasa harus bisa menulis dan menerbitkan buku seperti mereka,” ujar perempuan yang juga menekuni dunia komik dan ilustrasi fiksi ini.

Lalu, kesempatan untuk “membuktikan diri” itu tiba. Cikie yang suka menulis fiksi anak, ikut Lomba DKJ 2019. Seperti dijelaskan di atas, tak ada pemenang utama ketika itu. Semua karya yang masuk nomine dianggap sebagai pemenang bersama, termasuk novel anak Hei, Alga, yang kemudian diterbitkan Shiramedia (Yogyakarta). Hampir bersamaan dengan itu, Cikie juga menerbitkan novel Memelukmu dengan Erat yang memjadi juara III Bulan Bahasa Riau 2020 yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR). Dia juga menerbitkan novel Renata di aplikasi Kwikku.***

Laporan EDWAR YAMAN, Pekanbaru

Di masa lalu, Riau banyak melahirkan novelis yang lumayan terbilang bahkan secara nasional. Di masa kini, pelan-pelan surut dan nyaris padam. Peran pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan.

RIAUPOS.CO – BANYAK yang mengatakan dunia penulisan novel (serius) di Riau hari ini tidak sedang baik-baik. Ini terjadi karena semakin jarangnya penulis novel jika dibandingkan di masa lalu. Riau memiliki sejarah cukup panjang dalam dunia novel memiliki novelis yang lumayan produktif dan secara kualitas relatif kuat. Ini dimulai dari era Soeman Hs, hingga ke generasi Hasan Junus, Sudarno Mahyudin, Ediruslan PE Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Olyrinson, Marhalim Zaini, Gde Agung Lontar, Griven H Putra, dan sekian nama lainnya.

Novel-novel mereka tidak hanya dikonsumsi oleh pembaca di Riau (termasuk Kepulauan Riau ketika itu), tetapi juga secara nasional. Banyak dari mereka yang memenangkan lomba tingkat nasional, baik yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa majalah seperti Kartini, Femina, dan yang lainnya. Selain lomba, beberapa novelis juga mampu menembus media harian nasional yang ketika itu banyak menerbitkan cerita bersambung.

Salah satu novelis yang karyanya sering masuk dalam daftar pemenang lomba DKJ adalah Ediruslan PE Amanriza. Lelaki kelahiran Pekanbaru, 17 Agustus 1947 ini, rajin ikut lomba novel DKJ dan menjadi pengarang Riau yang paling sering masuk dalam daftar juara. Karya-karya lelaki yang juga politikus yang masuk dala daftar juara DKJ itu adalah Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah perangsang kreasi), Koyan (1979, hadiah penghargaan), Panggil Aku Sakai (1980, hadiah harapan), dan Dikalahkan Sangsapurba (1998, juara II).

Novelis Riau lainnya yang pernah masuk dalam daftar juara di DKJ adalah Taufik Ikram Jamil, yakni novel Hempasan Gelombang (1998, juara harapan II). Generasi terakhir novelis Riau yang masuk sebagai pemenang adalah Cikie Wahab. Ketika itu, 2019, DKJ khusus menyelenggarakan lomba novel anak. Saat itu dewan juri memilih tidak ada pemenang, dan lima karya yang menjadi nomine dianggap sebagai karya pilihan. Karya Cikie yang masuk nomine adalah Hei, Alga.

Namun, lomba novel DKJ bukan satu-satunya tempat bagi novelis Riau berunjuk gigi. Di masanya, dua majalah wanita, Kartini dan Femina, sering mengadakan lomba cerbung. Meski temanya cenderung tentang perempuan dan populer, namun banyak penulis yang biasa menulis karya serius, juga banyak ambil bagian. Gus tf Sakai, Fitra Yoga Sambas, dan sekian nama novelis Indonesia lainnya sering menang. Dari Riau, nama Olyrinson dan Ahmad Ijazi juga sering ambil bagian dan masuk dalam kategori pemenang.

Kemudian, selain Ediruslan dan Taufik Ikram Jamil yang novelnya jadi cerbung di koran harian seperti Kompas (novel-novel pemenang lomba DKJ 1998), para novelis Riau juga ada yang menembus media Jakarta. Marhalim Zaini, misalnya. Salah satu novel pemenang Ganti Award-nya, Getah Bunga Rimba, menjadi cerbung di Republika pada tahun 2006. Jauh sebelum itu, novel Hary B Kori’un, Nyanyian Batanghari, juga dimuat di koran yang diterbitkan oleh ICMI tersebut pada tahun 2000.

Baca Juga:  Aroma Mistik di Pohon Kayu Jalur

Di Riau sendiri, pada awal tahun 2000-an, Yayasan Bandar Serai menggelar lomba novel Ganti Award sebanyak empat kali. Hary B Kori’un menjadi pemenang pada edisi perdana tahun 2004 dengan novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri. Marhalim Zaini juara dalam dua kali penyelenggaraan berikutnya sebelum Gde Agung Lontar pada penyelenggaraan terakhir. Dari lomba ini muncul tunas-tunas baru novelis Riau. Nama Olyrinson juga masuk dalam daftar pemenang. Lalu nama-nama lain adalah Ahmad Ijazi, Zulfadhli, Fitri Mayani, dll. Sayangnya, karena tak ada dukungan dana lagi –menurut ketua yayasan, Al azhar– Yayasan Bandar Serai tak lagi mengadakan lomba ini hingga kini setelah yang terakhir tahun 2008.

Olyrinson, salah satu penulis “spesialis lomba” yang dimiliki Riau, menjelaskan, dia mulai belajar menulis novel saat masih duduk di bangku SMA. Ketika itu cerbung-cerbung remajanya sudah menembus majalah-majalah seperti Anita Cermerlang, Aneka Ria, Gadis, Femina, maupun Kartini. Cerbung/novel pertama Oly terbit di Anita Cemerlang pada tahun 1988, yakni Menyibak Kabut Pencuri. Dari novel –juga cerpen— bergenre remaja ini, Oly kemudian terus menulis novel yang lebih serius. Ada tujuh novel yang telah ditulisnya, dan besar adalah pemenang lomba.

“Setiap ada lomba novel atau cerpen, saya selalu ikut. Kalah-menang itu urusan nanti. Dan saya bersyukur sering menang, meski bukan juara I,” ujar Oly kepada Riau Pos, Kamis (18/7/2024).

Bersamaan dengan berjalannya waktu, novel-novel Oly yang awalnya begenre remaja, kemudian berkembang ke arah karya serius (sastra). Maka terbitlah novel Sinambella Dua Digit yang merupakan pemenang Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Riau (DKR) tahun 2023; Gadis Kunang-Kunang (pemenang Lomba Menulis Novel FLP 2025); dan tiga novel nominator Ganti Award 2005, 2006, dan 2007, yakni Jembatan, Air Mata Bulan, dan Langit Kelabu.
Dalam karyanya –setelah meninggalkan genre remaja– Oly memilih tema-tema serius, yakni tragedi kehidupan atau ketidakseimbangan hidup karena ada penindas dan tertindas. Dia membawa ideologi perlawanan: bahwa ketidakadilan harus dikikis dari kehidupan manusia. Dengan menulis tema-tema seperti itu, Oly merasa mendapatkan kepuasan batin karena bisa menyuarakan suara ketidakadilan, meski hanya lewat karya sastra. Apalagi karya-karyanya tidak hanya dibaca oleh orang Riau, tetapi lebih luas lagi, yakni nasional. Oly juga tak memungkiri, selain kepuasan batin, dia juga mendapatkan kepuasan secara materi. Terutama karya-karyanya yang menang lomba dan mendapatkan hadiah.

Namun, Oly merasa prihatin dengan kondisi dunia novel Riau saat ini karena jarang para penulis muda menulis novel dengan baik dan serius. Banyak yang tak berkembang dan hanya berkutat kepada penulisan novel populer. Jikapun ada yang serius, tidak banyak. Ketika bersama Hary B Koriun, Marhalim Zaini, dan Buddy Utamy mendirikan Komunitas Paragraf pada tahun 2007, dia berharap akan banyak penulis novel yang lahir. Dia sempat senang karena muncul beberapa nama dari Paragraf yang mengikuti jejaknya, seperti Cikie Wahab. Namun, secara umum, tak banyak novelis yang lahir.

Baca Juga:  Menggagas Siak untuk Membuat Film

Dia kecewa karena para pemangku kepentingan di bidang ini, seperti Dinas Kebudayaan Riau atau DKR, tak mendorong lahir dan tumbuhnya novelis baru. Salah satu indikasinya, sudah lama tak ada lomba penulisan novel di Riau. Bahkan, banyak para pemangku kepentingan dan para pribadi, berkutat dengan ego masing-masing. Yang terjadi, Riau akan tertinggal dari provinsi tetangga seperti Sumatera Barat (Sumbar) yang terus melahirkan novelis. Atau Jambi, Sumatera Utara (Sumut) dan Kepri yang terus menggeliat. Menurutnya, para pemangku kepentingan itu harus terus mendorong.

“Malu kita kalau dunia penulisan novel dan sastra Riau terus begini,” kata lelaki yang juga sudah menerbitkan dua kumpulan cerpen ini, yakni Sebutir Peluru dalam Buku dan Saat yang Tepat untuk Menangis.

Salah satu anak asuh Oly di Komunitas Paragraf, Cikie Wahab, mengaku awalnya tak mengerti dunia tulis-menulis, termasuk novel. Namun perpustakaan mengubahnya. Dia mengaku sejak membaca buku di perpustakaan yang bukunya bisa dipinjam gratis, membuatnya punya keinginan untuk menulis. Ia lalu mencari teman-teman yang sehobi dan bergabung komunitas baik offline maupun online. Salah satunya Paragraf. Novel Padang Ilalang-nya NH Dini dan novel-novel Dan Brown banyak menjadi pendorongnya dalam menulis novel. Awalnya ia menulis kisah-kisah remaja dan romantis seperti kisah tentang coklat dan hubungan jarak jauh.

Gemblengan dari Oly, Marhalim, dan lainnya di Paragraf, membuat perempuan bernama asli Desy ini terus bekerja keras untuk tumbuh. Setelah cerpen-cerpennya menembus media nasional seperti Jawa Pos, Media Indonesia, dan lainnya, ia mulai mencoba menulis novel. Dia mengaku, komunitas sangat berpengaruh dalam proses menulisnya, juga para seniornya yang sering “pamer” dengan buku barunya.

“Setiap ada senior yang memamerkan buku barunya, saya merasa harus bisa menulis dan menerbitkan buku seperti mereka,” ujar perempuan yang juga menekuni dunia komik dan ilustrasi fiksi ini.

Lalu, kesempatan untuk “membuktikan diri” itu tiba. Cikie yang suka menulis fiksi anak, ikut Lomba DKJ 2019. Seperti dijelaskan di atas, tak ada pemenang utama ketika itu. Semua karya yang masuk nomine dianggap sebagai pemenang bersama, termasuk novel anak Hei, Alga, yang kemudian diterbitkan Shiramedia (Yogyakarta). Hampir bersamaan dengan itu, Cikie juga menerbitkan novel Memelukmu dengan Erat yang memjadi juara III Bulan Bahasa Riau 2020 yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR). Dia juga menerbitkan novel Renata di aplikasi Kwikku.***

Laporan EDWAR YAMAN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari