JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rasio kenaikan harga pupuk sudah di atas ambang normal, bahkan kenaikan harga pupuk sudah sangat tidak terkontrol. Petani sawit mengeluhkan dan kelabakan dengan tingginya harga pupuk enam bulan terakhir. Akibatnya, biaya produksi ikut membengkak, meskipun harga tandan buah segar (TBS) sawit naik.
Laporan dari petani sawit di 27 provinsi penghasil sawit merasakan hal yang sama. Kenaikan harga pupuk ini merata baik jenis organik maupun tunggal. Jika harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan naik signifikan.
"Prihatin dengan kondisi ini, miris apa yang dirasakan oleh petani," kata anggota DPR RI, Achmad, Selasa (19/10/2021).
Menurut Achmad, penjualan pupuk tidak hanya terkait ketersediaan, tapi juga keterjangkauan daya beli. Ia berharap, pemerintah melalui perusahaan BUMN yakni Pupuk Indonesia memberikan kontrol terhadap harga pupuk. Jangan sampai jadi pemicu naiknya harga pupuk.
"Faktanya pupuk dari produsen BUMN ini lebih tinggi kenaikannya dibandingkan non BUMN," katanya.
"Saya menyampaikan kenaikan harga pupuk sebaiknya seimbang dengan kenaikan harga TBS, jangan pula melampaui rasio kenaikan harga TBS saat ini. Pupuk itu sangat penting bagi pekebun jangan malah menjadi beban karna pupuk itu pemicu produksi bukan penghambat produksi," jelasnya.
Legislator daerah pemilihan Riau I itu menjelaskan, kenaikan harga pupuk tentunya meningkatkan biaya produksi. Dan biaya pemupukan ini diperkebunan kelapa sawit menyerap 60 persen dari total rata-rata biaya produksi.
"Kenaikan pupuk ini, di mulai pada bulan Februari 2021, trendnya cenderung selalu naik setiap bulan," imbuhnya.
Oleh karena itu, Bupati Rokan Hulu dua periode itu meminta pemerintah dapat segera turun tangan untuk membantu kendalikan harga pupuk non subdisi khususnya kepada petani sawit.
"Kalau harga pupuk terus meroket. Ya tentunya petani tidak akan dapat menikmati kenaikan harga TBS tersebut. Dan ini berpotensi akan membuat petani sawit bangkrut," pungkasnya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: E Sulaiman