JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kicauan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal pengenaan bea masuk baru sebesar 10 persen kepada produk impor asal Tiongkok membuat perang dagang antar keduanya semakin sengit. Imbasnya, negara-negara berkembang (emerging market) akan memikir ulang untuk melonggarkan kebijakan moneternya, salah satunya Indonesia.
Padahal, Bank Indonesia (BI) sempat memberikan sinyal untuk kembali melonggarkan suku bunga acuan (BI-7 Days Reverse Repo Rate/BI7DRRR) pada beberapa waktu ke depan. Menurut Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, pihaknya masih mencermati kondisi perang dagang AS-Tiongkok yang terus bergerak dinamis.
"Kami melihat selalu dinamika yang terjadi di pasar global. Pada saat bulan lalu (penurunan suku bunga) itu, belum ada tweet Trump yang terakhir. Jadi, memang kami harus amati ini setiap waktu dari waktu ke waktu," kata Dody di Kantor BI, Jakarta, Senin (12/8).
Dody menyatakan, penurunan suku bunga masih menimbang dari risiko yang dihadapi Indonesia dari dampak perang dagang antara kedua negara adi daya terlebih dahulu. Dia tak mau, penurunan suku bunga malah berdampak ketidakstabilan mata uang rupiah.
"Tentunya masalah timing daripada kapan kami turunkan suku bunga akan kami lihat. Misalnya rupiah menjadi tidak stabil, itu yang harus kita hindarkan," tukasnya.
Sebagaimana diketahui pada Kamis (1/8) lalu, Trump berkicau melalui akun twitter pribadinya yang akan mengenakan bea masuk baru sebesar 10 persen atau senilai USD 300 miliar kepada negeri tirai bambu. Kebijakan itu mulai berlaku pada 1 September mendatang. Tak cuma itu, bila memungkinkan, politisi Partai Republik itu akan menaikkan kembali bea masuk mencapai 25 persen.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebelumnya menilai suku bunga acuan bisa kembali dipangkas oleh Bank Indonesia (BI). INDEF memperkirakan, hingga akhir tahun bank sentral masih bisa menurunkan sekitar 25 sampai 50 basis poin (bps).
Tak lama ini, BI telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen. Tak hanya itu, bank sentral juga menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps untuk meningkatkan penyaluran kredit ke masyarakat.
"Ruang penurunan bunga acuan 25-50 bps lagi masih terbuka sampai akhir tahun," kata Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, kemarin.
Bhima mengatakan, penurunan suku bunga acuan masih sangat memungkinkan. Sebab Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) mewacanakan akan memangkas suku bunga acuan lanjutan setelah sebelumnya memangkas 25 bps.
Apalagi, saat ini kondisi perang dagang antara AS dan Tiongkok semakin memburuk dengan adanya kenaikan tarif 10 persen produk dari negeri Tirai Bambu. "Plus perang mata uang AS-Tiongkok paska devaluasi Yuan memperburuk sentimen ekonomi global," bebernya.
Dari sisi domestik, penurunan suku bunga dinilai aman dalam kondisi makro ekonomi nasional yang cenderung stabil. Saat ini inflasi diperkirkan akan rendah di kisaran 3,3 sampai dengan 3,5 persen.
"Pengusaha juga memerlukan stimulus untuk mendorong kinerja ekspor dan industri. Bunga yang murah akan menurunkan cost of borrowing dunia usaha," jelasnya. Penurunan suku bunga juga bisa merangsang pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat pada kuartal-II 2019.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi