Sepanjang tahun 2024, Balai Bahasa Provinsi Riau menggelar pelatihan kebahasaan dan kesastraan berbasis bahasa ibu. Puncaknya adalah Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang digelar di Pekanbaru. Sebuah ikhtiar untuk mempertahankan bahasa daerah.
RIAUPOS.CO – GEDUNG pertemuan utama Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, malam itu, Kamis (28/11/2024), sangat riuh. Terlihat ratusan anak dengan seragam kaos warna biru muda yang ditemani guru-guru pembimbing, nampak duduk di kursi-kursi yang tertata rapi. Beberapa saat kemudian, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR), Toha Machsum SAg MAg, naik ke atas pentas. Mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali itu lalu meminta agar semua kontingen dari empat kabupaten kota yang hadir malam itu, meneriakkan yel-yel khas mereka.
Secara bergantian, para murid dan siswa-siswi SD dan SMP itu –berdasarkan urutan dari kiri— meneriakkan yel-yel khas daerah masing-masing. Dimulai dari Kepulauan Meranti, lalu Dumai, kemudian Indragiri Hulu (Inhu), dan Kampar. Masing-masing daerah punya yel-yel yang berbeda, tetapi dengan maksud dan tujuan yang sama, yakni penyemangat mereka. Sebab, esok hari dan selanjutnya hingga Sabtu malam, mereka sudah harus bersaing dalam berbagai lomba.
Malam itu, melalui Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Pelindungan dan Pemodernan Bahasa dan Sastra, BBPR mengadakan pembukaan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Ini adalah puncak dari serangkaian pelatihan yang dilakukan BBPR di empat daerah tersebut. Salah satu tujuan utamanya adalah terus melahirkan para penutur asli bahasa ibu di masing-masing daerah. Seperti kita ketahui, bahasa Melayu Riau memiliki banyak dialek dan isolek, yang masing-masing daerah memiliki perbedaan dalam ucapan.
Hadir dalam kegiatan ini anggota Komisi X DPR RI, Hj Ledia Hanifa, yang membuka festival; Plt Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Hj Jahrona Harahap; Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir; perwakilan Dinas Pendidikan Provinsi Riau, Edi Ruma Dinata; Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Alang Rizal; perwakilan Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Riau, Nilam Suri; perwakilan Balai Guru Penggerak, Reisky Bestari; juga para perwakilan Kepala Dinas Pendidikan dari Kabupaten Kepulauan Meranti, Indragiri Hulu, Kampar, dan Dumai. Para juri festival tersebut juga hadir. Mereka antara lain Marhalim Zaini, Idawati, dan Syaiful Anwar.
Kepala BBPR, Toha Machsum, menjelaskan, FTBI tingkat Provinsi Riau diselenggarakan dalam rangka Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang bertujuan untuk melindungi bahasa daerah, yaitu bahasa Melayu Riau.
Dijelaskan Toha, kegiatan berlangsung selama empat hari, 28 November-1 Desember 2024, melibatkan 240 orang peserta dari empat kabupaten/kota di Riau, yaitu Kabupaten Inhu, Kampar, Meranti, dan Kota Dumai. Kegiatan berupa lomba berbahasa Melayu Riau untuk siswa tingkat SD dan SMP sebagai hasil pengimbasan guru utama RBD di tingkat kabupaten/kota.
Ada enam tahapan revitalisasi bahasa daerah. Salah satu tahapan kegiatan revitalisasi, menurut Toha, adalah FTBI. FTBI menjadi gaung dari seluruh rangkaian pelaksanaan revitalisasi bahasa daerah yang telah dilakukan, mulai dari persiapan (rapat koordinasi), penyusunan bahan ajar, bimbingan teknis guru utama, pengimbasan guru utama ke guru atau teman sejawat, pemantauan dan evaluasi, sampai pada pelaporan kegiatan.
“FTBI juga sebagai wadah apresiasi siswa setelah melaksanakan pembelajaran,” jelas Toha.
FTBI, kata lelaki yang juga pernah menjadi Kepala Kantor Bahasa Maluku dan Balai Bahasa Papua tersebut, memuat berbagai kegiatan ekspresif yang dapat diikuti generasi muda, seperti lomba menulis cerpen, menulis aksara Arab Melayu, membaca puisi, mendongeng, berpidato, bersyair/tembang tradisi, dan komedi tunggal (stand-up comedy). Semuanya menggunakan bahasa ibu masing-masing daerah, yakni bahasa Melayu dialek Meranti, Kampar, Dumai, dan Indragiri. Kegiatan ekspresif tersebut dikemas dalam bentuk festival dan lomba kekinian yang variatif.
“Tujuannya adalah agar bentuk festival dan kekinian itu dapat masuk ke segmen milenial dan menggugah minat positif generasi milenial terhadap bahasa daerahnya,” tambah Toha lagi.
Ada 56 pemenang dari 7 mata lomba tingkat SD dan SMP yang diselenggarakan dalam kegiatan ini. Khsusus untuk mereka yang menjadi pemenang I dalam FTBI Tingkat Riau tahun 2024 akan menjadi perwakilan Provinsi Riau ke acara FTBI tingkat nasional di Jakarta pada Februari tahun 2025. Sedangkan mereka yang menjadi peserta lomba menulis cerpen dalam kegiatan ini akan diikutkan dalam acara Kemah Cerpen di De Kotos, Kampar, pada 16-18 Desember 2024.
***
PADA bagian lain, saat membuka festival, anggota Komisi X DPR RI, Hj Ledia Hanifa, mengapresiasi penyelenggaraan FTBI tersebut. Menurutnya, kita patut menjaga bahasa ibu sebagai kekayaan bangsa. Kita juga harus bangga dengan bahasa ibu sebagai identitas kebudayaan dan alat komunitasi kita sehari-hari. Menurutnya, FTBI harus terus diselenggarakan di masa depan karena ini penting dalam menumbuhkan dan melahirkan para penutur asli bahasa daerah yang di banyak tempat sudah jarang ditemukan.
“Di Riau, kita memiliki bahasa Melayu Riau sebagai kekayaan budaya masyarakat Riau yang harus kita jaga bersama. Saya yakin, bahasa Melayu Riau ini juga punya banyak dialek yang mungkin masing-masing daerah dan kawasan berbeda logat dan gaya ucapnya,” kata Ledia Hanifa.
Di hadapan 264 peserta –termasuk guru pembimbing dan utusan dari Disdik– politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Jawa Barat (Jabar) ini menjelaskan, program pelestarian bahasa ibu yang dibuat atau dikemas dalam acara FTBI oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di seluruh Indonesia, patut didukung bersama.
“Komisi X DPR RI terus berupaya mendukung kegiatan ini agar bahasa daerah di Indonesia tetap terjaga. Maka, kegiatan ini harus bermanfaat dan menggembirakan semua pihak,” pesan Ledia Hanifa.
Selama ini, menurut Ledia, Komisi X terus mendukung program pelindungan bahasa yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Terbentuknya Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari Kementerian Pendidikan yang selama ini menaunginya, kata dia, adalah salah satu upaya pemerintah agar kebudayaan –termasuk bahasa dan sastra yang menjadi lokus Badan Bahasa meski di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah— mendapat peran penting dalam pembangunan manusia Indonesia yang unggul.
“Kami bangga dengan Badan Bahasa dan Balai Bahasa Provinsi Riau. Kami mengapresiasi kegiatan FTBI sebagai wujud program pelestarian bahasa daerah. Bahkan, saya juga dikabari bahwa Balai Bahasa Provinsi Riau sudah menyusun 45 buku cerita anak dwibahasa tahun 2024 ini dalam rangka pelestarian bahasa daerah,” jelas Ledia lagi.
Ledia bercerita tentang hal sedikit “aneh” terjadi di Jabar. Ketika itu ada lomba mendongeng berbahasa Sunda antarsiswa. Yang mengejutkan, siswa yang memenangkan lomba tersebut ternyata punya nama marga di belakangnya, dari Suku Batak. Dia berhasil mengalahkan ratusan siswa-siswi asli yang berbahasa ibu Sunda.
“Dari peristiwa itu, saya melihat ada dua hal, antara sedih sekaligus bahagia. Sedih karena justru para siswa yang bahasa ibunya dilombakan justru kalah dari siswa dari suku lain. Senang karena ternyata bahasa ibu juga dipelajari oleh suku lain, dalam hal ini Batak, yang sebenarnya tidak berbahasa ibu Sunda,” jelas Ledia.
Dalam hal memacu pemajuan kebudayaan, Ledia berharap Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang sudah disahkan oleh DPR RI dan pemerintah, bisa diterapkan di semua daerah di Indonesia. Sebab, dengan UU ini, kata dia, pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk kegiatan kebudayaan yang tujuannya adalah pemajuan kebudayaan. Salah satunya adalah budaya asli masing-masing daerah.
“Saya datang ke Riau ini salah satunya juga melakukan sosialisasi hal itu. Saya berterima kasih kepada LAM Riau karena punya komitmen besar dalam pemajuan kebudayaan ini,” jelasnya lagi.
Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Alang Rizal, juga mengapresiasi upaya BBPR dalam pelestarian bahasa Melayu Riau dengan kegiatan FTBI. Menurutnya, pembangunan sumber daya manusia (SDM) salah satunya harus melibatkan pembangunan budaya dasar masyarakatnya, termasuk di dalamnya bahasa ibu.
“Menurut peta budaya, Riau memiliki ragam dialek dan isolek yang tersebar di Riau. Ke depan, peta budaya, bisa dijadikan acuan dalam upaya pelestarian bahasa. Sebab, bahasa adalah budaya. Maka, dengan melestarikan bahasa maka kita sudah ikut menyelamatkan budaya,” kata Datuk Alang.
Acara ditutup oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Drs Imam Budi Utomo MHum. Imam menjelaskan, pelestarian bahasa ibu adalah tangung jawab semua pihak. Untuk itu, diperlukan kolaborasi pusat dan daerah untuk menjaga bahasa daerah. Imam juga menyebut bahwa pemerintah hadir dengan berbagai regulasi untuk melindungi dan melestarikan bahasa dan sastra daerah. “Sinergi pemerintah pusat dan daerah akan memperkuat upaya menjamin kesinambungan bahasa ibu di setiap daerah,” kata Imam.
Ketua panitia pelaksana, Chrisna Putri Kurniati SS MA, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung kegiatan ini. Baik sejak pelatihan di empat daerah hingga puncak dalam FTBI di Pekanbaru. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada anggota KKLP Pelindungan dan Pemodernan Bahasa dan Sastra BBPR serta seluruh panitia yang bekerja keras selama kegiatan yang panjang tersebut. Mereka adalah Sarmianti SS, Imelda SS, Marlina SPd, dan Irwanto SPd.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru