JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Meski menuai banyak penolakan, namun pemerintah memiliki alasan kuat di balik kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Alasan yang paling mendasar yakni kinerja keuangan yang tercatat merah karena utang dan defisit yang membelit.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kunta Wibawa Dasa memerinci, hingga 13 Mei 2020, BPJS Kesehatan masih memiliki utang klaim jatuh tempo ke rumah sakit senilai Rp4,4 triliun.
Tahun ini pun, BPJS Kesehatan diproyeksi akan terus mengalami defisit hingga Rp6,9 triliun. Belum lagi, ada beban carry over defisit tahun 2019 lalu yang mencapai Rp15,5 triliun.
Kondisi itu tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Terlebih, adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran beberapa waktu lalu sudah pasti makin membuat BPJS kelimpungan menghadapi kesulitan finansial.
"BPJS perlu ada perbaikan untuk mengatasi defisit," ujarnya pada virtual conference di Jakarta, kemarin (14/5).
Kunta menyebut, kenaikan iuran Juli mendatang diproyeksi membuat keuangan BPJS Kesehatan surplus hingga Rp1,76 triliun tahun ini. Kondisi keuangan yang lebih baik tentu diharapkan dibarengi dengan pelayanan kesehatan dari RS yang meningkat.
Sebaliknya, apabila iuran tak naik maka bayang-bayang defisit Rp6,9 triliun harus dihadapi. Jumlah defisit itu pun diyakini akan melebar di 2021 mendatang.
"Perlu ada perbaikan dan perlu ada langkah mengatasi defisit, perlu ada upaya mengatasi. Kalau kami lihat, kita ingin menuju universal health coverage," imbuh dia.
Dia juga mengingatkan asas keadilan sosial yang menjadi salah satu poin dalam menaikan iuran BPJS Kesehatan. Perbaikan ekosistem jaminan kesehatan bagi masyarakat juga terus didorong.
"Dan jelas, keadilan sosial, yang miskin tidak perlu bayar dan yang kaya bayar sesuai kemampuan membayar," tuturnya.
Kunta menyebut, untuk mengatasi defisit, pemerintah pun menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 yang mengatur tentang penyesuaian tarif. Besarannya yakni untuk kelas I Rp150 ribu, kelas II Rp100 ribu, dan kelas III sebesar Rp42 ribu.
Namun, pada 2020, peserta kelas III hanya perlu membayar Rp25.500 dengan selisih Rp16.500 akan dibayarkan pemerintah sebagai bentuk subsidi iuran. Sedangkan pada 2021, peserta kelas III akan membayar Rp35 ribu dengan sisanya Rp7 ribu dibayar pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bantuan iuran. Selain itu, pemerintah pusat juga akan mengambil alih tanggung jawab iuran seluruh peserta penerima bantuan iuran atau PBI. Sementara, pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta kelas III.
Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani menambahkan, nominal yang harus dibayarkan peserta kelas III sebesar Rp25.500 itu disebabkan pemerintah memberikan subsidi hingga Rp3,1 triliun.
"Ini membantu kelas III," tuturnya. Subsidi itu menjadi bagian tambahan anggaran yang diatur dalam Perpres Nomor 54/2020 mengenai postur terbaru APBN 2020.
Askolani juga menyebut bahwa kenaikan iuran sejatinya telah mempertimbangkan putusan MA. Sebab, pelayanan JKN harus terus bertahan dan bisa merangkul seluruh lapisan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.
"Bukan hanya jangka pendek, tapi untuk jangka panjang, supaya ada kesinambungan dan kepastian itu yang yang harus dipahami, jadi jangan hanya melihat dari sisi sempitnya," urai Askolani.
Dia juga menggarisbawahi dasar penerbitan Perpres Nomor 64 tahun 2020. Pertama, untuk menjaga kelangsungan dan kesinambungan dari JKN baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Kedua, terkait dengan perbaikan layanan yang lebih baik dari sisi manajemen di RS dan BPJS. Ketiga, sesuai amanat UU, penyesuaian tarif dimungkinkan dua tahun sekali dan pemerintah terus melihat berbagai kemungkinan dan kondisi aktual masyarakat Indonesia.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan bahwa Perpres baru ini sudah membantu mereka yang miskin dan rawan miskin. Selain membiayai 132.600.906 jiwa sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI), dengan aturan anyar ini kelas III ini iurannya tetap Rp25.500. Hal itu sesuai dengan rapat pembahasan dengan DPR beberapa waktu lalu.
"Negara subsdii Rp16.600," ucapnya kemarin. Seharusnya iuran untuk kelas III tetap Rp42.100. Namun dengan adanya subsidi, maka iuran kelas III hanya Rp25.500.
Meski demikian, pada tahun depan BPJS Kesehatan punya pekerjaan rumah untuk benar-benar melihat peserta kelas III tergolong yang mampu atau benar-benar miskin. Nantinya akan dipilah mana yang bisa membayar dan mana yang harus menerima bantuan iuran.
"Nanti 2021 secara bertahap dilakukan," ucapnya.
Selain itu, pada waktu yang sama, BPJS Kesehatan dan Kementerian Sosial harus melihat data PBI yang sudah ada. Kedua instansi itu harus memastikan bahwa yang selama ini menerima bantuan iuran dari pemerintah merupakan keluarga miskin. Hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan oleh BPKP pada saat mengaudit BPJS Kesehatan tahun lalu.
Sementara perbaikan iuran ini dirasa perlu dilakukan. Hal tersebut menurut Fachmi terkait dengan defisit dan gagal bayar BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Selama ini, adanya pembayaran peserta PBI dimuka yang dilakukan pemerintah membuat BPJS Kesehatan dapat mengurangi gagal bayar.
"Kalau telat bayar kepada rumah sakit tidak mudah perbaiki pelayanan," ujarnya.
Hingga kemarin, utang jatuh tempo BPJS Kesehatan mencapai Rp4,8 triliun.
"Proyeksinya kalau nanti Perpres 64/2020 berjalan, kurang lebih bisa seimbang antara cash in cahs out," ujarnya. Fachmi optimis jika nanti aturan ini dijalankan maka RS bisa dibayar tepat waktu.
Sementara itu Sekjen Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyatakan bahwa sudah memprediksi adanya peningkatan jumlah peserta kelas tiga. Untuk itu, Kemenkes telah bersurat kepada daerah agar menambah kapasitas tempat tidur untuk kelas III.
"Kalau sebelumnya hanya 20 persen, kini ditambah sampai 50 persen,” ujarnya.
Kemenkes juga tengah memperbaiki sistem kesehatan lain. Menurutnya, Kemenkes tengah menyusun pedoman kebutuhan dasar kesehatan dan standar pelayanan kesehatan. ”Agar dapat terlayani dengan maksimal dan optimal," ungkapnya.
Gelombang Protes Terus Muncul
Sementara itu, gelombang penolakan terhadap kenaikan iuran peserta JKN terus bermunculan. Giliran serikat pekerja yang menyatakan keberatannya atas rencana kenaikan iuran pada Juli mendatang.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penolakan KSPI terhadap kenaikan iuran tersebut. Pertama, masyarakat berpotensi terganggu layanan kesehatannya. Pasalnya, kenaian iuran ini memberatkan mereka. Terlebih, saat ini banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya. Sehingga mereka tak lagi memiliki kemampuan. Kalau sudah begitu, berisiko tidak membayar dan menyebabkan status kepesertaannya nonaktif. Artinya, mereka tak bisa memanfaatkan lagi layanan kesehatannya.
"Negara seharusnya berkewajiban untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan iuran," ujarnya.
Kedua, KSPI menilai kenaikan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS. Di mana disebutkan, bahwa BPJS Kesehatan bukanlah BUMN tetapi badan hukum publik. "Sehingga, pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari “pemilik” BPJS Kesehatan. Yakni, mereka yang mengiur iuran," katanya.
Lagi pula, lanjut dia, Mahkamah Agung sudah membatalkan Pepres No 75 Tahun 2019 yang sebelumnya menaikkan iuran. Dia menilai, harusnya hal itu dijalankan karena sudah diputuskan oleh hukum. Bukan malah mengakal-akali untuk memaksakan kehendak.
Oleh karena itu, KSPI meminta pemerintah menaati putusan MA. Namun jika enggan, KSPI berencana mengajutan gugatan kembali ke MA untuk membatalkan perpres tersebut. "Sehabis Idulfitri KSPI akan mengajukan gugatan ke MA," tegasnya. Selain itu, KSPI juga meminta DPR untuk mengambil sikap politik dengan memanggil Menteri Kesehatan dan Direksi BPJS Kesehatan untuk melakukan RDP guna membatalkan perpes tersebut. (dee/lyn/mia/mar/jpg)